Suatu hari bangsa penjarah dari golongan siluman piranha datang merusak tatanan kehidupan laut Atlantis. Mereka menyerang dengan brutal, menghabisi tanpa ampun. Keluarga duyung yang tak sanggup melawan mereka memilih untuk melarikan diri. Namun tak banyak dari mereka yang selamat.
Alya dan Marrinette berenang sekuat tenaga, menjauh dari tempat yang sudah berubah menjadi tempat mengerikan itu. Melawan ombak dengan susah payah. Mereka berenang ke arah lautan Hindia, hingga akhirnya menemukan sebuah pantai.
"Ugh, uhuk-uhuk." Marrinette mencengkram sebuah batu untuk membantu menyeret tubuhnya yang sudah lemah ketepi pantai.
"Marrinette, huuh," panggil Alya dengan kepayahan. "Sebaiknyah... kitah... beristirahat disini sajah, huuf," usul Alya, mengingat mereka sudah berhari-hari berenang dan tak makan karena ketakutan.
"Aaaah, baiklah. Akupun sudah tidak sanggup untuk melanjutkan perjalanan." Marrinette menelentangkan tubuhnya di atas pasir.
***
Marrinette perlahan-lahan membuka matanya. Langit yang sebelumnya biru kini telah menjadi coklat dan bersusun-susun seperti... atap? Tangannya bisa merasakan kalau ia sudah tak lagi diatas pasir. Melainkan diatas dipan yang terbuat dari kayu. Disampingnya Alya masih terlelap. Marrinette langsung terbelalak dan bangkit.
"Alya! Alya bangun!" serunya seraya menggoyang-goyangkan tubuh Alya.
"Alya ayo bangun... cepat!"
"Hmm." Alya menggeliat lemah.
"Kita sekarang ada dimana?!"
Perlahan Alya membuka matanya dan sontak terbangun dan terkejut sendiri.
"Hah?"
"Kita dimana Alya?" ujar Marrinette dengan cemas.
"Saya juga tidak tau."
"Jangan-jangan kita diculik."
Seorang nenek masuk di saat mereka sedang kebingungan memperhatikan suasana.
"Syukurlah, akhirnya kalian sudah siuman." Nenek itu tersenyum
"Si-siapa kamu?" tanya Marrinette tergagap.
"Jangan takut, saya bukan orang jahat."
"Dimana Anda menemukan kami?" tanya Alya dengan cepat.
"Tadi saat ke pantai mencari kepiting, Nenek melihat kalian berdua terkapar tidak berdaya di tepi pantai. Nenek tidak tega melihatnya dan membawa kalian ke rumah Nenek."
"Apa Nenek melihat ekor?" tanya Marrinette terburu-buru.
Alya menyikutnya dan mengutuki keluguan adiknya. Bodoh! Ia lupa, ekor mereka bisa berevolusi menjadi kaki manusia dalam waktu tiga menit.
"Ekor? Ekor apa?"
"Maksud adik saya, kami tadi sempat membawa ikan beberapa ekor. Apakah Nenek melihatnya," sahut Alya.
"Tidak. Nenek hanya melihat kalian berdua."
Alya tersenyum, mensyukuri karena nenek itu tidak melihat wujud asli mereka.
"Nenek sudah menyiapkan minuman untuk kalian." Nenek itu mendekat ke arah kendi di samping mereka, menuangkan minuman ke dalam gelas bambu dan memberikan pada mereka. "Minumlah."
Marrinette yang sudah haus langsung menyambar gelas tersebut, kemudian ia tersedak.
"Ah! Rasanya aneh sekali. Apakah ini ramuan sihir?"
Alya kembali menyikut Marrinette yang nyeletuk sembarangan. "Hati-hati bicara dengan orang baru," bisiknya gemas.
Nenek itupun terkekeh.
"Itu adalah teh jahe. Minuman untuk menghangatkan tubuh agar angin di dalam tubuh kalian keluar."
"Ooh."
"Nenek keluar dulu. Habis ini kalian ganti baju yang sudah Nenek sediakan di dalam lemari itu, lalu kita makan bersama. Nenek sudah menyiapkan makanan enak." Si nenek kemudian keluar dari kamar mereka.
Mata tajam Alya menerawang si nenek, tidak ada satupun aura hitam yang menguar dari dalam tubuhnya. Apakah ia... manusia? Alya teringat mendiang kakeknya yang pernah menyamar menjadi nelayan yang perahunya terdampar di dunia manusia. Dia mengatakan bahwa manusia itu adalah makhluk baik dan suka tolong menolong. Terbukti mereka mau bekerja sama untuk membantu kakeknya membuat perahu baru tanpa bayaran sepeserpun. Dan mereka juga membantu kakeknya untuk mendorong perahunya hingga bisa berlayar kembali.
"Marrinette, tak usah takut. Kita berada di dunia manusia."
"Hah?"
"Ingatkah cerita mendiang kakek kita tentang manusia? Makhluk paling baik yang suka tolong menolong"
Marrinette mengangguk-angguk pelan.
"Jadi, apakah kita menyamar dan menjalani kehidupan seperti manusia?"
"Ya."
Alya dan Marrinette yang sudah berganti pakaian keluar dari kamar dan duduk di hadapan nenek yang tersenyum menunggu di meja makan.
Sambil meletakkan makanan yang sederhana di hadapan mereka, si nenek bercerita.
"Nenek hidup sebatang kara, tidak punya anak apalagi cucu. Kalau boleh tau, nama kalian siapa dan darimana? Mengapa bisa terdampar di sini?"
Alya menyahut. "Kami hanyut saat liburan. Kapal yang kami tumpangi tenggelam. Lalu kami berusaha berenang sekuat tenaga dengan alat seadanya. Namun laut membawa kami kesini. Kami beruntung tidak tenggelam."
"Apakah kalian punya keluarga?"
"Tidak, keluarga kami sudah tiada."
"Sungguh suatu anugrah bertemu dengan kalian. Nenek selalu kesepian. Apakah kalian mau tinggal disini dan menjadi cucu Nenek?"
"Tentu saja nek, kami sangat senang sekali." Alya tersenyum. "Oh ya, kenalkan namaku Alya dan ini adikku Marrinette. Nama Nenek siapa?"
"Siti."
Marrinette tidak mempedulikan percakapan itu. Ia mengambil goreng pisang dan memakannya.
"Apa ini! Kenapa rasanya aneh sekali? Tidak seperti makanan di Atlan-"
Alya cepat membungkam mulut Marrinette sebelum ia melanjutkan kalimat itu.
"Sst, ingat kita di dunia manusia," bisiknya kemudian buru-buru tersenyum kepada Siti dengan canggung. "Hehe, maafkan adik saya, Nek. Ia belum terbiasa dengan makanan ini."
"Ooh, kalau begitu akan Nenek carikan gantinya. Nenek punya ikan di dalam ember, biar Nenek masak dulu."
"Tidak usah Nek, tidak usah. Ini sudah cukup, nanti lama-lama adik saya akan terbiasa dengan makanan ini." Alya memakan goreng pisang dan tersenyum. Meski ia juga tidak suka dengan rasanya.
***
Pagi-pagi sekali, pintu gubuk Siti diketuk keras oleh seorang wanita bernama Rossa.
Siti membuka pintunya. Tak peduli dengan tubuhnya yang renta, tanpa rasa kasihan, perempuan itu mencerca Siti.
"Heh! Tua bangka! Kapan kau bayar utangmu?"
Alya dan Marrinette mengintip dari dalam.
"Nanti setelah aku punya uang."
"Nanti-nanti, saya sudah capek bolak-balik kesini terus. Pokoknya kalau minggu depan tak kau bayar, gubukmu ini akan saya sita!"
"Jangan, saya mohon. Hanya ini satu-satunya tempat tinggal saya. Kalau gubuk ini disita, saya mau tinggal dimana?"
"Halah, saya tak peduli!" Rossa pergi dengan sikap angkuhnya.
Marrinette dan Alya keluar menemui Siti.
"Siapa dia, Nek?" tanya Alya.
"Penagih utang."
"Nenek punya utang?"
"Iya, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Namun karena Nenek tidak membayar, akhirnya utang itu berbunga."
"Tapi caranya kasar sekali. Bukankah manusia adalah makhluk paling baik dan suka tolong menolong?"
"Tidak semua manusia seperti itu. Manusia ada yang baik, ada juga yang jahat," dengan wajah sendu, Siti masuk ke dalam gubuk.
Malamnya Alya tidak bisa tidur, ia terus mondar-mandir di dalam kamar.
"Kau sudah seperti orang linglung Alya."
"Marrinette, kau juga belum tidur?"
"Bagaimana aku bisa tidur? Kau terus saja mondar-mandir membuat kepalaku pusing." Marrinette bangun. "Apa yang kau pikirkan?"
Alya duduk disamping Marrinette. "Marrinette, kita harus bantu Nenek Siti. Bagaimanapun, dia telah menyelamatkan kita. Kini saatnya, kita membalas budi baiknya. Apakah kamu tega, melihat Nenek Siti diperlakukan seperti itu? Kalau gubuk ini disita, kita mau tinggal dimana?"
"Hmm." Marrinette mengangguk. "Caranya?"
Alya tersenyum. "Kita bekerja, supaya mendapatkan penghasilan."
"Dimana?"
"Dimana saja yang bisa menerima kita. Mari kita cari sama-sama," sahut Alya tersenyum.
Malam semakin larut, Alya naik keatas tempat tidur, keduanya memejamkan mata, hingga terbang ke dunia mimpi.