Setelah hari itu, aku dan Gunner memutuskan untuk menjadi teman dan tetap selalu bersama. Karena katanya, “Akan lebih baik dan juga lebih aman jika kau tetap berada di dekat anjing besar sepertiku. Kota ini memang terlihat indah, tetapi sangat kejam.
“Kejahatan tidak melihat siapa korbannya, tidak hanya manusia saja yang bisa menjadi korban kejahatan. Anjing seperti kita juga mungkin bisa saja menjadi korban kejahatan, walau aku harap tidak ada orang yang akan melukai kita.”
Saat aku mendengar dia mengatakan hal tersebut, aku sungguh tersentuh sebab Gunner benar-benar memiliki hati seperti seorang malaikat. Sungguh baik hati. Beruntung sekali diriku bertemu dengannya.
Setelah memutuskan untuk bersama, kami menghabiskan waktu mengelilingi kota. Menikmati suasana kota yang selalu sibuk di setiap jamnya. Suatu hari kami pergi ke Central Park, sebuah taman yang terkenal di kota New York. Setiap akhir pekan orang-orang biasanya akan mengunjungi taman tersebut untuk berolahraga atau hanya sekedar menikmati suasana taman.
Sayangnya aku dan Gunner tidak dapat masuk ke taman. Bukan karena taman melarang hewan untuk masuk, tetapi karena kami tidak memiliki pemilik. Aturan yang aku dengar di taman tersebut, setiap hewan yang memasuki taman harus diikat agar tidak mengganggu pengunjung lain atau merusak fasilitas yang ada di dalam sana.
Sebenarnya kami bisa saja tetap masuk ke sana, sebab kami tidak akan mungkin mengganggu pengunjung apalagi sampai merusak fasilitas yang ada. Oh, kami bukanlah anjing yang nakal. Tetapi demi kenyamanan hati kami bersama, aku dan Gunner memutuskan untuk tidak masuk.
Kami hanya duduk-duduk santai di luar taman, melihat manusia-manusia yang berlalu-lalang tanpa memperhatikan keberadaan kami. Gunner memilih tempat kami untuk duduk di dekat seorang manusia yang sedang sendirian, katanya agar orang-orang yang melihat kami berpikir bahwa manusia yang sedang duduk itu adalah pemilik kami. Sungguh ide yang brilian.
Selain itu, di hari yang cerah pada akhir musim panas itu, ada sebuah cerita menarik yang kami alami. Jadi ketika kami duduk santai, ada seekor anjing Poodle berukuran kecil yang datang bersama pemiliknya. Orang itu duduk di dekat kami, sementara Poodle berbulu putih tersebut duduk di atas pangkuannya.
“Hai!” Poodle putih itu menyapa kami yang sedang bersantai. Kami tentu membalas sapaannya, sangat tidak sopan jika tidak membalasnya. Lalu tiba-tiba dia bertanya seperti ini, “Kalian tahu siapa aku?”
Gunner menjawab dengan suara rendahnya, “Tidak dan bahkan kami tidak mau tahu juga.”
Aku menahan tawaku ketika mendengar jawaban yang diberikan Gunner pada Poodle yang mulai terlihat kesal.
“Astaga, apa kalian berdua berasal dari pedesaan?” tanya Poodle itu. “Aku Sweetie, kalian sekarang pasti tahu siapa aku.”
Anjing Poodle bernama Sweetie itu tetap saja mengotot kalau kami mungkin mengenalnya.
“Dengar Sweetie manis, kami benar-benar tidak mengenalmu. Dan satu hal lagi, kami tidak berasal dari desa.” Lagi-lagi Gunner yang menjawab. Aku hanya diam masih sambil menahan tawa.
Ah sungguh lucu mendengar percakapan Gunner dan Sweetie itu. Gunner dengan nada bicara ketusnya, sementara Sweetie dengan tingkat percaya diri yang sangat tinggi. Sebuah hiburan singkat yang menyenangkan bagiku.
“Aku ini selebriti di media sosial. Pengikutku sudah ada ratusan orang, kalian tahu!”
“Ratusan orang itu ada berapa?” tanyaku yang pada akhirnya membuka suara. Aku penasaran, berapa ratus orang yang sudah mengikuti akun dari anjing selebriti itu.
“Duaratus limapuluh delapan!” serunya bersemangat. “Banyak bukan?”
Tanpa sengaja, kami berdua terawa mendengar angka yang disebutkan oleh Sweetie. Dia semakin kesal karena ditertawakan oleh kami. Dan pada akhirnya dia mengomel panjang lebar, sampai mengatakan bahwa kami ini adalah pembencinya. Sangat konyol sekali anjing itu. Sebelum dia selesai mengomel, untung saja pemiliknya segera pergi membawanya.
“Telingaku teselamatkan,” ujarku.
“Dia anjing yang sombong,” komentar Gunner. “Baru memiliki pengikut duaratusan saja sudah seperti itu. Bagaimana jika dia sudah memiliki pengikut sampai ratusan ribu atau bahkan jutaan?” Dia terdiam lalu melanjutkan, “Aku tidak berani memikirkannya.”
“Jangan dipikirkan, dan sebaiknya dilupakan saja,” saranku yang disetujui olehnya.
Tidak hanya Sweetie yang katanya selebriti, di hari itu juga kami bertemu dengan selebriti media sosial yang sesungguhnya! Aku tahu dia---seekor kucing dari ras Ragdoll---sebab dulu Nona Rambut Ikal sangat suka melihat vidio-vidio yang diunggah di akun media sosial milik selebriti itu.
“Molly, lihat. Bukankah kucing ini menggemaskan? Lihat matanya, cantik dan indah bukan? Dia cantik seperti Snowy.” Itu komentar dari Nona Rambut Ikal ketika dia melihat-lihat akun media sosial selebriti kucing itu.
Tetapi, penampilan kucing itu di vidio atau foto yang diunggah di media sosial sangat berbeda dengan penampilan yang aku lihat secara langsung. Bulunya terlihat tidak terawat, tubuhnya kurus, dan matanya yang indah itu seolah kehilangan cahayanya. Karena khawatir, aku memilih untuk mendekatinya.
“Hei, kau Luna bukan?” tanyaku tanpa basa-basi.
Dia terlihat terkejut ketika aku menyebutkan namanya. “Bagaimana kau tahu namaku?”
“Karena pemilik lamaku adalah pengikutmu di media sosial, jadi aku tahu namamu,” jelasku yang tidak mendapatkan respons apapun dari kucing itu. “Apa yang terjadi? Kenapa kau berkeliaran di luar? Dan kenapa---”
“Molly, sebaiknya kau tanya satu per satu,” sela Gunner yang berjalan mendekati kami.
“Oh maafkan aku,” sesalku bukan pada Gunner, tetapi pada Luna. “Kau bisa menjawab satu per satu pertanyaanku.”
Tiba-tiba saja Luna menangis dengan kencang, membuat aku dan Gunner seketika terkejut, bahkan kami berdua saling bertatapan satu sama lain karena merasa heran.
“Ada apa? Apa yang terjadi?” tanyaku.
“Hidupku sungguh sial,” ujar Luna di tengah tangisnya itu. “Hidupku yang kau lihat di media sosial adalah sebuah kepalsuan semata saja. Pemilikku tidak benar-benar menyayangiku atau peduli padaku!”
“Apa? Kenapa bisa begitu?”