Di salah satu sudut kawasan elit, berdiri megah sebuah rumah mewah. Rumah itu disewakan oleh Pak Setradjiwo atau biasa dipanggil Pak Djiwo. Alasannya menyewakan rumah tersebut karena ia harus tinggal di rumahnya yang lain, dan merasa sayang jika rumah itu ditinggal atau dijual begitu saja.
Suatu hari, seorang pengusaha sukses bernama Manggala, menyewa rumah itu untuk keluarganya selama satu tahun. Ia terpaksa menyewa karena rumah pribadinya berada di luar kota, dan memakan waktu cukup lama untuk bisa menjangkau kantornya. Oleh karena itu, ia merasa beruntung bisa menyewa rumah mewah dengan harga terjangkau di pusat kota serta dekat dengan kantornya. Bersama istrinya, Cendani, dan putrinya yang masih berusia 6 tahun, Ambar, mereka pindah dengan penuh antusias.
“Rumah ini sungguh luar biasa!” seru Manggala ketika memasuki rumah bersama istri dan anaknya.
Cendani ikut takjub dengan interior dan barang-barang yang disediakan di dalamnya. “Pak Djiwo apa enggak rugi, Pa, ngasih harga murah buat rumah segede dan barang selengkap ini? Di sini bahkan ada sofa, kulkas, TV, AC sama mesin cuci lho?!”
Manggala mengedikkan bahunya. “Sepertinya karena terlanjur kaya, jadi dia hanya mau rumah ini ada yang ninggali saja.”
Di balik murahnya rumah yang disewa, sebenarnya Manggala mendengar cerita kurang mengenakkan dari lingkungan sekitar mengenai para penyewa yang tidak betah tinggal lama, hingga adanya kematian dari salah satu anggota keluarga penyewa yang pernah tinggal di rumah itu. Namun, ia sengaja tidak menceritakannya karena khawatir Cendani akan menolak pindah, sedangkan ia sudah sangat suka dengan rumah mewah itu.
---
Satu bulan berlalu, dan peristiwa aneh mulai terjadi. Cendani beberapa kali memergoki Ambar berbicara sendiri di kamar. Saat ditanya, putrinya itu mengaku berbincang dengan "teman baru", yang sosoknya tak bisa dilihat oleh kedua orangtuanya.
Di lain waktu, Cendani mulai mendengar suara langkah kaki dan bisikan-bisikan misterius di tengah malam hingga menjelang subuh. Bahkan, Manggala yang awalnya skeptis, beberapa kali juga merasa seperti diawasi oleh sesuatu yang tidak kasatmata.
---
Hari demi hari berjalan, hingga tibalah malam satu suro. Angin dingin tiba-tiba menyelimuti rumah. Disusul aroma belerang yang menyeruak dari setiap sudut. Ambar, yang saat itu sedang tidur, tiba-tiba terbangun dengan tatapan mata yang kosong. Ia berjalan ke ruang tengah tanpa suara, seolah sedang dalam kendali oleh sesuatu yang tak terlihat.
Cendani yang saat itu hendak ke dapur, menemukan putrinya berdiam diri di sudut ruangan. "Ambar? Kok enggak tidur, Nak?" tanyanya panik, menghampiri putrinya.
Ambar perlahan menoleh. "Sudah waktunya... rumah ini meminta apa yang menjadi haknya." Suara yang keluar dari mulutnya bukanlah miliknya, melainkan khas laki-laki dengan suara berat.
Cendani mundur ketakutan, tetapi sebelum ia bisa berbuat apa-apa, lampu rumah mulai berkedip-kedip. Membuat suasana rumah semakin mencekam.
“Papa! Tolong, Pa!” Cendani berteriak sekuat tenaga, dengan tubuh memepet tiang tangga. Bulu kuduknya meremang saat ditatap tajam oleh putrinya. Bibirnya menyeringai lebar.
Manggala bergegas turun dari lantai atas setelah mendengar panggilan istrinya. Dia melihat sosok Ambar berdiri diam di tengah ruangan, seperti patung.
Saat masih dalam kondisi kebingungan, Manggala melihat istrinya, datang dengan segelas susu kemudian diberikan kepada Ambar.
“Ma, tadi Mama panggil Papa. Mama enggak apa-apa?” Dengan was-was, Manggala berusaha mendekati anak dan istrinya.
“Minum.” Cendani menyodorkan susu itu pada Ambar, lalu memaksanya menghabiskannya. Ambar dengan tatapan yang kosong, pasrah menghabiskan susu buatan mamanya.
