Loading...
Logo TinLit
Read Story - love is poem
MENU
About Us  

Aku engga mau jatuh cinta pada siapapun karena aku jatuh cinta hanya pada Artala.

~Bagaskara

Tahu lagu, 'selamat tinggal' Virgounkan?

Yang liriknya: "Andai dulu ku paksakan terus bersamamu."

Memaksakan hal yang harusnya bukan untuk kita itu engga baik, cepat lambatnya efeknya akan ke kita juga maka jika ia ingin memutuskan pilihannya kamu harus bisa menghargai tidak perlu dipaksakan, apa yang ditakdirkan akan untuk kita.

"Bunda, sudah bolehkan Bagas muncak?" tujuan muncakku untuk melihatnya dari ribuan Mdpl, dan untuk membuat puisi.

"Tidak, bunda masih belum mengizinkan kamu mending diam saja, kalau melakukan hal lain bunda perbolehkan kalau muncak tidak."

"Tektok Bun?"

"Engga, Bagaskara."

"Ia, ia."

"Bunda, bunda pernah di beri apa oleh ayah kayak semacam hal romantis gitu bunda?"

"Bunda lupa, ayah kamu udah 22 tahun gak ada, mungkin sebuah lagu, atau barang kali puisi, emm apa ya," aku berfikir untuk mengingat momen itu.

"Ayah suka bikin puisi Bun?"

"Jarangsih, tapi pandailah."

"Ayah puitis ya Bun?"

"Sedikit, puisinya bahkan cuma buat bunda."

Bunda persis seperti Artala, apakah aku reinkarnasi ayah? 

"Bunda ayah pernah selingkuh?" aku sedikit ragu.

"Ayahmu engga pernah selingkuh, mau pun menduakan bunda, dia benar benar mencintai bunda, sudah ya cukup membahas ayahmu. Bunda jadi kangen sosoknya," aku meninggalkan Bagas di ruang tamu sendiri, karena aku tak kuasa menahan air mataku.

Aku tahu Bagas menanya banyak seperti itu karena saat usia Bagas 7hari, dengan cepatnya mas Fatahul malah berpulang ke Rahmatullah jadi Bagas belum merasakan kasih sayang seorang ayah.

"Mas aku kangen," aku mengambil foto Mas Fatahul yang sudah mulai memudar, lalu memeluknya erat kertas tak terasa kertas foto itu basah karena tetesan air mataku yang tak tahan lagi ingin ke luar.

"Mas, kamu di sana sudah tenang ya, kamu jangan sedih ya melihat aku aku cuma kangen sama kamu kok, kamu harus tersenyum mas aku berhasil nepati janji sejak nikah bahkan sejak kamu meninggal aku engga buka hati lagi, seperti kamu mencintaiku sewaktu kamu hidup mas, kamu dulu juga begitukan tidak buka hati untuk wanita lain," ungkapku melap air mataku.

Kangen paling berat itubadalah kangen seseorang yang sudah beda alam kamu hanya bisa merindukannya tanpa tahu di mana titik untuk melepas rindu itu selain ke makam mau pun dari doa.

Maka abadilah rindu buat orang-orang yang susah tiada.

***

"Kumaha, Bagas?" ucap Cecep.

"Damang, mau kemana Cecep?"

"Mau ke rumah teman, mau ikut?"

"Rumah saha, cuy?"

"Jaini, mau ikut gak?" tanyaku memastikan karena aku hanya ingin menunggu jawaban Bagas.

"Oh engga deh, aku mau ke sungai."

Aku tahu kalau tidak salah Jaini orang yang semalam di beritahu oleh Haikal.

"Hmm, aku deluan ya Cep."

"Sok," aku pun segera pergi jugabke rumah Jaini.

Hal paling enak adalah menyendiri dan hanya di temanin alam, seolah ia adalah sahabat yang engga akan meninggalkan dalam kondisi apa pun itu.

***

"Eeh buru atuh neng," aku menarik tangan Jaini.

"Ih sabarlah," aku tertarik oleh langkah Cecep yang cepat.

"Buru nanti dia pergi," tujuan kami mau ke sungai karena aku sudah memberi tahu Jaini kalau Bagaskara ada di sungai.

Duduk termenung di sungai, juga termaksud menghilangkan setres, hari ini puisi ke-4 buat Artala aku sudah mengirimkannya, aku hanya membuat puisi buat besok dikirimkan ke Arta.

"Bagas," ujarku.

Suara perempuan terdengar di telingaku, aku sedikit asing dengan orang itu, aku memutarkan leher untuk melihatnya.

"Ada apa?" tanyaku singkat.

"Kamu kenal aku?"

"Kenal, ada apa kemari?"

"Aku itu cuma pingin main sama kamu, pingin cerita cerita lah," aku duduk di samping Bagas.

"Saat ini aku engga sempat, sudah jam nya pulang aku harus bantuin bunda,".aku menutup buku ku, dan mengambil sendal yang ku jadikan alas buat duduk. Aku meninggalkan Jaini sendiri.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags