"Kamu ini ya Haikal katanya mau ke toilet ternyata malah cerita sama Artala."
"Bukan begitu buk Mera, saya itu tadi di tanya Arta," sahutku mengelak.
"Halah ngeles aja lagian kamu dan Artalakan beda Fakultas ga ada kaitannya Sastra, dan Manajemen!"
"Ia juga ya," aku baru kepikiran.
"Mau ngelak apalagi kamu Haikal?"
"Tapi beneran buk tadi Arta nanyak aku," kilahku sekali lagi.
"Haikal rugi bangat Artala dapat jawaban dari kamu, secara Artala itu termaksud anak yang kritis, dan pintar. Udah mending kamu diam aja gak usah nyaut nyaut lagi."
"Ia buk ia."
Haikal, mengambil ponselnya lalu ia memberitahu Bagaimana, mengenai satu hal.
Haikal: Oiiy
Haikal: Abang kiw kiwww
Bagaskara: Apaan?
Bagaskara: Gelik banget cacing.
Haikal: Mau inpoh gak?
Bagaskara: Ketikanmu di bagusin Haikal.
Bagaskara: Info apaan?
Haikal: Suratmu dibalas Arta, dia nunjukin ke aku, Arta udah cerita semuanya.
Bagaskara: Ga bohongkan? Bohong dosa
Haikal: Ga ada untungnya aku bohong Bagaskara.
Semoga kali ini omongan Haikal bisa dipercaya, dari banyaknya harapan jika Artala membaca suratku sajanrasanya sudah senang.
Puisi ke-2.
Aku
(Bagaskara)
Aku yang kala itu tengah sendirian
Dengan sahabat sepi
Sebagai teman
Kala
Entah dari mana engkau
Hadir
Dengan membawa
Sebuah senyuman
Manis bagiku
Ternyata semangkin
Lama rasanya
Sama seperti rasanya bertambah.
Sama seperti semalam aku menaruh surat itu ke dalam kotak pos depan rumah Artala.
Setelah seterusnya akan menyenangkan rasanya menulis puisi Karena sekarang tujuannya telah jelas, yaitu kepada Artala launa.
***
Kembali lagi, aku mendapatkan puisi yang sama seperti sebelumnya, isinya juga puisi namun isinya berbeda.
"Bunda saat ayah jatuh cinta pada bunda apa yang dilakukan ayah?" tanyaku.
"Ayahmu datang ke rumah, terus ayahmu itu ngomong ke kakek kamu dengan beraninya, dan lantang bilang kalau dia itu sangat cinta sama bunda," sahutku.
"Terus apa kata kakek bunda?"
"Kakek bilang, kalau dia engga ngerestuin hubungan kami berdua."
"Hah?" Aku kaget mendengar ucapan bunda, aku kira kisah cintanya bunda dan ayah begitu mulus.
"Kamu kagetkan, padahal ayah kamu itu udah berjuang, udah nunjukin rasa sayangnya pada bunda tetap aja ia harus bertentangan pada kakek kamu yang engga menyetujui ayah, dan bunda."
"Terus sekarang gimana Bun? Kok ayah bisa nikahi bunda?"
"Ayah kamu engga nyerah dia bahkan rela nunggu 8tahun buat nikahi bunda karena disitulah kakek kamu udah nyerah kali melihat usaha ayah kamu akhirnya kakek kamu luluh sama ayah kamu, dan direstuilah kami."
"Romantis bangat, orang bunda tidak pernah berantam sama ayah?"
"Pernah, hampir setiap hari bahkan, namun ketika ayah kamu emosi ia meredakannya karena marah itu hal wajar manusiawi tetapi melukai dengan emosi seperti menampar tidak akan dilakukan ayahmu, sebab ia tahu jika mencintai itu bukan untuk melukai fisik, batin,dan rohani, dan bunda selalu membantu meredakan amarahnya dengan cara memeluk."
"Aih, pantasan bunda tidak menikah lagi?"
"Ia, sebab cinta bunda sudah habis buat ayah kamu, dan buat kamu, sedangkan hadirnya seseorang itu akan menyakitkan ayah kamu bunda merasa menyelingkuhi ya sayang, mangkanya bunda engga sanggup buat menikah."
"Bunda saat aku mencintai orang lain, apakah aku nanti bisa seperti ayah?" tanyaku ragu.
Aku berharap seperti ayahku yang mencintai bunda dengan hebat, dalam waktu yang lama.
"Eh, kamu kenapa tiba tiba nanyak seperti itu?"
"Karena aku ingin seperti ayah yang mencintai perempuannya, dan sesabar ayah dalam hal menunggu."
"Engga seperti biasanya kamu sayang," aku kali ini heran melihat Bagas.
"Ia Bun, aku jatuh cinta sama seseorang ke-2."
"Kamu jatuh cinta sama dia orang?" aku mengerutkan kening sambil sedikit bingung.
"Ia, bunda, sama Artala, cuma dua orang ini saja kalian berdua yang Bagas sayang. Bunda, dan Arta, Arta sama seperti bunda cuma bunda nomor1 dan Arta nomor duanya," jelasku panjang lebar.
"Apa pun itu, bunda mendukung kamu kok."