Read More >>"> Maharani Shima (1. Prabu Kartikeyasingha) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Maharani Shima
MENU
About Us  

 

Beribu-ribu puja doa di panjatkan oleh gusti ratu di kuil pura. Setiap ia sembahyang menghadap sang dewata, ia tak lupa mendoakan prabu Kartikeyasingha sang suami. Tangisannya terlihat setiap hari oleh mata para dayang-dayang istana. Tak hanya beliau saja yang memanjatkan doa, akan tetapi para keluarga besar kraton istana Kalingga turut memanjatkan doa kepada sang dewata agung, meminta kesembuhan sang gusti Prabu Kartikeyasingha. 


“Oh, Dewata Agung, sembuhkanlah suamiku, angkatlah penyakitnya yang selama ini membuatnya menderita,” lirih seorang istri yang tengah putus asa melihat kondisi suaminya, terbaring lemah dengan wajah pucat. 


Sudah seminggu berlalu, banyak tabib terpilih yang diundang ke istana Kalingga, untuk mencoba menyembuhkan sang Prabu Kartikeyasingha, akan tetapi satu pun tak ada yang berhasil. Entah harapan untuk sembuh itu ada atau tidak. Namun, sang gusti ratu sangat mengharapkan suaminya kembali membuka mata. 


Pangapunten, gusti ratu jika hamba lancang, apa perlu hamba menyampaikan pendapat mengenai gusti prabu Kartikeyasingha?” seorang maha patih kerajaan Kalingga bertanya sembari duduk dan menunduk, menunggu jawaban sang Ratu. 


Ratu Shima yang duduk di tepi ranjang sedari tadi mengompres wajah sang Prabu, kini ia beralih untuk menatap lawan bicaranya, akankah dia menemukan solusi kesembuhan raja. 


“Apa itu?” tanya sang gusti ratu. 


“Menurut hamba, bagaimana kalau Kalingga membuat wara-wara berbentuk tulis tangan, siapa yang bisa menyembuhkan gusti Prabu maka akan mendapatkan imbalan,” jelas sang patih kerajaan. 


Beberapa detik berlalu setelah mendengarkan usulan dari sang patih, gusti ratu Shima sejenak berpikir. Hatinya yang sudah tak sanggup melihat suaminya menderita, akhirnya ia memutuskan dengan cepat. 


“Baiklah, perintahkan kepada seluruh pejabat Kalingga untuk menulis wara-wara itu. Semuanya harus bekerja agar cepat selesai di sebarkan kepada tiga puluh lima wilayah,” jelas sang gusti ratu.


Matur sembah nuwun, telah menerima usulan hamba gusti ratu,” ucap sang maha patih. 


“Satu lagi, yang berhasil menyembuhkan sang prabu maka akan mendapatkan dua pilihan. Yang pertama, mendapatkan koin emas dan yang ke dua mendapatkan posisi bagus di kerajaan,” tambah gusti ratu. 


 “Sendiko dawuh gusti ratu Shima.” Sang maha patih berjalan jongkok mundur ke belakang sebanyak tiga kali sesuai dengan adat kerajaan. Lalu ia berdiri dan melangkah keluar dari kamar sang prabu. 


“Ada gandhek dari gusti ratu Shima, ‘barang siapa yang bisa menyembuhkan sang prabu Kartikeyasingha, maka akan ada imbalan. Imbalan itu ada dua pilihan, yang pertama mendapatkan koin emas dan yang kedua mendapatkan posisi pejabat negara di Kalingga’.” Lelaki itu pun melangkah dan duduk di tempatnya, di bawah anak tangga menghadap ke arah depan, kursi patih Kalingga. 


“Jangan lupa para akuwu untuk datang langsung ke kediaman para adipati untuk menyalin woro-woro penting dari gusti ratu,” tambah sang maha patih. 


Semua para pejabat pun menuliskan gandhek dari sang gusti ratu di atas daun lontar yang sudah di rakit oleh benang yang kuat, sehingga dapat memuat banyak tulisan aksara kawi. Jam kerja para pejabat negara berakhir sekitar tiga sore, semuanya berpulang ke kediaman masing-masing. 


•••


“Kakanda Prabu, andai engkau sudah siuman ...,” wanita berparas anggun itu beralih menatap suaminya usai menatap langit malam yang indah. “pasti kita berdua menikmati waktu santai setelah bekerja.” Tangan lembut sang ratu mengusap kepala suaminya. 


“Ibunda ratu, kapan ayahanda prabu membuka mata lagi?” tanya seorang anak laki-laki dengan raut wajah cemas, anak itu berusia sekitar lima tahun. 


“Ilya, byunnda. Kapan ayahanda bayun,” lanjut seorang anak perempuan di belakang anak laki-laki itu, dengan bicaranya yang belum sepenuhnya tepat karena masih berumur 2 setengah tahun. 


Sang ratu segera menyeka air matanya, ia cepat-cepat menghapusnya dengan surai batik yang ia kenakan untuk menutupi punggung hingga dadanya. Lalu ia beralih menatap kedua buah hatinya.

 
“Ayahanda prabu pasti akan membuka mata lagi,” jawab sang ratu dengan suara seraknya. 


“kapan bunda?”


“Ilya, kapan byunda?”


“Bunda tidak tau kapan, tetapi dewata agung sedang mencoba menyembuhkan ayahanda prabu,” jelas sang ibu mencoba meminimalisir rasa cemas anak-anaknya. 


“Kenapa kalian belum tidur?” tanya sang ibu mencoba mengubah topik pembicaraan. 


“Mau tidur sama ayahanda,” jawab sang kakak yang tetap saja kembali pada topik awal pembicaraan. 


“Ilya, Palwati juya mau tidul sama ayahanda,” lanjut sang adik menjawab. 


“Narayana, Parwati, biarkan ayahanda istirahat. Ayo Ibunda temani tidur di kamar kalian.” sang ratu pun bangkit dari duduknya dan membawa mereka keluar dari kamar dan tak lupa menutup kedua sayap pintu. Lanjut langkah kakinya menuju ke kamar anak-anaknya. 
Tiba disana, sang ratu langsung berpapasan dengan dayang pribadi kedua anaknya. Kedua tangan perempuan itu tampak penuh akan nampan yang berisi makan malam kedua calon penerus Kalingga. 


“Kalian masuk dulu, ya.” Sang ratu menyuruh anaknya masuk ke dalam kamar lalu menutup pintu. 


“Dara Wati, kenapa kamu membiarkan anak-anak keluar dari kamar?” tanya ratu Shima dengan tatapan datar.  
Perempuan itu menunduk takut, “Ampuni hamba gusti ratu, Gusti Raden Mas Pangeran dan juga Gusti Raden Ajeng ingin makan malam, maka saya bergegas ke dapur, hamba tidak tau kalau mereka akan keluar dan menuju ke kamar gusti ratu,” jelas perempuan itu. Hatinya bergetar hebat dan ia berharap tak mendapatkan hukuman berat.  


“Mohon ampun gusti ratu, jangan hukum hamba.” Dayang itu langsung berlutut di hadapannya. 


“Lain kali jangan lalai seperti ini, berdirilah!” ratu Shima pun langsung masuk ke dalam kamar anaknya. 


Matur sembah nuwun, sudah mengampuni hamba gusti ratu.” Dayang itu pun bangkit dan melanjutkan langkahnya ikut memasuki kamar. 


“Kalian masih mau makan malam?” tanya sang ibu kepada anak-anaknya. 


“Tidak ibunda ratu, Raden mas sudah mengantuk,” jawab anak lelakinya sembari mencoba memejamkan kedua matanya. Sedangkan putrinya telah memejamkan mata dan terlelap dalam mimpinya. 


“Bawalah itu ke dapur istana!” perintah ratu Shima dengan suara pelannya sembari mengelus kepala kedua putra dan putrinya. 


Sendiko dawuh  gusti ratu.” Dayang itu langsung bergegas membawanya pergi. 


“Narayana dan juga Parwati, lain kali jangan berbuat seperti itu lagi. Janji dulu sama ibunda.” Ratu Shima mengajak kedua buah hatinya sambil mengaitkan kedua jari kelingking tangannya. 


“Janji ibunda ratu,” keduanya pun mengucapkannya bersama-sama. 


Setelah Narayana kembali memejamkan mata, ratu Shima mengelus rambutnya sebentar dan mencium kepala putranya. Ratu Shima bangkit dari ranjang putranya dan membopong tubuh Parwati lalu ia memindahkan ke ranjang satunya, tempat putrinya tidur.


Setelah anak-anaknya berhasil tertidur, ratu Shima pun menutup pintu kamar yang berbahan emas dengan ukiran seperti kayu yang cantik. Disana ratu Shima berpapasan dengan Dara Wati, dayang pribadi anak-anaknya. 


“Bagaimana kabar biyung-mu?” tanya ratu Shima penasaran. 


“Belum ada perkembangan yang baik gusti ratu,” jawab Dara wati merasa sedih. 


Punggungnya yang tertutup selembar kain katun itu pun dielus lembut oleh ratu Shima, mencoba menenangkan hatinya. 


“Jika ada yang kamu butuhkan, silakan minta padaku, terutama kebutuhan biyung-mu,” ucap ratu Shima ikut merasakan kesedihan yang di alami oleh Dara wati, putri tunggal Adipati Danu yang memimpin daerah Gapana. Adipati Danu menikah lagi dan sering mementingkan selirnya. 


Sendiko dawuh gusti ratu, matur sembah nuwun telah menghawatirkan biyung hamba,” ucap gadis itu berterima kasih dengan tulus. 


“Istirahatlah.” Ratu Shima pun segera melangkah pergi dari hadapan gadis itu. 


•••


Pangapunten gusti ratu, kenapa berpisah kamar dengan sang prabu?” tanya seorang dayang di sampingnya, ia menggosok-gosok tubuh sang ratu dengan lembut. 


Ratu Shima tak langsung menjawab pertanyaan dayang tersebut. Kedua tangannya sibuk memilah-milih kelopak bunga yang mengambang di air hangat. 


Pangapunten gusti ratu, dia Sari dayang baru di istana ini. Jadi pangapunten atas pertanyaannya yang sudah lancang,” jelas dayang yang berada di samping kiri gusti ratu Shima. 
Dayang yang tampaknya sudah lama itu memelototi dayang yang baru saja bekerja tersebut. Tatapannya tampak tidak suka dan terlihat mengintimidasi.

Terlihat menyeramkan bagi Sari hingga ia tak berani menatapnya. Ia memilih fokus dengan pekerjaannya. 


“Untuk sementara waktu, selagi prabu masih dalam keadaan tidak sadarkan diri, aku tak mau mengganggu waktu istirahatnya,” jawab sang ratu dengan jelas. 


Selesai ritual mandi, ratu Shima diberikan selembar kain panjang berwarna putih polos, ia lilitkan di tubuhnya. Saat memakai pakaian ken ratu Shima dibantu oleh Sari dan juga Laras, dayang pribadinya. Kain sutra berwarna hijau muda polos ia lilitkan ke tubuhnya. Panjangnya dari atas dada hingga pergelangan kakinya. Lalu ia mengenakan kain sutra berwarna hijau lebih gelap dengan motif daun di dekat lehernya. Kain itu menutupi punggungnya yang tak terbalut kain, lalu sisa kain panjangnya di balutkan dengan sabuk berwarna cokelat tua bermotif batik tumbuhan. 


Sabuk itu mengunci kain luar pakaian dengan diikat simpul di pinggangnya yang ramping. Setelah berpakaian selesai, para dayang ada yang menyisir rambut beliau sebelum di sanggul rapi. Ada yang membantunya mengenakan perhiasan berupa kalung dan juga gelang. Setelah itu dilanjutkan mengenakan riasan wajah sang ratu. Tak lupa yang terakhir mahkota emas dan beberapa hiasan kepala yang ditusukkan ke sanggul.

 

#3Februari2025

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags