Rina, Sinta, dan Maya memutuskan untuk menjenguk teman mereka, Tania, yang sedang dirawat karena usus buntu. Rumah sakit tempat Tania dirawat cukup tua, dengan lorong-lorong panjang yang sepi pengunjung. Setelah bertanya kepada resepsionis tentang letak ruang rawat Tania, mereka diarahkan ke lantai tiga.
Namun, karena terlalu sibuk mengobrol, ketiga perempuan itu malah keluar di lantai empat. Saa keluar dari lift, mereka merasakan hawa aneh yang mengelilingi ruangan tersebut. Tidak ada suara manusia, hanya langkah kaki mereka yang menggema di lorong. Ruangan-ruangan di lantai itu kosong, dengan seluruh pintu kamar yang terkunci dan lampu di dalam yang dibiarkan menyala.
Merasa telah salah lantai, ketiganya memutuskan untuk berbalik, tetapi lift yang mereka gunakan tadi tidak kunjung bergerak ke atas. "Kita cari tangga aja," kata Rina, mencoba tetap tenang.
Saat mereka berhasil menemukan pintu letak tangga darurat berada, kesialan kembali terjadi karena pintunya terkunci dari luar.
"Aneh, kenapa dikunci?" bisik Maya, mulai gelisah.
“Jangan-jangan ruangan ini memang dilarang didatangi,” jawab Sinta
Tiba-tiba, perhatian mereka teralihkan pada televisi di atas lift yang menyala sendiri. Layarnya berkedip-kedip, menampilkan saluran yang dipenuhi statis. Suara desisan pelan berubah menjadi bisikan yang tak jelas hingga akhirnya televisi mati kembali dengan sendirinya.
Mereka berjalan menjauh. Samar-samar terdengar suara langkah lain di belakang mereka. Saat berbalik, mereka tidak menemukan siapapun, hanya bayangan mereka yang memanjang di bawah lampu lorong yang tiba-tiba berkedip-kedip.
Pintu salah satu ruangan terbuka perlahan, menimbulkan suara berderit panjang. "Mungkin sengaja enggak dikunci, dan pintunya terbuka karena terkena angin," gumam Sinta, meski tidak merasakan angin di sekitar mereka.
Saat dicek, di dalam ruangan itu, mereka melihat meja periksa yang kosong dan kursi roda yang diletakkan di sampingnya. Di balik tirai jendela yang berwarna putih transparan, terlihat samar-samar sosok tinggi dan kurus berdiri, badannya membungkuk karena hampir menyentuh langit-langit. Matanya hitam memandangi ketiga perempuan itu. Mulutnya tersenyum sangat lebar dan menampakkan gigi-gigi yang tajam dan berlumuran sesuatu yang gelap.
Ketiga perempuan itu mundur dengan tergesa-gesa. "Kalian lihat juga ada sesuatu di sana, kan?!" jerit Maya. Sinta dan Rina tak menjawab melainkan hanya mengangguk karena terlalu kaget dengan penampakan yang mereka lihat.
Sinta memencet tombol lift, dan beruntung kali ini lift bergerak naik. Pintu lift terbuka, ketiganya lalu buru-buru masuk ke dalam. Sebelum pintu lift menutup, Rina berinisiatif memfoto lantai itu sebagai bukti kalau mereka salah lantai, dan mencoba mengirimkannya ke Tania. Sayangnya, pesan itu gagal terkirim karena tidak ada sinyal.
Saat lift menutup dan bergerak turun, mereka mendengar sesuatu mengetuk-etuk atap lift. Ketukan itu semakin keras, hingga berubah seperti suara cakaran yang memilukan. Mereka berkumpul dan berdoa dengan mata terpejam karena ketakutan.
Lift terbuka. Mereka telah tiba di lantai tiga, dan bernapas lega saat menemukan banyak petugas dan pengunjung yang berlalu lalang. Setelah mengontrol diri, ketiga perempuan itu menuju ruang rawat Tania.
“Hai, girls, akhirnya nyampe juga,” ucap Tania, tersenyum melihat ketiga teman dekatnya sudah datang.
Sinta, Maya dan Rina menyalami ibu Tania, yang kemudian keluar agar anaknya bisa mengobrol dengan leluasa.
“Gimana kondisi lo, Tan? Masih lama dirawat di sini?” tanya Sinta, “Kita udah kangen, nih makan mi ayam bareng lo di warung Bu Ida,” lanjutnya.
“Udah mendingan, sih, tapi masih belum dapat izin pulang karena masih ada tes lab yang harus gue lakuin besok,” jawab Tania. “Gimana perjalanan ke sini tadi, gak susah kan, nyari kamarnya?”
“Susah, sih, enggak… cuma tadi, kita kena sial karena gak sengaja salah lantai,” jawab Maya.
“Iya, malah lantainya creepy banget lagi, kosong melompong,” susul Rani.
“Dan lo harus tahu, kita sampe ngelihat yang serem-seremm!” kata Sinta.
“Emang kalian nyasar ke lantai berapa?” tanya Tania.
Sinta dengan nada serius menceritakan bagaimana mereka malah berada di lantai empat, dan menemukan lorong yang kosong, televisi yang tiba-tiba menyala, hingga ruangan yang pintunya terbuka sendiri.
“Dan lo tahu apa lagi yang kita lihat di sana?” tanya Maya, membuat Tania menggelengkan kepala sekaligus penasaran dengan cerita selanjutnya, “Ada sosok serem banget di dalam ruangan itu!” lanjut Maya, suaranya bergetar. “Sosoknya tinggi, kurus… matanya hitam semua, dan mulutnya—”
“Mulutnya lebar banget sampai ke pipi,” potong Rina, menyelesaikan kalimat Maya. Ia menggigil saat mengingat kembali wajah menyeramkan itu.
“Ih, kok, serem banget! Setahu gue, lantai itu memang kosong kalau akhir pekan,” jelas Tania. “karena khusus digunakan buat rawat jalan, dan cuma buka dari Senin sampai Jumat. Tapi…” Ia ragu sejenak, seperti enggan melanjutkan.
“Tapi, apa, Tan?” desak Sinta.
“Yaa, ada banyak cerita aneh, sih, tentang lantai itu. Kata menurut pengunjung yang suka ngobrol sama nyokap, petugas keamanan yang berjaga malam juga sering lihat hal-hal yang gak masuk akal. Salah satunya sosok tinggi yang kalian gambarkan tadi. Dia biasanya muncul di ujung lorong atau di dalam ruangan kosong.”
Rani menelan ludah. “Serius, Tan?”
“Iya. Karena itu, kalau malam, mereka jarang patroli ke lantai empat, paling mantau dari CCTV aja,” kata Tania.
Rina, Sinta, dan Maya saling berpandangan. Merasakan bulu kuduk mereka kembali berdiri, meski saat itu masih siang hari.
Rina lalu mengambil ponselnya. “Oh iya, gue sempat ambil foto lantai itu tadi.” Ketiga temannya menunggu, namun saat Rina membuka galeri, alisnya berkerut. Foto yang ia ambil terlihat seperti file yang rusak—gambarannya hanya berupa garis-garis warna abu-abu dan hitam. Di sudut atas layar, ada tulisan kecil: File Error.
“Kenapa jadi begini?” gumam Rina, bingung.
“Lo yakin tadi udah pencet tombol foto?” tanya Maya.
“Iya, yakin banget! Malah tadi gue mau kirimin ke Tania sebagai bukti, tapi gagal gara-gara gak ada sinyal.”
Mendengar itu, wajah Tania semakin serius. “Mungkin emang ada baiknya Rina gak nyimpan foto itu.”
“Kenapa?” tanya Sinta.
“Konon, kalau kalian nyimpan sesuatu dari pengalaman mistis, bisa aja… sesuatu yang lain itu ikut terbawa.”
Ketiga gadis itu saling pandang, lalu memutuskan untuk tidak membahasnya lebih lanjut. Peristiwa di lantai empat itu akan selalu membekas di benak mereka, sebagai misteri yang tidak akan pernah mereka lupakan.