Seungjae sudah seharian mengurung diri di ruang kerjanya. Dami yang duduk di ruang tamu mulai merasa khawatir karena sejak kemarin, Seungjae belum juga keluar. Ia sempat beberapa kali mengetuk pintu, tapi hanya mendapat jawaban singkat, "Aku masih sibuk," atau terkadang bahkan tak ada jawaban sama sekali.
Akhirnya, dengan rasa khawatir yang semakin besar, Dami memutuskan untuk bertindak. Ia mengetuk pintu ruang kerja Seungjae dengan lebih keras. "Seungjae-ssi, kau baik-baik saja di dalam?" tanyanya dengan suara tegas. Tetap tak ada balasan.
Tak bisa menunggu lebih lama, Dami meraih gagang pintu dan mendorongnya terbuka. Di dalam, Seungjae duduk dengan wajah kusut di depan laptop yang layarnya masih kosong. Tumpukan kertas berserakan di meja, dan pandangannya terlihat hampa, seolah seluruh energinya terkuras habis.
"Kau tidak bisa terus begini," ujar Dami dengan nada khawatir namun tegas. Ia berjalan mendekat dan melipat tangannya di dada. "Sudah dua hari, dan kau bahkan belum mandi. Kau butuh istirahat."
Seungjae menghela napas panjang, memijat pelipisnya. "Aku hanya... tidak bisa menulis. Semua ideku terasa mampet."
Dami mendekat dan menarik lengan Seungjae. "Ayo, mandi dulu. Setelah itu, kita pergi ke pantai. Udara segar mungkin bisa membuatmu merasa lebih baik."
"Eh?" Seungjae menatapnya dengan ekspresi terkejut.
"Tidak ada bantahan. Kau butuh refreshing," ujar Dami tegas.
Dengan setengah hati, Seungjae akhirnya mengangguk. "Baiklah, tapi kau yang bertanggung jawab kalau aku tetap tak bisa menulis setelah ini."
Dami hanya tertawa kecil. "Aku terima tantangannya."
***
Di pantai, angin laut yang sepoi-sepoi menyambut Dami dan Seungjae begitu mereka melangkah keluar dari mobil. Suasana tenang dan damai, dengan suara ombak yang memecah di pantai, memberikan jeda yang sangat dibutuhkan bagi pikiran yang penat. Seungjae masih terlihat agak canggung dengan ide ini, tetapi Dami merasa senang melihatnya akhirnya keluar dari ruang kerja.
Mereka berjalan beriringan di sepanjang garis pantai, membiarkan kaki mereka bersentuhan dengan air laut yang dingin. Seungjae memasukkan tangannya ke dalam saku jaketnya, sesekali menendang kerikil kecil di jalanan pasir. Dami, yang biasanya lebih pendiam di sekitar Seungjae, memutuskan untuk memulai percakapan.
"Kau ingat, waktu pertama kali kita bertemu?" Dami melirik Seungjae sambil tersenyum.
Seungjae mengangguk, sedikit menyipitkan mata ke arah laut. "Ya, tentu saja. Aku masih ingat bagaimana kau terlihat gugup waktu itu. Aku berpikir, 'Orang ini pasti akan kesulitan jika aku tidak segera mengujinya.'"
Dami tertawa kecil, mengingat saat-saat awal bekerja dengan Seungjae yang memang terasa seperti mimpi buruk. "Aku benar-benar bingung dengan sikapmu waktu itu. Aku bahkan sempat berpikir untuk berhenti di hari kedua."
Seungjae tersenyum tipis, lalu menoleh ke arahnya. "Kenapa tidak? Kenapa kau tetap bertahan?"
Dami menghela napas panjang sambil menatap langit. "Kurasa karena aku tahu ini salah satu cobaan hidupku, lagipula aku hanya menggantikan Sangho oppa. Bagaimana bisa aku menelantarkanmu begitu saja saat oppa sakit. Dan, meskipun sulit, aku melihat bahwa kau bukan tipe orang yang jahat. Hanya saja... caramu memang tidak biasa."
Seungjae terkekeh. "Aku memang tidak biasa, ya?" Ia terdiam sejenak sebelum melanjutkan. "Aku punya alasan mengapa aku melakukan 'ospek' kepada semua manajerku. Seperti yang pernah aku katakan. Aku tidak bisa bekerja dengan orang yang tidak bisa kuterima sepenuhnya. Pekerjaan ini menuntut banyak komitmen, dan aku harus yakin bahwa orang yang bekerja denganku benar-benar bisa mengerti tekanan yang akan mereka hadapi."
Dami mendengarkan dengan serius, kini mengerti mengapa Seungjae sering dianggap sulit. "Jadi, itu bukan hanya tentang kepercayaan? Tapi juga tentang memastikan bahwa mereka bisa bertahan?"
"Benar," jawab Seungjae. "Aku tidak mau seseorang bekerja denganku lalu menyerah di tengah jalan. Itu hanya akan membuang waktu kita berdua."
Dami mengangguk paham. "Aku mengerti sekarang. Itu mungkin berat di awal, tapi sekarang aku justru merasa lebih dekat denganmu setelah melewatinya."
Seungjae memandangnya sejenak, lalu mengangguk kecil. "Aku juga merasa begitu."
Mereka melanjutkan berjalan sambil menikmati suasana pantai, dan tak lama kemudian mereka tiba di sebuah kedai kecil yang menjual makanan laut. Aroma gurih dari makanan yang dimasak membuat perut mereka berbunyi, dan Seungjae mengajak Dami untuk duduk di sebuah meja kecil di pinggir pantai.
