Dami menceritakan kisahnya tentang Jian dengan penuh semangat. Matanya berbinar, tangannya bergerak-gerak untuk memperjelas ceritanya, dan tawanya sesekali terdengar saat mengenang momen-momen lucu yang mereka alami bersama. Seungjae duduk di seberang meja, memperhatikan setiap gerak-geriknya dengan penuh perhatian. Wajah Dami tampak begitu cerah, sesuatu yang jarang dilihat Seungjae sejak mereka mulai bekerja bersama. Ia tak ingin momen ini berlalu begitu saja.
"Jian itu benar-benar luar biasa," Dami melanjutkan dengan nada ceria. "Dia selalu punya cara untuk membuatku tertawa, bahkan di saat-saat terburuk. Kau pasti akan suka kalau bertemu dengannya. Dia selalu punya cerita seru atau komentar lucu yang keluar begitu saja."
Seungjae tersenyum, matanya tak lepas dari Dami. "Sepertinya kalian memang sangat dekat. Kalian sering bertengkar?"
Dami tertawa kecil sambil mengambil sesendok nasi. "Oh, tentu saja. Kami bertengkar seperti anjing dan kucing, tapi selalu ada jalan untuk berdamai. Jian itu keras kepala, tapi justru itu yang membuat kami bisa bertahan sejauh ini."
"Bagaimana denganmu? Apakah kau keras kepala juga?" Seungjae bertanya sambil sedikit mengangkat alisnya, menggoda.
Dami pura-pura berpikir sejenak sebelum menjawab. "Mungkin sedikit. Tapi aku lebih sering mengalah. Itu sebabnya, Jian yang lebih sering menang saat kami bertengkar." Dia tersenyum, lalu melahap nasi di sendoknya.
"Jadi, kalau aku bertengkar denganmu, apakah aku juga harus siap kalah?" Seungjae melanjutkan, kali ini dengan senyum menggoda di bibirnya.
Dami terkekeh. "Bisa jadi. Tergantung seberapa keras kau berusaha menang." Dia mengedipkan mata dengan gaya main-main, sesuatu yang tak biasanya dia lakukan di depan Seungjae.
"Sepertinya aku harus belajar dari Jian bagaimana caranya memenangkan perdebatan denganmu," jawab Seungjae dengan nada penuh canda.
Dami tersenyum, tangannya kini bermain-main dengan sendoknya. "Kau ingin bertemu Jian? Aku yakin kalian akan cocok. Dia suka menulis dan membaca novel, sama sepertimu."
Seungjae menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap Dami lebih serius kali ini. "Tentu, aku ingin bertemu dengannya. Setelah mendengar ceritamu, aku jadi penasaran dengan sosok yang bisa membuatmu tersenyum seperti ini."
Dami memandangnya, sedikit terkejut. "Senyum seperti ini?"
Seungjae mengangguk. "Aku belum pernah melihatmu tersenyum selebar ini selama kita bekerja bersama."
Wajah Dami memerah sedikit. "Mungkin karena aku belum pernah cerita soal Jian. Dia benar-benar seperti saudari bagiku. Kami sudah saling mengenal sejak lama, lebih dari sekadar teman biasa."
"Seperti saudari, ya?" Seungjae merenung sesaat, sebelum melanjutkan dengan senyum kecil. "Kurasa aku harus mulai mempersiapkan diri. Kalau kau begitu dekat dengannya, berarti aku harus membuat kesan yang bagus saat bertemu."
"Kau berlebihan," Dami tergelak. "Tapi kurasa Jian akan menyukaimu. Dia suka orang yang punya pandangan tajam, apalagi soal cerita dan novel. Kau pasti punya banyak topik untuk dibahas."
"Dan kau? Kau tidak terlalu suka menulis?" Seungjae menatapnya, seolah ingin memahami lebih jauh tentang Dami.
Dami menggeleng pelan. "Aku suka, tapi tidak seintens Jian. Bagiku, novel dan cerita itu sesuatu yang menyenangkan, tapi bukan obsesi. Hal yang benar-benar aku suka adalah astronomi. Aku bisa menghabiskan waktu berjam-jam hanya untuk melihat bintang di langit malam."
"Bintang, ya?" Seungjae mendengarkan dengan seksama. "Kau suka melihat bintang karena mereka jauh, atau karena mereka cantik?"
Dami tersenyum samar, pikirannya melayang pada malam-malam yang ia habiskan memandang langit. "Karena mereka membuatku merasa kecil tapi sekaligus tenang. Melihat sesuatu yang tak terjangkau tapi tetap mempesona. Selalu ada misteri di balik langit malam, dan itu membuatku ingin tahu lebih banyak."
Seungjae memandang Dami dengan tatapan lembut. Setelah beberapa detik, dia berkata, "Kau juga cantik."
Kata-kata itu begitu tiba-tiba, Dami nyaris menjatuhkan sendoknya. Tangannya terhenti di tengah jalan, sementara matanya beralih perlahan ke arah Seungjae, yang kini menatapnya dengan senyum tenang. Ia tidak tahu harus berkata apa, bibirnya seolah terkunci.
"Eh... apa?" Dami akhirnya mengeluarkan suara, namun terdengar begitu lemah dan bingung.
Seungjae berdiri dari kursinya, berjalan ke wastafel dengan santai. "Aku bilang, kau cantik. Itu saja."
Dami masih terpaku di tempatnya, berusaha mencerna perkataan itu. Seungjae dengan tenang mencuci peralatan makannya, sementara Dami merasa jantungnya berdebar lebih cepat dari biasanya. Apa dia baru saja mendengar hal yang benar?
Seungjae berbalik, menyeka tangannya dengan kain yang tersedia. "Jangan kaget begitu. Aku cuma berkata jujur."
Dami masih belum bisa berkata-kata, tapi ia mencoba menyembunyikan kekagetannya. "Aku... ehm, terima kasih," gumamnya, tidak yakin harus merespons bagaimana.
Seungjae melangkah mendekat, lalu dengan lembut mengacak rambut Dami dengan gemas. "Sering-seringlah tersenyum. Senyummu itu cantik, tahu. Makanya, jangan simpan senyummu untuk hal-hal tertentu saja. Kau pantas tersenyum lebih sering. Kau terlalu sering menyembunyikan emosimu."
Dami menatapnya dengan tatapan masih terkejut, sementara Seungjae sudah melangkah menuju ruang kerjanya. "Aku mau lanjut menulis. Kau istirahat saja dulu."
Tanpa menunggu jawaban, Seungjae pun menghilang di balik pintu ruang kerjanya, meninggalkan Dami yang masih duduk mematung di meja makan, sendoknya belum bergerak dari posisi semula.
Ia akhirnya menghela napas panjang, perlahan meletakkan sendoknya. Makanannya hampir tak tersentuh, tapi kali ini bukan karena ia tak lapar—melainkan karena pikirannya kini dipenuhi dengan kata-kata Seungjae.
Senyum tipis muncul di wajahnya, meski hatinya masih berdebar. Hari ini, ia tidak hanya menceritakan kisah tentang Jian, tapi juga mengenal Seungjae sedikit lebih dekat. Dan itu, ia sadari, membuatnya merasa hangat di dalam.
***
Dami melirik jam di ponselnya, menyadari bahwa waktu sudah lebih sore dari yang dia kira. Dia menghela napas pendek sebelum menoleh pada Seungjae yang masih sibuk di ruang kerjanya.
"Aku harus pulang sekarang," ujar Dami sambil merapikan barang-barangnya. "Aku mau ke rumah sakit menemui Sangho oppa."
Seungjae, yang sedang duduk dan bermain dengan Nemo, menoleh dengan alis sedikit terangkat. "Oh, bagaimana keadaan Sangho hyung? Sudah membaik?"
Dami tersenyum tipis dan mengangguk. "Iya, dia bilang dia sudah bisa pulang minggu depan. Tapi masih butuh istirahat yang banyak."
"Syukurlah kalau begitu," jawab Seungjae sambil bersandar di kursinya. "Kau mau aku antar?"
Dami menggeleng sambil tersenyum sopan. "Tidak perlu. Aku bisa naik taksi. Lagipula, kau kan masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan."
Seungjae hanya mengangguk, meski ekspresinya masih sedikit khawatir. "Oke, kalau kau butuh bantuan, jangan sungkan bilang, ya."
"Gomawo," jawab Dami sebelum melangkah keluar dari apartemen Seungjae.
Di rumah sakit, Dami melangkah masuk ke dalam kamar Sangho yang terang. Sangho tengah duduk di ranjangnya dengan beberapa buku di sampingnya. Begitu melihat Dami, senyum Sangho langsung mengembang.
"Dami-ya! Akhirnya kau datang. Sudah makan?" tanya Sangho ceria, meski suaranya masih terdengar agak lemah.
Dami tersenyum lembut dan duduk di kursi di samping ranjangnya. "Sudah kok. Bagaimana perasaanmu hari ini?"
Sangho mengangguk. "Lumayan. Aku sudah bilang kan kalau dokter bilang aku bisa pulang minggu depan, tapi aku masih perlu banyak istirahat. Harus benar-benar jaga stamina."
Dami menghela napas lega. "Syukurlah. Aku khawatir kau harus tinggal di sini lebih lama."
Sangho menatap adiknya sejenak, matanya menyipit seolah mencoba mencari sesuatu di wajah Dami. "Ada masalah?" tanyanya tiba-tiba, alisnya sedikit mengernyit.
Dami cepat-cepat menggeleng dan tersenyum. "Tidak, semua baik-baik saja. Kau tidak perlu khawatir soal apa-apa. Fokus saja buat sembuh."
Sangho masih terlihat ragu, tapi akhirnya ia mengangguk pelan. "Baiklah. Tapi kalau ada apa-apa, kau harus bilang, ya?"
Dami tersenyum, mengulurkan tangannya dan menggenggam tangan Sangho. "Tentu. Jangan pikirkan yang lain dulu. Aku ada di sini."
Sangho tersenyum kembali, merasa sedikit lebih tenang.