Loading...
Logo TinLit
Read Story - love is poem
MENU
About Us  

Mengenai hal pertemuan, mau pun perpisahan tidak ada manusia yang tahu.

~Bagaskara.

"Aduh engga nyangka ya kita bertemu lagi," ujarnya.

"Ia, entah ini suatu kebetulan atau emang semesta ini membuat takdir untuk mempertemukan kita."

"Aku rasa ke duanya, kamu mau nyari apa?"

"Kertas vintage, kamu tahu tempatnya?"

"Tahu, ayo ikut aku. eh aku belum mengenal namamu, kamu namanya siapa? aku Artala, nama panjang aku Artala launa kamu bisa manggil Artala, kalau kamu?" aku menjulurkan tanganku buat berkenalan.

"Aku Bagaskara sangdipati, panggil saja Bagas," ketika aku menjabat tangannya lembah lembah jari jemari lentik terukir kelembutan cela cela selembut embun di pagi hari, seperti sungai yang mengalir terasa dingin karena ruangan ber ac, kulit halusnya seakan seperti lem yang erat susah dilepas.

"Ehmm," aku berdaham melihat keduanya yang belum selesai berjabatan.

"Maafkan aku nona," aku langsung melepaskan tanganku.

"Tidak apa apa."

kami melanjutkan untuk membeli kertas vintage, dan menemani Artala membeli beberapa buku, setelah itu aku dan Haikal makan, selesai makan barulah aku pulang.

***

"Assalamualaikum," teriakku menerobos masuk rumah bahagia.

"Waalaikumsalam, kok teriak teriak?" aku belum pernah mendengar teriakan BAgas semeriah ini, teriakannya seperti bahagia setelah dari kota mengapa pulang pulang anak ini sedikit rada, aku berpikir jauh kali saja ia di culik jin.

"Bagas!" seruku.

"Bunda, bagas jumpa lagi sama wanita itu, dia sangat sangat cantik bun," ungkapku senyum lebar.

"Wanita? Siapa?" aku bahkan tidak mengerti apa yang dirasakan bagas, dan apa maksud yang ia katakan.

"Ia bunda jadi itu tadi gini bun," aku duduk di bawah sambil bersender diantara lutut bunda aku mulai menceritakan semuanya mengenai Artala ke bunda.

tentang cantiknya, tutur katanya, suara lebutnya, bahkan semuanya yang aku lihat.

"Anak bunda jatuh cinta rupanya ya, lucu bangat kamu bagas terus gimana?" perasaan ke asmaranya ternyata membara menguasai Bagas, pantas saja ia sebahagia itu. mengenai asmaraloka sudah menyelimuti Bagas.

"Bunda, mencintai itu engga salahkan, tapi bagas lebih memilih untuk mengaguminya saja."

"Kenapa begitu?"

"Soalnya Bagas lebih mengaguminya karena dia itu terlalu indah, terlalu cantik terlalu sempurna untuk dijelaskan, dia itu tanpa cela bun, dia atma yang Bagas idamkan bun, bagas takut saat Bagas jatuh cinta pada dia dan ia menerima cinta Bagas justru bagas membuat dia kecewa dalam sewaktu waktu, alasan Bagas mengaguminya karena tidak ingin menyakitinya."

"Bunda paham sayang bagaimana maksudmu," aku menyapu kepala Bagas.

***

"Bagaskara, ada yang suka sama kamu," tiba tiba pesan masuk dari Haikal.

"Siapa? Artala?"

"Bukan, haha anak kampung yang sering sama Cecep."

"Oh, bilang aja Haikal kalau aku itu tidak menerima cinta dari siapa pun kecuali bunda, dan Artala launa."

"Anjay, emang secinta itu sama Artala."

"Cinta bangatlah."

"Mau ngasih tahu kalau Artala seorang puitis juga, dia penyair di kampus ini."

"Makasih Haikal infonya," aku sudah tahu bagaimana sekarang buat menyatakan perasaan pada Artala dari surat yang isinya puisi, aku mencintai puisi, dan Artala. Maka Artala harus abadi di setiap sajak.

"Ehh, padahal dia cantik lo masak gak tausih Dinilo," balasku memberi tahu.

"Tidak perduli siapapun itu, aku hanya ingin mengenal Artala, dan ingin seumur hidup dengannya."

"Aduh resikonya banyak, sainganmu di mana manaloh, bahkan hampir rata rata anak kampus suka sama Artala," tegasku mengingatkan Bagas supaya dia tidak sakit hati oleh perasaannya sendiri.

"Berpuluh ribu, atau juta orang yang suka dengan Artala aku tidak perduli, lagian Artala berhak bebas memilih siapa pun itu, resiko mencintai Artala sebenarnya siap sendiri, dan siap kesepian."

"Aih, batu," ungkapku sedikit kesal. Sifatnya memang keras kepala bangat.

"Haikal, jangan pernah menasehati orang jatuh cinta mau kamu bersabda sampai mulut berbuih, atau berargumen sampai mampus orang itu ga akan dengarin kamu, Haikal. orang paling susah dinasehati orang yang jatuh cinta rata rata dari mereka menjadi bodoh, termaksud aku."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags