Sangho tiba di apartemen Seungjae dengan napas yang tersengal-sengal. Ketika melihat tubuh temannya yang terbaring lemas di sofa, wajahnya memucat. Seolah sudah bersiap, Sangho melihat Dami sudah memakai tas ransel Seungjae yang kebetulan ada di ruang tamu. Tanpa banyak bicara, Samgho segera memapah Seungjae, menempatkan satu tangan Seungjae di bahunya, sementara Dami membantu menahan di sisi lainnya. Keduanya berusaha sebisa mungkin membuat Seungjae tetap berdiri saat mereka menuju mobil.
Di rumah sakit, suasana menjadi lebih tegang. Sangho memutuskan untuk langsung mengurus administrasi, meninggalkan Dami untuk menemani Seungjae di ruang tunggu. Dami duduk di samping Seungjae yang terbaring lemah di ranjang pemeriksaan. Wajah Seungjae pucat, dan keringat masih mengalir di dahinya.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan sebelum akhirnya Seungjae membuka matanya sedikit, suaranya serak dan hampir tak terdengar. "Air," katanya lemah.
Dami dengan cekatan mengambil gelas air dari meja di dekatnya dan membantu Seungjae minum. Setelah meneguk beberapa kali, Seungjae mencoba untuk menggerakkan tubuhnya lebih tegak, meskipun masih terlihat sangat lemas. Matanya yang tadinya buram mulai lebih fokus, dan ia memandang Dami dengan tatapan bingung.
"Kau adiknya Sangho, ya?" tanyanya, suaranya masih terdengar serak tapi lebih jelas. Matanya memperhatikan tangannya yang kini tengah dipasang jarum infus.
Dami mengangguk pelan, sedikit canggung. "Iya, aku Dami," jawabnya dengan nada lembut.
Setelah itu, keheningan kembali menyelimuti mereka. Tidak ada satu pun dari mereka yang membuka mulut. Seungjae, meski baru saja bangun dari pingsan, tampak lebih terjaga dan mulai mencari-cari sesuatu.
"Apakah kau membawa tasku?" tanyanya.
Dami sempat bingung sesaat dengan pertanyaan Seungjae, tapi dia mengangguk juga. Ia memberikan tasnya pada Seungjae dengan segera.
Seungjae dengan tangan yang masih diinfus, mengeluarkan laptopnya dari tas dan langsung tenggelam dalam pekerjaannya. Jari-jarinya mulai menari di atas keyboard, seolah dunia luar tak lagi ada. Dami hanya bisa menggelengkan kepala, bingung melihat orang yang sakit parah masih saja bekerja.
Sementara itu, Dami mengambil ponselnya dan mulai menonton drama Korea untuk menghabiskan waktu, sesekali melirik Seungjae yang tampak begitu serius menulis. Suara ketikan di laptop Seungjae dan video yang dimainkan Dami adalah satu-satunya suara di ruang kecil itu, seolah dunia mereka hanya terdiri dari layar laptop dan ponsel.
Tak lama kemudian, pintu ruangan terbuka, dan Sangho masuk. Wajahnya sedikit lega setelah berhasil menyelesaikan administrasi. "Bagaimana dia?" tanya Sangho, memandang Dami dengan cemas.
Dami menoleh dan menunjuk Seungjae dengan dagunya. "Dia sudah bangun dan... dia malah menulis," jawabnya, menunjukkan sedikit kebingungan di wajahnya.
Sangho hanya menghela napas dan menggelengkan kepala, menghampiri Seungjae yang masih tenggelam dalam pekerjaannya. Dengan gerakan cepat, Sangho mengambil laptop dari tangan Seungjae, membuat Seungjae protes lemah.
"Hei, kau ini harus istirahat, bukannya kerja terus!" Sangho menegur dengan nada yang lebih tegas dari biasanya.
Seungjae hanya bisa memandang Sangho dengan mata setengah tertutup. "Aku harus menyelesaikan ini," gumamnya sebelum kepalanya kembali terjatuh di atas bantal. Badannya tampak menyerah pada kelelahan.
Sangho mendudukkan dirinya di kursi, sementara Dami memutuskan untuk keluar sebentar. "Aku keluar sebentar dulu, Oppa," ucapnya sambil melirik Seungjae yang sudah setengah tertidur. Sangho mengangguk, mengucapkan terima kasih pada adiknya sebelum Dami meninggalkan ruangan.
***
Setelah ijin keluar sebentar, Dami segera menelepon temannya, Jian, untuk menceritakan kejadian yang baru saja ia alami di apartemen Seungjae dan rumah sakit. "Aku benar-benar tidak menyangka, Jian. Dia pingsan begitu saja, badannya panas sekali!" kata Dami sambil duduk di kursi pengunjung di taman rumah sakit.
"Serius? Kasian banget Seungjae-ssi. Mungkin dia terlalu capek," jawab Jian dengan nada prihatin di ujung sana. "Kapan kita ketemu lagi? Aku pengen denger ceritanya langsung."
Dami mengangguk meski Jian tidak bisa melihatnya. "Nanti deh, kita atur waktu. Aku pasti cerita lebih lengkap."
***
Di rumah sakit, setelah Sangho memastikan Seungjae tertidur nyenyak, dia menaruh laptop Seungjae jauh dari jangkauannya. "Kau ini, kerja terus. Istirahatlah dulu," gumam Sangho pelan pada dirinya sendiri. Dia tahu betapa kerasnya Seungjae bekerja, tetapi ada saat-saat di mana tubuh harus diberi waktu untuk pulih.
Saat Sangho duduk di kursi di samping ranjang, teleponnya tiba-tiba berdering. Ia mengangkatnya dan tampak semakin serius setelah mendengar isi pembicaraannya. "Ya, saya akan segera ke sana," kata Sangho sebelum menutup telepon.
Ia menatap Seungjae yang masih tertidur lelap. "Dami," panggilnya sambil melirik pintu. Dami yang baru saja kembali, menoleh langsung.
"Ada apa, Oppa?"
"Aku harus kembali ke kantor segera. Seungjae masih butuh diawasi, kau bisa jaga dia sementara?" tanya Sangho dengan nada penuh harap.
Dami, meski awalnya ragu, akhirnya mengangguk setuju. "Baiklah. Aku akan tunggu di sini."
Sangho tersenyum tipis, merasa lega karena Dami bisa diandalkan dalam situasi mendadak ini. "Gomawo, aku nggak akan lama," ucapnya sebelum cepat-cepat pergi.
***
Waktu berlalu, dan suasana kembali sunyi di dalam ruangan rumah sakit. Dami duduk di kursi dekat tempat tidur Seungjae, sesekali menatap ponselnya, menunggu kabar dari Sangho atau sekadar mengisi waktu.
Tiba-tiba, telepon Dami berdering. Nama Sangho muncul di layar, membuat Dami mengernyitkan dahi. Mengapa Sangho menelepon? Bukankah dia bilang tidak akan lama?
"Ne, Oppa?" jawab Dami setelah mengangkat telepon.
Suara di ujung telepon tidak seperti yang Dami harapkan. Itu bukan suara Sangho. Suara seseorang yang terdengar tegang dan serius. "Apakah Anda keluarga dari Tuan Song Sangho?"
Hati Dami mencelos. "Iya, saya adiknya. Ada apa?" tanyanya dengan suara gemetar.
"Maaf, tapi Tuan Song Sangho mengalami kecelakaan. Dia sedang dibawa ke rumah sakit terdekat," suara itu menjelaskan dengan cepat dan penuh formalitas, tapi cukup untuk membuat dunia Dami berputar.
Dami membeku sejenak, tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. "Kecelakaan?" bisiknya lemah, hampir tak terdengar.
"Benar, kami sedang dalam perjalanan menuju rumah sakit Mirae," lanjut suara di telepon.
Ponsel Dami hampir terlepas dari genggamannya. Hatinya terasa hampa, perasaannya bercampur aduk antara kaget dan takut. Pandangannya beralih ke arah Seungjae yang masih terbaring lemah di ranjang, belum sadar sepenuhnya dari kelelahan.
"Aku harus pergi," Dami bergumam pada dirinya sendiri, mencoba mengumpulkan kekuatan. Tapi bagaimana dengan Seungjae? Jika ia meninggalkannya sendirian, siapa yang akan menjaganya?
Ah persetanlah. Kakaknya lebih penting untuknya. Toh masih satu rumah sakit ini. Dia hanya perlu naik turun saja jika diperlukan.
[TBC]