Matahari baru saja mengintip dari balik cakrawala, memancarkan sinar keemasan yang begitu sempurna seolah ia menyapa bumi. Udara yang sangat sejuk belum terlalu bercampur dengan hirupan manusia manusia.
"Selamat pagi, pagi ini menjadi indah setelah aku bisa tahu nama Artala."
"Selamat pagi Artala," ucapku sendiri.
"Semoga semesta selalu memberikan kebahagian untukmu, dan semoga jangan ada orang yang mengacau di hidupmu.
"Artala sedang apa ya sekarang," ujarku meraih ponsel.
Aku ingin sekali mengirimnya pesan namun aku tahan dulu, sampai di mana kemampuanku bisa menahan untuk tpidak menghubunginya.
"Aku tidak sebebas langit yang bisa melihat pergerakanmu. Terkurung dalam batasan, aku hanya bisa menatapmu dari kejauhan, merasakan rindu yang membuncah, namun tak mampu menyentuhmu. Seperti burung yang terkekang di dalam sangkar, aku merindukan kebebasan untuk terbang mendekatimu, untuk merasakan hangatnya sinarmu, jadi aku harap kamu selalu baik baik saja."
"Hal bahagia selalu untukmu cantik."
"Apa aku buat puisi aja ya," aku sudah bangun tidur namun aku masih enggan untuk ke luar dari kamar berhubung nyawaku juga setengahnya masih berada dialam bawah sadar.
"Ide yang bagus, sebaiknya cinta adalah memilih diam, lalu menyuratkannya begitu cara aku mencintai Artala."
Namun sebelum aku membuat puisi untuk Artala ada kalanya aku mandi pagi dulu supaya tubuhku segar, saat keluar kamar aku mencari Bunda untuk mendapat kecupan darinya namun aku sudah mencari kemana mana tapi bunda tidak ada.
"Di mana bunda ya," aku mencek ke belakang rumah juga tidak ada, di depan juga tak ada bunda."
"Bunda, oh bunda, bun ..." teriakanku sambil mencari cari.
"Selamat pagi bundaku, sayangku, cintaku, duniaku, semestaku, cantikku, bundaku!' seruku sekali lagi namun sama saja bunda tidak ada menyahut.
"Apa bunda, bunda, bundaku, bundaku, bunda," kali ini aku memanggilnya berdana kali aja bunda datang.
"Aehlah apa bunda keluar ya, kali aja dia ke pasar," pikirku. lewatkan tentang bunda aku pun mandi aku sengaja mempercepat mandiku agar aku bisa menulis surat puisi buat Artala, dan mengantarkannya langsung.
***
"Saya, Bagaskara puisi pertama untuk Artala, seterusnya aku akan menyampaikan perasaan cintaku lewat puisi."
(Saya terjebak)
oleh: Bagaskara
Kepada atma yang selalu saja membuat rindu
Aku selalu terbelenggu di ruang hampa itu
Sapalah dulu raga ini
Ia terhardik oleh rasa kangen.
Bantu hamba, selamatkan hamba.
Selesai aku menulis puisi itu aku pun pergi ke rumah Artala, aku memasukkan surat puisi itu kedalam kotak pos yang berdiri tegak di samping pintu rumah.
Aku berbalik badan dan berjalan pulang, meninggalkan rumah Artala.
"Semoga saja Artala membaca surat dariku," ujarku berharap.
***
"Haikal, aku ngirim surat buat Artala, terus aku engga buat pengirimnya," ujarku mengirim pesan ke Haikal.
"Lalu gimana?"
"Aku ga tau, surat itu dibaca atau engga yang pasti aku mengirimnya tertuju."
"Yaudah nanti aku tanya Artala ya."
"Ga usah Haikal, biar Artala sendiri tahu."
"Tapi kalau suratnya gak dibaca?"
"Sudah nasib saya Haikal, Artinya surat pertama gagal."
"Namun aku berharap ke tuhan Artala menemukan surat itu," terkadal hal kecil yang kita kasih lebih cepat sampainya apalagi jika memberikannya dengan perasaan bahagia, tuhan pasti tak akan memberi kendala.
Tapi meski begitu kita tidak bisa menjaminnya, terkadang takdir malah ikut serta dan selalu berkata lain. sekali ini semoga takdir searah dengan tujuanku.
"Lagian ngapainsih harus pakai surat segala?" tanyaku ke Bagaskara.
"Gak tau, aku cuma ingin mencintainya lewat bait bait, dan sajak puisiku kalau bisa memuja Artala nanti tuhan marah, jadi aku ungkapin semuanya ke puisi."
"Yalah semoga Artala membaca suratmu."
"Aaminku, paling serius untuk ungkapan Haikal yang satu ini."