Loading...
Logo TinLit
Read Story - Mermaid My Love
MENU
About Us  

Alya berhasil menangkap tubuh Marrinette yang dihempaskan dan nyaris membentur dinding. Lalu Darlius bergegas menghampiri Agnes dan membantunya berdiri.

Marrinette sudah kehilangan kesabarannya melihat Alya, Dilon dan Fadli kalah oleh anak buah Darlius. Dia menarik kalung Alya dengan penuh emosi hingga putus. Lalu menanggalkan cincinnya dan duduk bersimpuh menyatukan dua permata perhiasan itu ditangannya

"Marrinette apa yang kau lakukan!" teriak Alya.

Marrinette tak menyahut.

"Marrinette, yang kau lakukan itu sangat berbahaya, tempat ini bisa hancur."

"Aku tak peduli. Aku hanya ingin menyelamatkan kita," sahutnya yang mulai meneteskan air mata.

"Kekuatan gabungan dari perhiasan itu memang bisa menghancurkan musuh. Tapi imbasnya, Fadli takkan pernah bisa mengingatmu lagi."

"Aku tak peduli! Aku hanya ingin dia selamat meskipun nantinya dia tak mengingatku selamanya," cicitnya dengan tangisan yang semakin menjadi.

Marrinette memejamkan matanya, lalu mulai membaca mantra.

"Marrinette hentikan!" teriak Alya berusaha mencegah namun tak Marrinette dengarkan. Ia tetap memusatkan pikirannya pada batu permata perhiasan tersebut.

Tiba-tiba permata pada kalung dan cincin itu bersinar. Sinarannya berpendar-pendar sekaligus mengeluarkan suara berdenging yang memusingkan kepala. Mereka menutup telinga yang mulai terasa sakit dan kepala yang terasa pusing. Tiba-tiba suhu ruangan berubah drastis hingga minus 10 derajat Celsius. Orang-orang yang ada di dalam itu menggigil kedinginan. Marrinette mengeluarkan hawa panasnya untuk menjaga suhu badannya agar tetap normal.

"Mas, ada apa ini? Aku sudah tidak sanggup." Agnes  bergelayut pada lengan Darlius dengan ketakutan. Wajahnya pucat karena kedinginan.

"Aku juga tidak tau," sahut Darlius.

Mereka berdua sebenarnya ingin melarikan diri dari sana. Tapi kakinya tak bisa digerakkan seolah-olah seperti magnet yang menempel. Tubuh Agnes mulai lemas.

Alya dan Dilon susah payah mendekati Evelyn yang sudah mengigil. Alya dan Dilon mengabungkan kekuatan membentuk dinding pelindung sekaligus melindungi Evelyn dari hawa dingin yang membunuh.

Diluar badai kencang menghempaskan benda-benda di sekitarnya. Badai itu berhasil membuat jendela ruangan terbuka paksa kemudian menghempaskan semua barang-barang yang ada di dalamnya hingga pecah.

Ketakutan sudah meraja dalam diri musuh. Ada yang menyesal telah terjebak dalam ruangan itu. Suara teriakan panik Agnes mewarnai ruangan. Tapi Marrinette tak peduli. Kejahatan mereka sudah membuat dirinya naik darah sampai ubun-ubun. Hingga dia memilih cara yang paling berbahaya. Mereka memang pantas menerimanya.

Wahai dua cahaya, menyatulah!

Dua cahaya itu menyatu hingga menyilaukan mata. Lalu membentuk panah cahaya yang berukuran besar dan menembus atap rumah hingga hancur disertai suara gemuruh yang kuat. Kemudian getaran demi getaran mengguncang rumah itu. Lama-lama semakin kuat seperti gempa. Agnes berjalan dengan susah payah menuju pintu dan menariknya dengan kuat. Tapi terkunci, bahkan ia lupa dimana kuncinya. Ia berusaha menarik pintu dengan kuat bahkan sudah dibantu Fadli pun, namun nihil.

"Kita semua akan mati!" teriaknya panik dan mulai menangis.

Kalung dan cincin yang Marrinette pegang perlahan-lahan mulai terurai menjadi serbuk cahaya, yang bergerak mengitarinya membentuk lingkaran. Hal serupa juga terjadi pada Alya, Dilon dan Evelyn. Kemudian tubuh mereka mulai transparan, perlahan-lahan menghilang dari tempat itu, meninggalkan mereka yang dirundung petaka.

Gempa itu semakin dahsyat, dinding tembok mulai roboh menimpa mereka yang ada didalam. Tak butuh waktu lama, rumah megah Darlius ambruk menyisakan puing-puingnya.

Diluar petir menyambar-nyambar. Membunuh bodyguard Darlius tanpa tersisa.
***

Alya, Marrinette, Evelyn dan Dilon sudah tiba di tepi pantai. Evelyn masih dalam keadaan lemah karena pengaruh obat dan suhu dingin yang sempat dia rasakan sesaat sebelum Alya dan Dilon menyatukan kekuatan untuk melindunginya.

"Marrinette, buka matamu. Kita sudah sampai."

Marrinette membuka matanya. Berdiri, memandang lautan dengan tatapan kosong. Angin laut menerpa rambutnya yang terurai. Berbagai kenangan yang pernah dia jalani dengan Fadli, pertemuan yang menyebalkan, hingga menjadi kisah singkat namun sulit dilupakan. Tiba-tiba ia berteriak sekencang-kencangnya. Beserta tangisan yang terdengar memilukan.

"Aku bodoh," lirihnya.

Cinta tak dapat memiliki memang sakit. Namun yang lebih menyakitkan adalah ketika dia sadar bahwa cintanya terlarang namun tetap menceburkan diri hingga terjebak di dalamnya. Bahkan setelah ini, ia takkan melihat wajah pria itu lagi. Setiap hal yang mereka jalani begitu membekas, hingga ia bingung bagaimana cara melupakannya. Dia yang salah, dan dia sadar bahwa inilah konsekuensinya. Sebanyak apapun penyesalan menghantam hatinya, takkan bisa mengembalikan semua keadaan seperti semula.

Alya menatap Marrinette prihatin. Ia mendekati Marrinette yang masih menumpahkan air matanya, mengusap punggungnya dengan lembut.

"Sudahlah, tak perlu disesali. Semua sudah terjadi," ucapnya lembut.

Marrinette masih menangis.

"Terkadang kita perlu hanyut dalam masalah untuk mengukur seberapa dalam kebodohan kita. Namun setelah itu, bangkitlah dan belajarlah dari sebuah kegagalan. Agar kelak kau mendapati dirimu menjadi sosok yang lebih dewasa. Berhentilah menangis. Ayo kita menyelam. Ratu Apriana pasti sudah menunggu kita semua."

Marrinette mengangguk, mengusap air matanya. Alya menggandeng tangan Marrinette menuju air, Dilon menggendong Evelyn mengikuti mereka. Kemudian mereka menyelam dan berubah menjadi duyung, sedangkan Dilon berubah menjadi lumba-lumba.
***
Infus terpasang pada tangan Fadli yang tidak sadarkan diri. Seorang kakek menatapnya dengan cemas. Sejak dua hari yang lalu cucunya belum juga siuman. Berita-berita tentang gempa besar dua hari yang lalu terus saja berseliweran di TV.

Sang kakek menghela nafas berat, duduk di kursi sofa menatap cucunya. Hanya Fadli satu-satunya harapan tempat dia bergantung di usianya yang sudah tua. Kepanikan terlihat diwajahnya yang sudah berkerut. Tiba-tiba ia melihat jari Fadli bergerak, sang kakek bangkit dari duduknya. Dengan bantuan tongkatnya, ia berjalan tertatih-tatih mendekati cucunya. Perlahan-lahan Fadli mulai membuka mata, kakeknya tersenyum memperhatikan masih ada tanda-tanda kehidupan dalam diri Fadli.

"Syukurlah kau sudah sadar cucuku. Aku sungguh mengkuatirkanmu. Gempa itu menghancurkan bangunan di setiap sisi kota, bahkan rumahmu ikut luluh lantak. Darlius beserta anak buahnya ditemukan sudah tak bernyawa, hanya kau yang selamat."

Fadli tak menyahut. Tatapanya kosong

Sang kakek menghela nafas.

"Kau mau minum?"

Lagi-lagi tak ada sahutan dari Fadli.

Kakeknya sadar bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk mengajak cucunya bicara. Pandangannya beralih pada tabung infus yang sudah mau habis.

"Sebentar, aku harus memanggil suster biar infusmu diganti."

Sang kakek pergi keluar sebentar dan kembali lagi bersama suster setelah beberapa menit berselang.
***
Setelah menjalani perawatan intensif selama beberapa hari Fadli sudah dibolehkan pulang oleh pihak rumah sakit. Namun ia perlu memakai tongkat untuk membantunya berjalan dikarenakan salah satu kakinya patah akibat tertimpa reruntuhan bangunan.

Sepulang dari rumah sakit Fadli tidak langsung dibawa kakeknya ke apartement, melainkan kerumahnya yang sudah hancur.

Mengambil salah satu puing rumahnya. Ia menatapnya dengan sendu. Sang kakek yang mengira cucunya sedang menangisi kepergian ayahnya dan kehancuran rumahnya padahal bukan, Fadli bahkan tak peduli dengan ayahnya yang jahat itu. Dia hanya merasa kehilangan seseorang yang sangat berarti baginya, tapi dia tidak dapat mengingat siapa sosok tersebut. Yang dia tau, perasaannya pada sosok itu begitu dalam. Fadli menggenggam erat puing-puing reruntuhan itu seraya menitikkan air mata. Seolah sedang menggenggam hatinya, yang sudah hancur seperti puing-puing rumahnya.

Sang kakek menatapnya kasihan, mengusap punggungnya. "Sudahlah jangan ditangisi. Mari kita pergi dari sini. Tempat ini hanya akan menghancurkan perasaanmu."

Kini, Fadli berubah menjadi pendiam. Setiap sore ia selalu meminta ditemani kakeknya pergi ketepi pantai. Berdiri di sana dengan tatapan kosong menatap laut lepas. Ia tak mengerti, tapi ia selalu ingin berlama-lama disana. Air matanya menetes setiap kali memandangi lautan, seolah ada yang hilang dari dalam dirinya. Harapannya seakan tenggelam, seperti sunset yang perlahan-lahan menyentuh permukaan lautan, kemudian menghilang.

☆☆☆

Sehebat apapun diriku berkorban, namun jika takdirmu bukanlah aku, akan ada masalah yang membuat kita berpisah. Aku mencintaimu, tapi laut memisahkan kita. Biarlah senyumanmu menjadi kenangan manis yang menghias relung hati. Meskipun dirimu takkan bisa kumiliki.
-Marrinette-

THE END

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Premium
The Secret Of Bond (Complete)
6470      1492     1     
Romance
Hati kami saling terikat satu sama lain meskipun tak pernah saling mengucap cinta Kami juga tak pernah berharap bahwa hubungan ini akan berhasil Kami tak ingin menyakiti siapapun Entah itu keluarga kami ataukah orang-orang lain yang menyayangi kami Bagi kami sudah cukup untuk dapat melihat satu sama lain Sudah cukup untuk bisa saling berbagi kesedihan dan kebahagiaan Dan sudah cukup pul...
Mawar Putih
1441      766     4     
Short Story
Dia seseorang yang ku kenal. Yang membuatku mengerti arti cinta. Dia yang membuat detak jantung ini terus berdebar ketika bersama dia. Dia adalah pangeran masa kecil ku.
Venus & Mars
6113      1576     2     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagunan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan ...
My SECRETary
572      367     1     
Romance
Bagi Bintang, menjadi sekretaris umum a.k sekum untuk Damar berarti terus berada di sampingnya, awalnya. Tapi sebutan sekum yang kini berarti selingkuhan ketum justru diam-diam membuat Bintang tersipu. Mungkinkah bunga-bunga yang sama juga tumbuh di hati Damar? Bintang jelas ingin tahu itu!
Premium
Titik Kembali
6230      2011     16     
Romance
Demi membantu sebuah keluarga menutupi aib mereka, Bella Sita Hanivia merelakan dirinya menjadi pengantin dari seseorang lelaki yang tidak begitu dikenalnya. Sementara itu, Rama Permana mencoba menerima takdirnya menikahi gadis asing itu. Mereka berjanji akan saling berpisah sampai kekasih dari Rama ditemukan. Akankah mereka berpisah tanpa ada rasa? Apakah sebenarnya alasan Bella rela menghabi...
JANJI 25
57      46     0     
Romance
Pernahkah kamu jatuh cinta begitu dalam pada seseorang di usia yang terlalu muda, lalu percaya bahwa dia akan tetap jadi rumah hingga akhir? Nadia percaya. Tapi waktu, jarak, dan kesalahpahaman mengubah segalanya. Bertahun-tahun setelahnya, di usia dua puluh lima, usia yang dulu mereka sepakati sebagai batas harap. Nadia menatap kembali semua kenangan yang pernah ia simpan rapi. Sebuah ...
A - Z
3088      1049     2     
Fan Fiction
Asila seorang gadis bermata coklat berjalan menyusuri lorong sekolah dengan membawa tas ransel hijau tosca dan buku di tangan nya. Tiba tiba di belokkan lorong ada yang menabraknya. "Awws. Jalan tuh pake mata dong!" ucap Asila dengan nada kesalnya masih mengambil buku buku yang dibawa nya tergeletak di lantai "Dimana mana jalan tuh jalan pakai kaki" jawab si penabrak da...
Waiting
1732      1284     4     
Short Story
Maukah kamu menungguku? -Tobi
Dear, My Brother
807      519     1     
Romance
Nadya Septiani, seorang anak pindahan yang telah kehilangan kakak kandungnya sejak dia masih bayi dan dia terlibat dalam masalah urusan keluarga maupun cinta. Dalam kesehariannya menulis buku diary tentang kakaknya yang belum ia pernah temui. Dan berangan - angan bahwa kakaknya masih hidup. Akankah berakhir happy ending?
DanuSA
32415      4948     13     
Romance
Sabina, tidak ingin jatuh cinta. Apa itu cinta? Baginya cinta itu hanya omong kosong belaka. Emang sih awalnya manis, tapi ujung-ujungnya nyakitin. Cowok? Mahkluk yang paling dia benci tentu saja. Mereka akar dari semua masalah. Masalalu kelam yang ditinggalkan sang papa kepada mama dan dirinya membuat Sabina enggan membuka diri. Dia memilih menjadi dingin dan tidak pernah bicara. Semua orang ...