Tari baru saja pindah ke Kos Anggrek, rumah kos tingkat dua yang hanya menerima penghuni perempuan. Setelah seharian sibuk mengangkat barang dan membereskan kamar, kini ia merasa lapar. Meski jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam, ia tetap memutuskan turun ke dapur untuk membuat mi instan.
Ketika tiba di dapur, Tari mendengar denting sendok yang beradu dengan gelas. Di sana, ia melihat seorang perempuan berdiri, sedang menyeduh kopi. Perempuan itu menoleh saat menyadari kedatangan Tari. Ia terlihat cantik dan anggun, dengan senyum yang terasa begitu ramah.
"Hai! Kamu penghuni baru, ya?" sapanya hangat.
Tari tersenyum. "Iya, Mbak. Saya Tari."
"Aku Sukma," jawabnya. "Udah jam segini, kok ke dapur?"
"Anu, Mbak, niatnya mau bikin mi," jawab Tari.
"Oohh, lapar ya? Saya juga tiba-tiba pengen ngopi. Mau coba kopi buatan aku, enggak?"
Tari yang merasa tak enak menolak akhirnya menerima tawaran itu. "Mau, Mbak, kalau enggak merepotkan."
Keduanya lalu duduk di meja dapur, dan mulai mengobrol. Sukma tampak ramah dan mudah diajak bicara. Ia banyak memberi tahu Tari tentang rumah kos, seperti aturan penggunaan barang dan bahan makanan di dapur, identitas para penghuni yang akrab dengannya, hingga tempat makan enak di sekitar kos.
"Tinggal di sini enak kok," ujar Sukma sambil tersenyum. "Kalau kamu butuh teman ngobrol atau butuh bantuan, jangan sungkan panggil aku. Aku tinggal di lantai dua."
Tari merasa lega bisa mengenal seseorang yang baik di tempat barunya. Saat jam dinding menunjukkan pukul 12 malam, Sukma mendadak berdiri. "Aku pamit ke kamar dulu, ya. Besok kita ngobrol lagi."
Tari mengangguk. "Iya, Mbak. Terima kasih ya, kopinya. Enak."
Sukma melangkah pergi dengan membawa cangkir kopinya, meninggalkan Tari yang bergegas mencuci cangkir dan mangkuk bekas mi instannya.
Saat Tari akan kembali ke kamar, ia berpapasan dengan penghuni kos lainnya yang baru pulang kerja.
"Hai, kamu penghuni baru, ya? Aku baru lihat kamu," sapa perempuan itu.
"Iya, aku Tari, dan baru pindah hari ini."
"Oooh, aku Cika. Ngapain kamu masih di luar malam-malam begini?" tanya Cika dengan nada keheranan.
"Aku abis bikin mi, dan tadi abis ngobrol juga sama Mbak Sukma," jawab Tari dengan santai. Ia ingat kalau Sukma menyebutkan nama Cika sebagai salah satu penghuni kos yang akrab dengannya.
Mendengar nama Sukma, raut Cika seketika berubah. Ia tampak terkejut dan sedikit pucat." Sukma?" tanyanya pelan.
"Iya, Kak. Dia ramah banget, ya."
Cika terdiam beberapa saat, lalu meraih lengan Tari dengan cepat. "Ayo ke kamar kamu."
Tari bingung dengan sikap Cika, tapi ia tetap menurut. Sesampainya di kamar, Cika meminta nomor ponsel Tari, lalu ia buru-buru kembali ke kamarnya sendiri. Tari hanya bisa berdiri di balik pintu kamarnya, masih bingung dengan sikap aneh Cika.
Tak lama, sebuah pesan masuk ke ponselnya. Pesan itu dari Cika:
Tari, kamu harus hati-hati. Sukma yang kamu temui tadi bukan manusia. Dulunya, dia emang penghuni kos sini, tapi udah meninggal sebulan yang lalu karena dibunuh mantan pacarnya yang abusive karena enggak terima diputusin. Jangan keluar malam-malam kalau enggak ada keperluan penting.
Tari terdiam, jantungnya seketika berdegup kencang. Ia mengingat kembali obrolannya dengan Sukma di dapur. Wajah Sukma yang ramah, tawa kecilnya, hingga kopi yang tadi disajikan terasa begitu nyata.
Malam itu, Tari tidak bisa tidur. Sekecil apapun suara yang berasal dari luar kamarnya, membuatnya gelisah. Di dalam pikirannya, wajah Sukma yang ramah kini berubah menjadi sosok misterius yang menakutkan.