Saat Dami baru saja sampai di unit apartemen Seungjae, pandangannya langsung tertuju pada kotak berisi mainan dan makanan yang diletakkan di atas meja ruang tamu. Di samping kotak itu, Seungjae tampak sudah siap dengan pakaian rapi seperti hendak pergi ke suatu tempat. Dami mengernyit, sedikit bingung. Ia baru saja sampai dan tidak tahu apa yang sedang terjadi.
"Kau mau pergi ke suatu tempat?" tanya Dami penasaran, menghampiri kotak yang tampak penuh dengan barang-barang.
Seungjae, yang sedang memakai jaket, menoleh sambil tersenyum tipis. "Aku berpikir untuk mengajakmu keluar hari ini. Kita akan ke panti asuhan," jawabnya santai, seolah itu hal yang biasa.
Dami menatap Seungjae dengan tatapan tidak percaya. "Ke panti asuhan? Untuk?"
Seungjae hanya mengangkat bahu sambil tersenyum kecil. "Untuk memberimu hari libur, dan siapa tahu, kau akan menikmati waktumu di sana. Ayo, ikut saja, kau akan tahu nanti."
Dami masih bingung, tapi akhirnya mengangguk setuju. "Baiklah, kalau begitu."
Tidak lama setelah itu, mereka berdua turun ke parkiran. Kali ini, Seungjae yang akan mengemudi. Dami langsung teringat perjalanan mereka sebelumnya ke pantai, di mana dia yang memegang kendali setir. Kali ini, Seungjae mengambil alih, dan Dami hanya bisa duduk di kursi penumpang sambil memperhatikan.
Mereka berkendara dengan suasana santai, berbicara ringan tentang hal-hal sepele. Dami merasa sedikit lebih rileks, menikmati kebersamaan yang tenang. Tapi kebahagiaan itu seketika berubah ketika mereka mendekati jembatan Sungai Han. Tanpa peringatan, dadanya terasa sesak. Napasnya tersendat, dan dunia di sekitarnya seolah berputar.
Dami memejamkan mata dan memegang seatbelt-nya erat-erat, seperti berusaha mencari pegangan di tengah kepanikan yang tiba-tiba menyerang. Jantungnya berdegup kencang, semakin cepat seiring dengan jarak mereka yang semakin dekat dengan jembatan.
Seungjae menoleh sekilas, merasakan ada yang tidak beres. "Dami, kau baik-baik saja?" tanyanya cemas, tangan kirinya siap untuk menginjak rem dan berhenti.
"Tidak, terus saja," Dami berbisik lemah. Suaranya terdengar tertekan, namun tegas. "Jangan berhenti."
Seungjae ragu, namun akhirnya menuruti permintaan Dami. Ia melanjutkan perjalanan melewati jembatan, sambil sesekali melirik Dami yang tampak berjuang menahan diri.
Dengan cepat, Seungjae mengulurkan kantong kertas ke arah Dami. "Bernapaslah lewat ini," perintahnya lembut namun tegas.
Dami meraih kantong itu dengan tangan gemetar, mencoba menarik napas dalam-dalam melalui kantong tersebut. Setiap tarikan napas terasa berat dan lambat, seolah paru-parunya tidak mampu menerima cukup udara. Kepanikan di matanya masih jelas, meski ia berusaha keras mengatasinya.
***
Begitu mereka berhasil melewati jembatan, Seungjae mengebutkan mobil dan menepi di pinggir jalan, agak jauh dari jembatan Sungai Han. Begitu mobil berhenti, Dami buru-buru membuka pintu dan keluar. Tubuhnya terasa lemas, namun dorongan untuk muntah lebih kuat. Dia membungkuk, dan tanpa bisa dicegah, seluruh isi perutnya keluar.
Tubuhnya gemetar, perutnya terasa mual, dan ia tidak bisa menahannya lagi. Dami terus muntah sampai tak ada yang tersisa di perutnya. Nafasnya tersengal-sengal, mencari udara segar, tapi tubuhnya tak lagi punya tenaga. Dia jatuh terduduk di pinggir jalan, merasa kelelahan luar biasa.
Dami menghirup udara dengan rakus, berusaha memenuhi paru-parunya yang terasa seakan kosong. Keringat dingin mengalir di pelipisnya, tubuhnya lemas tak berdaya. Setelah beberapa saat, Seungjae mendekat, menepuk lembut bahunya, memberikan sedikit sentuhan kenyamanan di tengah kepanikannya.
"Minumlah ini." Seungjae menyerahkan botol air minum kepadanya.
Dami menerima botol itu dengan tangan gemetar, perlahan membuka tutupnya dan meneguk air dengan hati-hati. Rasanya sedikit membantu, tapi tubuhnya masih lemas.
"Aku bantu kembali ke mobil, ya?" tawar Seungjae, melihat kondisi Dami yang jelas masih terlalu lemah untuk bangkit sendiri. Dami hanya mengangguk pelan.
Seungjae segera memapahnya, membantunya kembali ke kursi penumpang dengan hati-hati. Dami masih terlihat pucat, namun perlahan dia mulai bisa bernapas lebih stabil. Setelah memastikan Dami duduk dengan nyaman, Seungjae menatapnya dengan penuh kekhawatiran.
"Apa yang terjadi?" tanya Seungjae pelan, matanya tak lepas dari wajah Dami yang masih pucat. "Kau sering mengalami ini?"
Dami menggeleng pelan, mencoba mengatur napasnya yang masih tersengal. "Aku juga tidak tahu. Setiap kali aku melewati jembatan itu, aku selalu seperti ini. Sudah hampir setahun. Padahal dulu aku tidak pernah punya masalah."
Seungjae terdiam, matanya menyipit seolah sedang berpikir keras. "Jadi, ini terjadi setiap kali kau melewati jembatan Sungai Han?"
"Iya, tapi aku tidak tahu kenapa," jawab Dami sambil menyandarkan kepalanya ke sandaran kursi. "Aku belum menemukan alasan pastinya. Rasanya aneh, seperti tubuhku bereaksi tanpa aku bisa kendalikan."
Seungjae terdiam sejenak, menatap Dami dengan ekspresi serius. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang mungkin bahkan Dami sendiri belum sadari. Namun, ia memilih untuk tidak menekan Dami lebih jauh. "Kau sudah merasa lebih baik?" tanyanya lembut, suaranya penuh perhatian.
Dami mengangguk pelan, meski wajahnya masih terlihat lelah. "Iya, sudah agak baikan. Kita bisa lanjutkan perjalanan."
Seungjae tidak langsung mengemudi. Ia memandang Dami sekali lagi, memastikan benar-benar tidak ada hal yang perlu dikhawatirkan sebelum akhirnya menyalakan mesin mobil. "Kalau kau merasa tidak enak, bilang saja, ya? Kita bisa berhenti kapan saja."
Dami hanya mengangguk sebagai balasan. Seungjae menatap jalan di depannya, perasaan khawatir masih membayang di pikirannya. Ia tidak pernah melihat Dami dalam keadaan seperti ini sebelumnya. Pikirannya berkecamuk karna khawatir, tapi ia memutuskan untuk menunggu sampai Dami siap bercerita lebih banyak.
Mereka melanjutkan perjalanan dalam keheningan, namun suasana di antara mereka kini berbeda. Ada sesuatu yang belum terucap, tapi keduanya sama-sama tahu bahwa ini bukan saat yang tepat untuk membicarakannya. Seungjae hanya berharap Dami akan baik-baik saja sepanjang sisa hari itu.