Bayang bayang ya selalu terlintas di dalam pikiranku ini, sedih ya rasanya tidak pernah kenal tetapi cintanya sedalam ini.
~Bagaskara.
Orang bilang, jangan jatuh cinta pada sembarang orang. Namun, nyatanya, "jangan" itu adalah perintah aku jatuh cinta pada dia, pada Atma yang pernah aku temui. Rasanya sanubariku lepas dari belenggu yang sudah menikam ini.
"Bunda, Bagas hari Senin nanti boleh muncak gak?" tanyaku ragu, karena aku yakin, mungkin bunda tidak mengizinkanku muncak, apalagi seorang diri.
"Mau muncak ke mana, Bagas?"
"Ke Rinjani, bun. Kalau enggak, ya ke Merbabu. Boleh, bun?" tanyaku dengan nada ragu.
"Maaf, Bagas. Bunda enggak ngizinin kamu buat muncak dulu," aku membalikkan badanku.
"Baiklah, bun, kalau gitu," aku tidak kecewa dengan jawaban bunda. Mungkin saja firasat bunda tidak bagus, makanya dia tidak memberikan izin.
Firasat orang tua itu tidak pernah salah, jadi tidak perlu berdebat dan membantah mereka. Justru karena mereka sudah tahu, makanya dilarang.
"Bunda, aku nyari kayu bakar ya, soalnya stok kayu kita juga sudah mau habis." Aku menyalim bunda dan berpamitan pergi ke hutan untuk mencari kayu.
"Pulangnya jangan terlalu sore ya, nanti kamu ke malam," terlebih lagi kalau sudah menjelang senja, jalan menuju rumah kami sudah sepi karena menyambut magrib. Dan namanya juga di perkampungan, mereka masih mempercayai yang namanya pamali, jadi mau masuk waktu magrib, para warga sudah menutup pintu dan jendela rapat-rapat.
Aku takut saat Bagaskara kenapa-kenapa di jalan, apalagi sangat sunyi nantinya.
"Bunda enggak perlu khawatir, Bagas punya Tuhan, dan Bagas pasti dijaga sama doa bunda."
***
"Nah, sampai pun," aku menyenderkan sepedaku ke dekat salah satu pohon besar di pinggir hutan tempat aku memasuki hutan itu.
"Alam ini selalu indah dengan segala isinya, alam juga selalu menunjukkan bagian terindah dari yang indah."
Aku pun mulai mencari kayu bakar di hutan ini. Suasana hutan yang sunyi dan pohon-pohon yang masih basah karena selesai hujan membuatku ingin menelusurinya semakin jauh ke dalam.
Ketenangan terasa di sini, tiada keberisikan mulut-mulut manusia. Hanya ada desiran angin beserta kicauan burung yang sedang menyanyi, bahkan suara binatang juga terdengar berirama.
"Aku rasa sudah cukup," melihat juga tumpukan kayu itu sudah banyak. Selain itu, aku juga tidak sanggup membawa potongan kayu tinggi-tinggi karena berat. Tenagaku belum cukup untuk itu.
Aku duduk sejenak di dekat pohon rindang, bersandar seraya kecapean. "Mengenainya, tega sekali merasuk ke dalam pikiranku, bahkan di belantara seperti ini."
"Apa mungkin aku benar-benar mencintainya? Lalu, bagaimana caraku mengungkapkannya? Tidak sopan kan kalau aku langsung mengungkapkan perasaan kepada dia," ucapku dalam hati.
"Payah, jika aku tidak mengungkapkan perasaan ini, sebuah hati akan tersiksa."
"Tapi, jika saya pikir-pikir, cinta itu tidak selamanya harus diungkapkan. Mengaguminya juga lebih baik. Kita tidak bisa memperkirakan, mungkin saja suatu hari nanti dia jatuh cinta dengan saya, atau bahkan kami saling memiliki."
Aku rasa cukup sampai di sini buat hari ini. Sudah jam setengah lima, sebentar lagi akan magrib. Nanti bunda khawatir padaku, aku harus pulang. Bunda juga sudah berpesan pulang cepat.
Aku menggowes sepedaku serta hati-hati, takut kayu yang aku bawa jatuh lebih berabe nantinya. Sepanjang jalan menuju rumah, aku benar harus hati-hati membawa kayu-kayu ini.
"Baskara," sapa seseorang.
"Oiy," sahutku. Aku tidak melihat siapa orang yang menyapaku itu, karena aku fokus ke jalan.
Jika dia makhluk gaib atau pun manusia, aku tidak memikirkan keduanya. Aku hanya ingin cepat sampai ke rumah. Aku
kangen bunda, sudah 3 jam lebih tidak bertemu bunda.