Loading...
Logo TinLit
Read Story - love is poem
MENU
About Us  

Ia sangat calya, dan pantaskah aku yang penuh cela cacat ini bersanding dengan wanita seindah dia?

~Bagaskara.

 

 

 

"Selamat pagi duniaku, semestaku. Aku harap hari ini semesta memberikan kebahagiaannya buat bunda. Oh, iya satu lagi, buat Artala Launa, juga berikan dia kebahagiaan agar dia bisa tersenyum lepas hari ini." Setiap harinya, aku selalu mendoakan mereka berdua kebahagiaan. Rugi jika mereka tidak mendapat kebahagiaan, menurut saya yang pantas memperoleh kebahagiaan itu adalah kedua wanita cantik ini, bunda dan Artala.

 

Saya bangkit dari kasur dan membereskan kamar agar bunda tidak susah-susah membereskan kamarku ini. Kasihan bunda jika harus ikut serta dalam membereskan hal kecil seperti ini. Selesai membereskan kamar, saya keluar untuk mandi.

 

"Bunda, selamat pagi," aku menghampiri bunda yang sedang menjahit di dekat pintu. Tanganku memeluk wanita cantik itu.

 

"Selamat pagi, sayang."

 

"Bunda belum selesai ya menjahitnya? Nanti setelah Bagas selesai mandi, Bagas bantu ya, Bun," aku melihat bekal jahitan yang tidak lumayan banyak dan tidak sedikit, sedanglah di lantai.

 

"Ga usah, yang ada nanti malah mungkin bikin bunda riweh. Oh, iya selesai mandi, kamu jangan lupa sarapan ya. Tapi bunda minta maaf, bunda cuma bisa masak rebus singkong buat sarapan kita." Aku sedikit kecewa karena aku tidak bisa memenuhi meja makan kami dengan masakan-masakan yang bergizi, namun karena keadaan ekonomi yang harus membuat kami terbatas.

 

"Ga papa, Bun. Rebus singkong pakai gula merah juga udah sedap, Bun. Apalagi masakan bunda, beeh, pokoknya restoran bintang sepuluh juga kalah." Gak ada yang lebih enak selain masakan bunda. Apa pun yang dimasak selalu enak; dasarnya masakan itu bukan mahal harganya, apalagi jenis makanan yang dimasak enggak harus seperti ke modernan. Bahkan singkong bakar juga enak jika memasaknya dengan hati dan cinta. Rasanya itu yang membikin berbeda.

 

Apalagi bunda yang masak, itu semua sudah cukup. Enggak perlu memperkeruh, kan? Nikmati apa adanya juga lebih baik; yang penting itu dari bunda untuk aku.

 

"Bunda, Bagas mandi sebentar ya."

 

"Iya, sayang."

 

Setelah 25 menit, aku pun selesai mandi. Aku melihat bunda masih menjahit.

 

"Bunda belum selesai?"

 

"Belum, masih ada sedikit lagi," sahutku tanpa melihat Bagas karena aku masih fokus menjahit pinggiran baju.

 

"Bunda, aku ngambil pakaian kotor yang mau dicuci ya, biar aku yang nyucikan di sungai sekalian."

 

"Loh, emang kamu mau?"

 

"Maulah, Bun. Emangnya kenapa? Salah ya kalau aku bantu bunda nyucikan pakaian langganan bunda?"

 

Oh, iya. Selain bunda penjahit, bunda juga seorang buruh cuci. Lumayan banyak yang memakai jasa bunda di kampung, ada 9 orang. Karena pekerjaan mereka, jadi tidak sempat untuk mencuci pakaian sendiri, makanya mereka memilih memakai jasa tenaga bunda untuk mencuci.

 

"Yaudah kalau gitu, kamu hati-hati ya."

 

"Iya, bunda." Aku menyalin bunda dan berpamitan untuk pergi, namun aku berhenti ketika bunda memanggil kembali.

 

"Bagaskara!" Seruan lembut yang tiada tanding membuat langkahku berhenti. Aku membalikkan badan untuk melihat bunda.

 

"Ada apa, bunda?" tanyaku.

 

"Bunda bisa minta tolong?"

 

"Minta tolong apa, bunda?"

 

"Antarkan jahitan baju ini ke kota. Bunda udah bikin alamatnya di situ, bisa sayang?"

 

"Bisa dong, bunda sayang." Daripada bunda yang repot-repot harus ke kota mengantarkan bekal itu, mending aku saja, karena aku tidak ingin melihat bunda letih.

 

"Kamu bawak sepeda saja ya." Kami tidak punya alat kendaraan lain, hanya sepeda doang.

 

"Iya, Bun." Aku kembali berpamitan ke bunda lalu pergi untuk menjemput cucian dan menghantar jahitan ke kota.

 

***

 

"Permisi, Assalamualaikum," sambil mengetuk-ketuk pintu rumah.

 

"Waalaikumsalam," sahutan pelan dari dalam.

 

Barangkali ia akan membuka pintu. Suaranya terdengar lembut, tapi dia pasti sudah punya suami.

 

"Ada apa ya?" Aku melihat seorang laki-laki berdiri sambil memegang kantung plastik.

 

"Ini, bajunya sudah selesai dijahit," aku menyodorkan kantong plastik bawaanku itu.

 

"Terima kasih ya, oh bentar, aku ambil uang bayarannya."

 

Wanita itu masuk ke dalam. Ia sepertinya seusia denganku; umurnya terlihat 21 tahun, mungkin kami sebaya.

 

"Ini duitnya," aku kembali lagi untuk membayar baju jahitan mama.

 

"Terima kasih, aku pulang dulu ya. Bunda pasti menungguku," aku melambaikan tangan menggoes sepedaku.

 

"Laki-laki itu, aku belum berkenalan dengannya." Aku tersenyum lalu masuk karena ia juga sudah pergi cukup jauh.

How do you feel about this chapter?

0 0 1 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags