"Dinding yang Berbisik"
Pagi itu, di sebuah rumah sederhana di pinggiran kota...
"Rara! Bangun! Sudah jam enam!" teriak ibu dari dapur, suaranya memecah kesunyian pagi.
Rara mengerang, matanya masih berat. "Ibu, lima menit lagi, ya?" gumamnya sambil memeluk bantal.
"Lima menit lagi nasi gosong! Ayo, cepat! Adek sudah bangun tadi!" balas ibu, kali ini suaranya lebih keras.
Rara menghela napas, lalu membuka matanya pelan-pelan. Langit di luar jendela masih kelabu, tapi ia tahu ia tidak bisa menunda lagi. Ia bangun, merapikan tempat tidurnya, dan berjalan ke kamar mandi. Air dingin yang menyentuh kulitnya membuatnya tersentak, tapi juga membangunkannya sepenuhnya.
Di meja makan, adiknya, Arman, sudah duduk dengan seragam sekolahnya. Bocah berusia 10 tahun itu sedang asyik menyendok nasi goreng ke mulutnya.
"Kok sudah makan duluan? Nggak nunggu kakak?" tanya Rara sambil duduk di sebelahnya.
Arman hanya mengangkat bahu. "Lapar, kak. Ibu bilang nasi gorengnya harus habis, nanti kalau dingin nggak enak."
Rara tersenyum, lalu mengambil piringnya sendiri. Nasi goreng buatan ibu memang selalu istimewa, meski hanya dengan telur dan sedikit sayuran. Tapi pagi ini, ada sesuatu yang terasa berbeda. Ibu tidak duduk bersama mereka seperti biasanya.
"Ibu, kenapa nggak makan?" tanya Rara sambil menoleh ke dapur.
Ibu sedang sibuk mencuci piring, punggungnya terlihat tegang. "Ibu sudah makan tadi. Kalian aja yang cepat habiskan, nanti terlambat sekolah."
Rara dan Arman saling pandang. Mereka tahu, ibu sedang menyembunyikan sesuatu. Tapi mereka juga tahu, bertanya lebih lanjut hanya akan membuat ibu lebih stres.
Sepulang sekolah, suasana rumah terasa lebih berat...
Rara membuka pintu rumah dengan hati-hati. Suara televisi menyala, tapi tidak ada yang menonton. Ia meletakkan tasnya di kursi, lalu berjalan ke kamar ibu. Pintu kamar tertutup rapat, tapi Rara bisa mendengar suara ibu sedang berbicara pelan di telepon.
"...Iya, Pak. Saya mengerti. Tapi tolong, beri saya waktu lagi. Saya pasti akan melunasi semuanya..." suara ibu terdengar gemetar.
Rara menahan napas. Ia tahu, ibu sedang berbicara dengan rentenir lagi. Hutang yang menumpuk sejak ayah meninggal tiga tahun lalu semakin berat, dan ibu berusaha menanggung semuanya sendirian.
"Kak, kenapa ibu nangis?" tiba-tiba suara Arman membuat Rara terkejut.
Rara menoleh, melihat adiknya berdiri di belakangnya dengan wajah penuh tanya. "Nggak, Adek. Ibu cuma lelah aja," jawab Rara sambil memeluk Arman.
Tapi Arman tidak terlihat yakin. "Kakak, kita nggak punya uang lagi, ya?" tanyanya polos.
Rara merasa dadanya sesak. Ia tidak tahu harus menjawab apa. Ia sendiri masih berusaha memahami situasi ini. Tapi sebelum ia bisa berkata-kata, pintu kamar ibu terbuka.
"Ibu baik-baik saja, kok. Kenapa kalian berdua di sini?" tanya ibu, matanya masih merah.
"Kita cuma mau bilang, kita pulang, Bu," jawab Rara cepat.
Ibu tersenyum lemah, lalu mengusap kepala Arman. "Ayo, mandi dulu. Nanti ibu masak makan malam.
Malam itu, Rara tidak bisa tidur...
Ia berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar. Suara detak jam dinding terdengar jelas di keheningan malam. Pikirannya dipenuhi oleh bayangan hutang, ibu yang semakin kurus, dan Arman yang mulai bertanya-tanya tentang kehidupan mereka.
Tiba-tiba, ia mendengar suara pelan dari dinding. Seperti bisikan. Rara mengerutkan kening, lalu mendekatkan telinganya ke dinding.
"Jangan menyerah..." bisik suara itu.
Rara terkejut, lalu duduk tegak. "Siapa itu?" tanyanya pelan.
Tapi tidak ada jawaban. Hanya suara angin malam yang berdesir di luar jendela. Rara menghela napas, lalu berbaring lagi. Mungkin ia hanya berhalusinasi karena lelah.
Tapi suara itu kembali terdengar. "Kamu kuat, Rara. Kamu bisa melewati ini."
Kali ini, Rara tidak bisa mengabaikannya. Ia bangun, lalu menyalakan lampu kamar. Dinding kamarnya terlihat biasa saja, tidak ada yang aneh. Tapi bisikan itu terasa begitu nyata.
"Ibu...?" gumam Rara, tiba-tiba teringat pada ibu.
Ia berjalan keluar kamar, menuju kamar ibu. Tapi ibu sedang tidur pulas, wajahnya terlihat tenang meski ada kerutan di dahinya. Rara kembali ke kamarnya, lalu duduk di tempat tidur.
"Kenapa ini terjadi?" tanyanya dalam hati.
Kesokan harinya, Rara memutuskan untuk bertindak...
Setelah pulang sekolah, Rara tidak langsung pulang ke rumah. Ia pergi ke pasar, mencari pekerjaan paruh waktu. Setelah bertanya ke beberapa toko, akhirnya seorang pemilik warung makanan bersedia memberinya pekerjaan sebagai pelayan.
"Kamu bisa mulai besok. Jam empat sore sampai jam delapan malam. Gajinya mingguan," kata pemilik warung.
Rara mengangguk antusias. "Terima kasih, Pak! Saya pasti datang tepat waktu!"
Saat ia pulang ke rumah, hujan mulai turun. Tapi Rara tidak peduli. Ia merasa ada secercah harapan baru. Mungkin ini cara untuk membantu ibu.
Tapi saat ia tiba di rumah, suasana yang ia temukan membuat hatinya hancur.
Ibu sedang duduk di kursi, wajahnya pucat. Di depannya, ada selembar kertas yang tergeletak di meja.
"Rara..." panggil ibu pelan.
Rara mendekat, lalu membaca kertas itu. Itu adalah surat peringatan dari bank. Hutang mereka sudah mencapai titik kritis, dan rumah ini terancam disita.
"Ibu... apa ini?" tanya Rara, suaranya gemetar.
Ibu menunduk, air matanya jatuh perlahan. "Ibu sudah berusaha, Rara. Tapi semuanya semakin berat. Ibu tidak tahu harus bagaimana lagi..."
Rara memeluk ibu erat. "Ibu, jangan menyerah. Kita pasti bisa melewati ini. Saya sudah dapat kerja paruh waktu. Kita akan bayar hutang ini pelan-pelan."
Ibu mengangguk, tapi Rara bisa merasakan betapa lelahnya ia. Di sudut ruangan, Arman berdiri diam, matanya penuh ketakutan.
Malam itu, Rara kembali mendengar bisikan dari dinding. Tapi kali ini, ia tidak takut. Ia tahu, itu adalah suara hatinya sendiri, mengingatkannya untuk tetap kuat.
"Kita pasti bisa," bisik Rara, menatap langit-langit kamar. "Kita pasti bisa."
To be continued...
Note: Episode ini menggambarkan perjuangan sebuah keluarga kecil yang dihadapkan pada masalah keuangan dan tekanan hidup. Rara, sebagai anak tertua, berusaha mengambil peran untuk membantu ibunya, sementara Arman, adiknya, mulai merasakan dampak dari situasi ini. Bisikan dari dinding menjadi simbol harapan dan kekuatan yang tersembunyi di dalam diri mereka.