Loading...
Logo TinLit
Read Story - love is poem
MENU
About Us  

Bumantala, nabastala, serta buana tahu apa yang kamu lakukan jadi tolong untuk tidak berbuat aneh ya.

~Bagaskara.

"Derr..." Melihat Bagaskara duduk termenung di pinggiran sungai membuat jiwa jiwaku ini bangkit untuk isengin dia.

 

"Waalaikumsalam, Haikal. Biasain kalau datang itu ngucapin salam dulu, jangan dar der dor, engga sopan. Untung saja jantung saya masih berdetak. Kalau saya tetiba mati kena serangan jantung, gimana? Kamu mau saya hantui pas waktu bab?"

 

"Heh, congornya, ada-ada aja doamu."

 

"Tuhan tidak akan mengabulkan doa yang tidak baik. Saya hanya menyampaikan doang. Lagian, kamu sih lupa ya kalau ayah saya juga meninggal waktu kena serangan jantung."

 

"Loh," aku mengerutkan keningku bingung. Setahuku, ayahnya Bagas meninggal karena lambung.

 

"Bukannya lambung?" tanyaku ragu.

 

"Ia, benar. Mempengaruhi ke jantung juga, soalnya dia kaget kalau nyawanya tidak tertolong," aku kembali membilas cucian yang ada di dalam ember ini.

 

"Ih, kamu ada-ada aja. Ngomong-ngomong, lagi apa?"

 

"Kamu bisa lihat kali, Haikal. Apakah saya kelihatannya lagi bikin strategi untuk muncak?"

 

"Engga sih. Aelah, Bagas, aku itu kan cuma basa-basi doang, ga asik. Oh, iya, ngomong-ngomong masalah muncak, kita udah lama banget engga muncak nih."

 

"Emangnya kamu udah libur kuliah?" tanyaku, sebagaimana Haikal merupakan mahasiswa yang berkuliah di kota.

 

"Engga sih, ini juga liburnya karena izin."

 

"Kamu itu ya, mau berdiri terus di belakang saya?"

 

"Eh, iya," akhirnya aku pun duduk di samping Bagas.

 

"Bagas, kamu masih suka buat puisi?"

 

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu, Haikal?"

 

"Pingin tahu doang. Aku punya teman yang juga bisa bikin puisi, cewek lagi. Barang kali kalian bisa anu."

 

"Anu apa?"

 

"Saling bersama. Aduh, kamu gak ngerti aja deh."

 

"Sudah lama berhenti aku, tapi kayaknya bakalan bikin puisi lagi deh soalnya hati aku jatuh cinta, Haikal."

 

"Sama siapa?"

 

"Aku tidak mengenalnya, dan tidak mengetahui identitasnya. Mungkin saja ia orang yang aku temui kemarin siang."

 

"Lah, gimana sih? Terus gimana dong? Kok bisa-bisanya malah jatuh cinta sama sembarang orang gitu?"

 

"Haikal, cinta itu engga sembarang. Aku rasa ia sudah menemukan pilihannya, pilihan baik oleh alam yang tidak pernah salah dalam menyeleksi."

 

"Kalau dia udah punya pacar, gimana?"

 

"Engga, gimana mana, Haikal. Dia mau dicintai, mau mencintai 1000 orang pun aku tetap cinta dengannya. Mencintai secara dewasa itu membiarkan dia memilih cintanya sendiri. Ya, aku bakalan menunggunya."

 

"Sampai kapan mau menunggu dia? Kamu juga ga kenal, ga tau namanya." Aneh, jatuh cinta bisa sama orang yang gak tau orang itu siapa.

 

"Cinta itu tumbuh sendirinya, ibarat hati itu bisa menyeleksi siapa pun. Buktinya, dari sekian banyaknya orang, hati aku malah acc ke dianya," sanggahku mendengar omongan Haikal.

 

"Tau ah, kamu aneh."

 

"Terserah, aku mau pulang. Kerjaan aku udah selesai. Kamu mau di sini atau ikut balik, Haikal?"

 

"Di sini aja dulu." Aku membuka baju untuk berenang di sungai ini. Kenangan lama yang udah tidak aku nikmati lagi saat di kota, apalagi sungai ini tempat kami bermain waktu kecil. Banyak banget kenangan di sungai ini.

 

"Haikal, aku pulang duluan, ga papa? Aku masih mau bantu Bunda lagi soalnya."

 

"Iya, ga papa kok."

 

***

 

"Bunda, maaf ya, aku lama pulangnya."

 

"Sini cuciannya, biar bunda jemurin."

 

"Ga perlu, Bun. Udah aku jemurin di belakang. Saatnya bunda istirahat aja," mengingat semuanya bunda lakukan seorang diri di usianya yang tidak muda lagi, pasti tenaganya juga berkurang.

 

"Bunda udah tidur siang tadi pas selesai Dzuhur. Kamu aja yang istirahat, sayang."

 

"Ga usah, Bun. Rasa capek aku gak setara dengan capeknya bunda. Bunda lebih capek, pastinya. Jadi yang harus istirahat itu bunda."

 

"Kamu ya, Bagas. Kamu perhatian banget sama bunda."

 

"Bunda, kalau ada ayah, aku juga bakalan perhatian ke ayah." Aku tersenyum lebar agar bunda tidak meneteskan air matanya. Ia selalu sensitif jika mengingat ayah, karena bunda benar-benar secinta itu dengan ayah. 22 tahun ayah tiada, dan selama itu bunda tidak dekat, bahkan tidak menikah lagi. Ia membesarkan ku sendiri. Di usiaku yang 1 tahun, aku kehilangan ayah, lalu bunda bekerja keras memerankan dua sosok sekaligus untukku.

 

"Bun, aku ke kamar bentar ya, mau rebahan."

 

"Yaudah, sana." Bagas pasti lelah karena seharian tidak ada hentinya.

 

"Kasihan kamu, Bagas, harus merasakan hidup susah."

 

Aku pun masuk ke dalam kamar untuk sekedar rebahan, menghilangkan sedikit capekku karena dari tadi aku di sungai mencuci.

 

"Kamu lagi apa ya sekarang? Aku tidak bisa sebebas awan melihatmu. Aku harap kamu selalu baik-baik saja."

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags