Ternyata, apa yang dibicarakan oleh Seungjae kemarin itu bukanlah hanya omongan belaka. Dia benar-benar menepati janjinya.
Tadi pagi, saat Dami sampai di apartemennya, Seungjae sedang cuci puring. Wangi kopi semerbak di seluruh ruangan tamu.
"Kau sedang apa?" Pertanyaan bodoh. Jelas-jelas dia sedang mencuci piring, Dami.
Dami berjalan meletakkan tasnya di atas sofa dan berangsur ke dapur. "Tadi aku habis makan. Langsung ku cuci lah piringnya." Jawaban Seungjae tentu saja sedikit mengejutkan perempuan itu.
Reaksi terkejut dengan mata yang mengerjap itu menarik senyum simpul di wajah Seungjae. "Kenapa? Kau terlihat kaget?"
"Bukankah biasanya aku yang melakukannya?"
Seungjae menggeleng cepat sambil mengeringkan tangannya menggunakan kain yang tergantung di dekat wastafel. "Kan aku sudah bilang kalau kau sudah lulus dari uji ku. Jadi kau hanya perlu melakukan yang selayaknya seorang manajer terhadap penulis lakukan saja."
"Kau serius?" Tampaknya Dami masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Seungjae barusan. Benar-benar seperti itu, kah?
Lelaki itu menghela napas, menyandarkan tangannya di atas meja makan tempat Dami duduk sekarang, "aku serius. Kenapa kau anggap bercanda sih?"
Dami terkekeh kecil. "Baiklah. Tapi kalau memasak saja, aku masih sanggup kok. Jadi biarkan aku masak oke?"
"Ta--"
"Tidak ada tapi. Toh aku tidak punya banyak pekerjaan juga."
"Baiklah. Baiklah. Aku kembali ke ruang kerja dulu. Karna masih ada yang harus ditulis. Mungkin kapan-kapan akan ku perlihatkan padamu untuk baca terlebih dahulu. Bagaimana? Kau tertarik?"
Dami nyaris tidak bisa menahan senyumnya yang langsung meluap. Matanya berbinar penuh antusiasme, seperti anak kecil yang baru diberi hadiah. Siapa yang tidak senang mendapatkan kesempatan langka ini? Karya seorang Lim Seungjae, penulis ternama yang selalu menghasilkan buku-buku laris.
"Aku mau, aku mau," katanya sumringah, membuat Seungjae tersenyum kecil dan secara tak sadar mengacak rambutnya sambil berlalu ke ruang kerjanya. Meninggalkan Dami yang sekarang mematung terkejut dan rona merah di wajah yang mulai muncul. Dami tertegun sejenak. Pipinya memanas, jantungnya berdetak lebih cepat.
Apa-apaan ini? batinnya, sambil berusaha menenangkan diri dengan satu tarikan napas.
***
Kedua kaki Dami bergoyang ke depan dan belakang. Merasa sedikit bosan karna biasanya ada perkejaan yang dia kerjakan, tapi sekarang leluasa sekali waktunya. Matanya sesekali memperhatikan Nemo yang sedang tertidur diatas kasurnya dengna manis.
Merasa bosan menunggu waktu untuk menyiapkan makan siang, Dami berjalan pelan untuk mengelus Nemo yang perlahan membuka matanya dan menggoyangkan ekornya dengan senang kala mendapati Dami sedang berjalan ke arahnya. "Aigoo, Nemo-ya. Neon eojjeom ireohge gwiyeowosseulkka? Aigoo aigoo. Sinnasseo? Sinnattne." Tangan Dami sibuk mengelus perut Nemo yang terbuka terhadapnya seakan memang minta dielus. Bermain dengan Nemo seperti ini membuat Dami jadi tersenyum sendiri karna seperti mendapatkan energi positif dari seekor anjing.
Drrttt drrttt
Mendengar ada suara getar dari hapenya yang diletakkan diatas meja tadi, Dami sedikit bergegas untuk mengangkatnya. Terdapat nama 'JIAN-KU' di layar ponselnya yang membuatnya sedikit senang. Karna ada teman yang bisa menemaninya.
"Jian!"
"Mwoya? Wae ireohge sinnasseo? Joheun ili saengyeottna?" tanya Jian bercanda di seberang telepon itu. (Apa ini? Kenapa kau terlihat senang sekali? Apakah ada hal baik yang terjadi?)
Dami melemparkan tubuhnya ke sofa dan tersenyum lebar. "Kau tahu? Aku sudah berbaikan dengan Seungjae-ssi."
"Oh benarkah? Berarti sia-sia kau kesal kemarin?"
"Tidak juga sih. Wajar kan jika aku kesal? Akan kuceritakan nanti."
"Iya iya. Aku tunggu ceritamu ya."
Senyum Dami semakin lebar mendengar dukungan dari temannya itu. "Kau sedang tidak bekerja?"
"Aku se--"
Drrrggg
Suara pintu ruang kerja yang terbuka, menyita perhatian Dami sebentar. Ia menutup speaker hapenya dan berbalik menatap Seungjae yang baru saja keluar dari ruangan. "Ada yang ingin kubantu?"
Seungjae tersenyum dan menggeleng. Tangannya mengisyaratkan untuk Dami lanjut telepon saja. Sedangkan dirinya pergi ke dapur untuk menuangkan air putih ke dalma cangkir.
"Eo? Apa Jian? Aku tadi sedang bicara dengan Seungjae sebentar."
Terdengar helaan lelah dari seberang sana yang seakan menandakan sudah lelah bicara ternyata tidak didengar. "Kau ini. Aku sudah bicara ternyata tidak didengar. Aku sedang di luar tadi dari membeli makan. Ini sudah di kantor. Kau juga kembalilah sana. Semangat!!"
"Kau tidak merajuk kan?" ledek Dami iseng.
"Aku tidak merajuk, Song Dami. Aku harus bekerja lagi sekarang."
Dami terkekeh, "baiklah. Sampai ketemu lain kali!"
***
Jarum di jam dinding yang tergantung pada runag tengah sudah menunjukkan pukul 2.45 siang. Tapi lelaki yang sedari tadi bekerja di ruang kerja itu belum ada tanda-tanda akan keluar untuk makan sama sekali.
Dami sampai harus rebahan lagi di sofa karna menunggu Seungjae yang tak kunjung kelaur dari ruang kerjanya. Sesekali ia juga melihat jam dinding tersebut, menunggu suara pintu terbuka, tapi tak ada sama sekali. Dami juga sudah lapar sekali sekarang.
Jarum jam terus bergerak mendekati pukul tiga sore, dan perut Dami mulai keroncongan. Tapi bukan hanya rasa laparnya yang mengusik pikirannya, melainkan kekhawatirannya terhadap Seungjae. Apakah dia benar-benar berniat melewatkan makan siang lagi? Wajahnya mengingatkan Dami pada kejadian beberapa waktu lalu, saat Seungjae terlalu sibuk sampai akhirnya tumbang karena sakit.
Dia tidak boleh terlalu keras pada dirinya sendiri, pikir Dami sambil menghela napas, akhirnya memutuskan untuk mengetuk pintu ruang kerjanya.
Dengan segala pertimbangan, Dami berdiri dari sofa dan berjalan pelan ke ruang kerja Seungjae. Mengetuknya tiga kali dengan pelan.
Terdengar suara samar-samar yang menjawab dari dalam ruangan itu, "Ne?"
"Seungjae-ssi. Kau tidak mau makan siang? Ini sudah jam setengah tiga siang," jawab Dami dengan halus dan telinga yang didekatkan ke pintu ruang kerja itu, menunggu jawaban selanjutnya.
Lalu, ada suara kaki kursi yang digerakkan, dilanjutkan dengan suara sepasang kaki yang berjalan mendekat. Tak lama, pintu ruang kerja itu terbuka, menampilkan Seungjae dengan pakaian santainya dengan rambut sedikit berantakan dan kacamata yang bertengger agak turun di hidungnya, menambah kesan seorang penulis yang terlalu sibuk dengan dunianya sendiri.
"Kau bisa makan duluan, Dami-ssi."
Dami mengerjapkan matanya sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Tidak. Sibuk atau tidak, kau harus tetap makan. Kau tidak boleh terus memforsir dirimu sendiri, ingat kan? Aku tidak mau kau jatuh sakit lagi seperti waktu itu."
Suaranya terdengar lembut, tetapi tegas. Tangannya yang kecil menggenggam lengan Seungjae, menariknya dengan mantap ke arah meja makan. "Ini juga bagian dari tugasku sebagai manajermu," tambahnya, memberi senyum tipis yang penuh makna.
Dami menyuruh Seungjae untuk duduk dan memberikan peralatan makan padanya.
"Mau sesibuk apapun, harus makan," katanya tegas sambil memberikan sumpit dan sendok pada Seungjae yang diterima dengan senyuman tulus Seungjae.
Jarang sekali ada yang mengingatkannya untuk makan seperti ini. Selama ini dengan Sangho, dia jarang dipaksa makan seperti ini karna Sangho juga hampir tidak ada waktu untuk memperhatikannya secara khusus. Dia memegang 5 penulis di perusahaannya. jadi semua harus terbagi rata.
Seungjae tersenyum dan mengangguk patuh. "Baiklah. Terimakasih banyak."