"Bagaimana kalau kita makan kerang rebus? Kedai ini terkenal dengan masakan kerangnya," tawar Seungjae.
Dami tersenyum lebar. "Tentu, aku suka sekali kerang."
Mereka memesan seporsi kerang rebus, dan tak lama kemudian piring besar berisi kerang yang masih panas disajikan di hadapan mereka. Uap yang naik dari piring membuat Dami menggosok-gosokkan kedua tangannya, bersiap untuk menyantapnya. Seungjae, yang lebih terampil dalam urusan makan kerang, segera memulai dengan membuka cangkangnya dan menikmati isinya.
Sambil makan, mereka kembali berbincang tentang topik-topik ringan, seperti film favorit mereka atau tempat-tempat yang ingin mereka kunjungi. Suasana semakin santai, dan Dami merasa lebih rileks dari sebelumnya. Ia mulai berpikir bahwa Seungjae sebenarnya cukup menyenangkan ketika suasana tidak sedang tegang.
Namun, di tengah percakapan, tiba-tiba sebuah kerang yang sedang Dami buka meletus, memercikkan air panas ke tangannya.
"Att!" Dami tersentak, menarik tangannya cepat-cepat dan mengibaskannya. "Ttego!" (Aw!; Panas!)
Seungjae dengan sigap mengambil selembar tisu dan mendekatkan ke tangannya. "Kau baik-baik saja?" Ia memeriksa tangannya dengan perhatian yang jarang ia tunjukkan. "Sepertinya tidak terlalu parah, tapi tetap saja, kau harus hati-hati."
Dami tertawa kecil, sedikit terkejut dengan sikap peduli Seungjae yang tiba-tiba. "Aku baik-baik saja. Hanya kaget."
Seungjae menghela napas, lega. "Kerang memang berbahaya kalau terlalu bersemangat membuka cangkangnya." Ia kembali duduk sambil tertawa kecil, dan Dami mengikutinya.
Suasana menjadi lebih akrab setelah insiden kecil itu. Mereka melanjutkan makan dengan hati-hati, sesekali bertukar cerita tentang pengalaman-pengalaman lucu yang pernah mereka alami. Dami merasa senang, seolah-olah beban yang ia bawa selama ini mulai terasa lebih ringan.
Di bawah langit senja yang berwarna keemasan, mereka menyelesaikan makanan mereka, lalu duduk bersantai menikmati pemandangan laut. Momen itu terasa begitu damai, seolah-olah segala kekhawatiran dan masalah yang mereka hadapi lenyap bersama angin laut yang bertiup.
"Terima kasih sudah membawaku ke sini," kata Seungjae pelan, suaranya terdengar tulus. "Aku memang butuh waktu untuk menjernihkan pikiranku."
Dami tersenyum hangat. "Aku senang kau ikut. Kadang, yang kita butuhkan hanyalah sedikit jeda dari semua rutinitas. Jadi bagaimana? Kau sudah merasa bisa menulis lagi setelah melihat dunia luar?"
Seugnjae tersenyum miring, "kau ingin aku berterimakasih ya karna mengajakku keluar?"
"Eh? Tidak ya!" Dam imemutar bola matanya bercanda. "Kau ini menanggapku apa heh."
Jawaban tersebut membuat Seungjae sedikit terkekeh sebelum membalas, "terimakasih. Aku menjadi lebih baik karna sudah keluar dari rumah."
"Sama-sama, Lim Seungjae-ssi."
Mereka terdiam sejenak, hanya mendengarkan suara deburan ombak yang menemani senja. Dalam hati, Dami merasa bahwa hari itu adalah awal dari sesuatu yang lebih baik di antara mereka berdua.
***
Dalam perjalanan pulang, Dami tak sanggup menahan rasa lelah yang menghampiri tubuhnya setelah seharian menikmati udara pantai. Hembusan angin dari jendela mobil yang sedikit terbuka, ditambah irama tenang dari mesin kendaraan, membuat matanya perlahan-lahan terpejam. Tanpa terasa, ia tertidur di kursi penumpang, kepalanya bersandar di jendela.
Seungjae meliriknya sekilas saat mobil berhenti di lampu merah. Senyum tipis muncul di wajahnya melihat Dami yang tertidur dengan napas teratur. Ia tahu betul bahwa hari ini cukup melelahkan, tetapi juga menyenangkan, terutama karena mereka akhirnya bisa meluangkan waktu bersama di luar urusan pekerjaan.
Tapi, ketenangan itu sedikit terusik ketika ponsel Dami terasa tiba-tiba bergetar di pangkuannya. Dami mengerjap, setengah sadar, lalu menggeser tubuhnya sedikit. Matanya sempat terbuka separuh, tapi dengan cepat ia kembali tenggelam dalam tidurnya yang nyenyak.
Melihat Dami sedikit menggigil, Seungjae melepaskan jaketnya dan dengan hati-hati menyelimutkannya di tubuh Dami. Ia memastikan jaket itu menutupi bahu Dami agar dia tetap hangat dalam tidurnya. Setelah memastikan Dami nyaman, Seungjae kembali fokus menyetir, melaju pelan di jalan yang sepi menuju rumah Dami.
Dengan suara napas Dami yang lembut mengiringi perjalanan, Seungjae merasa anehnya lebih tenang daripada biasanya. Ia tidak terburu-buru. Hanya menikmati momen kecil ini bersama Dami.