Setelah tiba di rumah dan mengunci pintu, Dami menjatuhkan tubuhnya di atas sofa dengan napas lega. Hari itu sangat melelahkan, tetapi juga penuh dengan momen-momen yang membuatnya tersenyum. Dia masih bisa merasakan sisa angin pantai di kulitnya dan suara debur ombak di telinganya. Ia meraba sakunya, mengambil ponsel yang sempat mengganggu tidurnya tadi.
Begitu ponsel menyala, ada notifikasi pesan dari Jian. Dami langsung membuka dan membaca pesannya.
Jian:
Dami-ya, mwohae?
Dami tersenyum, merasa bersalah karena tak sempat membalas lebih cepat. Ia segera mengetik balasan.
Song-Da:
mian baru lihat pesannya
tadi baru pulang dari pantai
neon?
Tidak lama setelah pesan terkirim, ponsel Dami kembali bergetar—kali ini panggilan dari Jian. Tanpa ragu, Dami langsung mengangkat panggilan tersebut.
"Eo, Jian-ie!" sapa Dami dengan semangat.
"Yo, Dami-ya! Bagaimana harimu? Pantai? Wah, pasti seru!" jawab Jian dengan suara ceria.
Dami tertawa kecil dan mengangguk meskipun Jian tak bisa melihatnya. "Hm, cukup seru. Aku pergi bersama Seungjae. Sebenarnya lebih untuk menenangkan pikirannya. Dia sedang kena writer's block."
"Oh? Bagaimana bisa? Jadi kau dan Seungjae makin akrab sekarang, ya?" tanya Jian, terdengar menggoda.
Dami tertawa pelan, merasa sedikit tersipu. "Bukan seperti itu! Hanya... ya, dia butuh refreshing, dan aku membantunya."
Percakapan pun berlanjut. Malam itu, Dami menghabiskan waktunya bercerita panjang lebar kepada Jian tentang segala hal yang terjadi di pantai, mulai dari makan kerang rebus hingga percakapan mendalam mereka. Jian, seperti biasanya, mendengarkan dengan penuh perhatian, sesekali menambahkan komentar atau tertawa mendengar kisah-kisah kecil yang lucu.
"Jadi kalian makan kerang dan tanganmu kena letusan air panas? Wah, Dami-ya, kau benar-benar ceroboh!" Jian tertawa lepas, membuat Dami ikut tertawa.
"Iya, tapi aku baik-baik saja. Hanya sedikit kaget, tidak terlalu sakit, kok," jawab Dami.
Setelah obrolan panjang itu, keduanya mengucapkan selamat malam. Jian bilang bahwa mereka harus segera bertemu lagi untuk minum kopi atau jalan-jalan seperti biasanya. Dami menyetujui dengan senang hati sebelum menutup telepon dan menatap langit-langit kamarnya. Hari itu memang melelahkan, tetapi penuh dengan kebahagiaan kecil yang membuatnya merasa lebih hidup.
***
Keesokan paginya, Dami kembali ke tempat Seungjae seperti biasa. Pekerjaan sebagai manajernya membuatnya sering bolak-balik ke apartemen sang penulis, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Begitu ia membuka pintu, aroma harum makanan langsung menyambutnya. Dami berjalan pelan menuju dapur, merasa sedikit bingung, tetapi juga penasaran.
Di dapur, Seungjae berdiri dengan apron hitam, sibuk memasak sesuatu di atas kompor. Dami berhenti sejenak, tidak percaya dengan pemandangan di depannya. Biasanya, dia yang sibuk mengurus keperluan Seungjae, termasuk urusan makanan. Namun, pagi itu Seungjae tampak sibuk memasak sendiri.
"Seungjae-ssi?" panggil Dami dengan nada bingung.
Seungjae menoleh sejenak dan tersenyum. "Ah, kau sudah datang. Duduk saja, aku hampir selesai memasaknya."
Dami melangkah mendekat, tak bisa menyembunyikan keterkejutannya. "Kau memasak? Untukku?"
"Ya, apa ada yang salah? Aku pikir kau butuh istirahat setelah hari yang panjang kemarin," jawab Seungjae dengan nada ringan.
Dami tersenyum dan akhirnya duduk di meja makan. Dia tidak menyangka Seungjae akan melakukan hal seperti ini. Biasanya, Seungjae tidak terlalu memedulikan hal-hal kecil seperti ini, tetapi pagi ini terasa berbeda. Mungkin mereka mulai merasa lebih nyaman satu sama lain setelah perjalanan ke pantai kemarin.
Tak lama kemudian, Seungjae membawa dua piring berisi makanan yang tampak lezat. Ada nasi, lauk-pauk, dan sup sederhana yang terlihat sangat menggugah selera. Dami memandang hidangan itu dengan mata berbinar.
"Ini terlihat enak!" Dami tak bisa menahan senyumnya.
Seungjae duduk di depannya, melepas apron dan menaruhnya di kursi samping. "Coba dulu, baru kau bisa memujinya."
Dami tertawa kecil dan mulai menyuapkan makanan ke mulutnya. Rasanya ternyata lebih enak daripada yang ia bayangkan. "Wah, ini enak! Aku tidak tahu kau bisa memasak sebaik ini."
Seungjae mengangkat bahu dengan santai. "Aku harus belajar memasak ketika tinggal sendiri. Ternyata ada gunanya juga."
Mereka berdua makan dalam suasana yang tenang, hingga tiba-tiba ponsel di saku Dami bergetar. Ia mengambilnya dan melihat nama Jian muncul di layar.
"Aku pamit sebentar, ada telepon masuk," kata Dami sambil berdiri dari meja makan.
Seungjae mengangguk, memperhatikan Dami yang berjalan keluar dari ruang makan untuk menjawab telepon. Raut wajahnya menunjukkan sedikit kebingungan, tetapi ia tidak berkata apa-apa.
Dami mengangkat telepon sambil berusaha menjaga suaranya tetap rendah. "Eo, Jian, wae?"
Di seberang sana, Jian terdengar agak menyesal. "Dami-ya, aku minta maaf, tapi sepertinya aku tidak bisa pergi akhir pekan ini. Ada urusan kantor yang mendadak."
Dami tersenyum, meskipun Jian tidak bisa melihatnya. "Tidak apa-apa. Urusan keluarga tentu lebih penting. Kita bisa bertemu lain kali."
Setelah berbicara sebentar lagi, Dami menutup telepon dan kembali ke meja makan. Seungjae sedang menyantap makanannya, tetapi ia menoleh ke arah Dami ketika dia duduk kembali di kursinya.
"Itu dari Jian," kata Dami sambil memasukkan ponselnya kembali ke saku.
Seungjae mengangkat alis, menatap Dami dengan pandangan yang penasaran. "Jian?" tanyanya dengan nada datar, tapi rasa ingin tahu tampak di wajahnya. "Ada apa?"
"Biasanya kami suka pergi bersama-sama, terutama di akhir pekan. Tapi sepertinya minggu ini dia tidak bisa karena ada urusan keluarga."
"Oh... Tapi Jian itu siapa?"
"Jian itu..."