"Artala."
"Ada apa?" Kenzo, aku paling malas harus berhadapan dengan dia lagi, namun aku selalu bertemu dengannya. Dunia ini sesempit itu ternyata.
"Kamu sudah ngelupain aku ya?"
"Aku sudah ngelupain kamu, jadi tolong lupain aku juga, Ken. Kita cuma orang lama dan kita juga bukan siapa-siapa lagi, jadi pergi yang jauh ya."
"Tapi aku enggak bisa, Artala. Aku masih cinta sama kamu. Aku mohon yakinkan aku kalau yang habis itu nyatanya masa kita bukan perasaan kita."
"Salahnya keduanya sudah habis, baik perasaan maupun masa. People come and go, jadi yang hadir bukan selamanya untuk menetap. Bisa jadi ia hanya untuk cerita," ujarku.
Aku ingin beranjak pergi dari hadapan Ken, tetapi Ken masih menahanku untuk pergi.
"Artala, satu kali lagi beri aku kesempatan ya. Kemarin aku khilaf."
"Selingkuh itu bukan suatu kekhilafan, Ken, tapi sesuatu yang disengaja dengan landasan mencari yang lain karena yang hadir tidak memberi kesan. Semuanya bisa dimaafkan kecuali perselingkuhan. Aku rasa kamu bukan khilaf, tapi memang suatu kemauanmu. Jadi sudah ya, aku juga tidak ingin membahas hal yang mengenai denganmu."
"Artala, kalau gitu, museum date. Jadi ya, sebelum aku benar-benar memaksa untuk melupakanmu, aku ingin memenuhi list terakhir kita. Setelah itu, aku janji aku nggak akan ganggu kamu lagi," pintaku untuk terakhir kalinya.
"Tidak perlu mewujudkan list yang sudah tidak ada hubungannya dengan orang itu."
Tanpa keduanya ketahui, mereka tengah dipantau Haikal dari sudut lorong kelas.
"Kalau pun mereka balikan, apa yang harus aku katakan pada Bagas? Mungkinkah ia nanti bakal kecewa?" ujarku, masih melihat Ken, dan Artala. Tetapi bagaimana pun Bagaskara juga harus tau, dengan perasaan berat aku mengirimkan foto Artala, dan Kenzo yang ku ambil diam diam barusan.
Baik mereka berdua adalah orang lama, apalagi mereka harus sedekat itu. Seperti katanya bahwa orang lama adalah pemenangnya, mungkin saja orang yang bersama Artala itu menjadi pemenangnya kembali.
Terkadang kembali dengan orang lama juga tidak buruk, tetapi halnya berbeda pada orang yang ingin datang itu sebenarnya buruk untuk aku.
Dengan begitu saja aku menjadi orang yang kalah untuk Artala, ke egoisan jika aku harus menahan kebahagian Artala ini, bukan untuk memiliki tetapi untuk mengagumi.
Persis perkataanku sebelumnya Artala boleh mencintaiku, Artala boleh dekat dan jatuh cinta sebebasnya aku hanya mengagumi Artala untuk mencintai ke egoisan tak boleh hadir.
"Huft," bagian dari kekhawatiran ternyata membuat resah menggerogoti hati seperti ini ya.
Selamat berbahagia jika kamu memilih dia untuk kembali, dan selamat menjadi manusia yang paling aku kagumi dalam jangka panjang ini.
perihal mengirim surat untuk Artala aku masih melakukan hal yang sama, aku masih mengirim surat untuknya.
Puisi:
Ada sesuatu yang sangat membuat pilu
ketika langit sudah semangkin menua
Ada sesuatu yang terasa berat saat
waktu semangkin cepat berputar
Ada sesuatu yang terasa ikhlas
ketika menyaksikanmu kembali akrab dengannya.
~Bagaskara.
"Bun, bagas keluar dulu ya bentar," aku mengambil sepeda di samping rumah kami. Sebenarnya tidak ada sahutan dari bunda entah ia mendengar suaraku atau tidak aku langsung pergi karena ini tugas buru buru, maksudnya buru buru mengirim surat pada Artala.
Lagi lagi aku menemukan seutas surat di dalam kotak surat rumah kami, dengan rasa semangat aku membawanya ke kamar.
Puisi puisi tak pernah habis selalu saja ada rangkaian katanyang tersusun, pemilihan diksinya sangat indah.
Namun kali ini puisinya menggambarkan kesedihan, tambah kecemburuan aku bisa merasakannya dari ungkapan ungkapan yang ada di tulisan tersebut.