Beberapa saat kemudian, tubuh Ambar ambruk dan kejang. Hidung dan mulutnya mengeluarkan busa, kedua matanya melotot-menggambarkan rasa sakit yang luar biasa. Manggala berlari dan memeluk putrinya. Berulang kali, ia meminta Cendani segera menghubungi rumah sakit dan meminta tolong pada tetangga sekitar, namun permintaannya diabaikan dan justru pergi menuju dapur.
Manggala mengambil gelas bekas susu yang dibuatkan istrinya kemudian mencium aroma kimia yang sangat kuat. Ambar telah terbujur lemas, mulutnya berubah biru keunguan. Manggala tidak bisa membendung air matanya, ia syok dengan kematian putrinya.
Masih dalam kondisi limbung dan tangis, Manggala meletakkan putrinya di atas sofa dan berjalan mencari istrinya. Di sana, ia melihat istrinya berdiri. Menatap dirinya sambil tersenyum menyeramkan. Di tangan kanannya telah memegang pisau.
“Ma, Ambar… Ambar meninggal, Ma,” isak Manggala, namun tak menerima tanggapan apapun dari istrinya. Lalu, tanpa disangka-sangka, Cendani menghujamkan pisau ke dadanya sendiri berkali-kali. Tak ada teriakan, hanya senyuman lebar kaku yang ditunjukkan olehnya. Hal itu membuat Manggala syok untuk kedua kalinya.
Manggala jatuh terduduk, memandangi jasad istrinya yang bersimbah darah hingga tak menyadari kemunculan sosok menyeramkan di belakangnya.
“Giliranmu,” suara sosok itu menyadarkan Manggala dari lamunannya. Ia menoleh dan melihat sesosok makhluk berdiri di belakangnya.
Tubuh sosok itu menjulang tinggi hampir menyentuh langit-langit ruangan, kulitnya sehitam arang yang terbakar dan retak-retak dengan cahaya merah menyala dari sela-sela tubuhnya. Kepalanya besar seperti tengkorak manusia yang memanjang ke bawah dan memiliki tanduk melingkar di kedua sisi kepalanya, menyerupai tanduk kambing yang retak dan berujung tajam. Matanya besar, merah menyala, tetapi kosong seperti lubang tanpa dasar.
Iblis itu memiliki senyuman menyeramkan dengan deretan gigi runcing yang tak beraturan. Tangan iblis itu panjang, hingga hampir menyentuh lantai, dengan jari-jari kurus seperti ranting pohon. Kukunya berwarna hitam pekat, tampak basah oleh darah. Dadanya lebar, dihiasi dengan simbol-simbol kuno. Kakinya berbentuk seperti kaki kambing, dengan lutut yang terbalik.
Manggala ketakutan saat melihat penampakan makhluk paling menyeramkan di hadapannya. Ia hendak melarikan diri namun entah kenapa salah satu kakinya tidak bisa digerakkan seolah terpaku pada lantai rumah.
“Tak ada gunanya melarikan diri, terimalah takdirmu,” ucap iblis itu.
Manggala kehilangan kesadarannya. Tatapannya kosong sama dengan Ambar dan Cendani sebelum meninggal dunia. Tubuhnya bergerak kaku seperti boneka, menuju kamarnya di lantai atas. Ia membuka jendela kemudian melompat begitu saja. Seketika, kepalanya hancur menghantam sebuah batu besar yang memang ditanam di halaman sebagai hiasan. Ia tewas dengan salah satu mata yang masih terbuka, menyiratkan rasa sakit yang tak terkira.
---
Keesokan paginya, berita kematian keluarga Manggala mengguncang lingkungan elit itu. Polisi menemukan ketiganya dalam kondisi mengenaskan: Cendani tergeletak di dapur dengan pisau di dadanya, Manggala di luar rumah dengan kepala yang hancur dan dada yang remuk, dan Ambar yang meninggal akibat racun.
Pak Djiwo datang beberapa jam kemudian setelah dihubungi pihak kepolisian. Ia kaget melihat kematian keluarga itu, dan tidak menyangka akan terjadi di rumahnya. Lagi.
Kematian yang terjadi di rumahnya bukanlah pertama kali, melainkan selalu terjadi pada salah satu anggota keluarga penyewa yang tinggal di sana. Namun, ia tidak menyangka kalau kali ini satu keluarga yang tewas. Akibat kejadian tersebut, Pak Djiwo harus menjalankan pemeriksaan yang cukup panjang sebagai saksi.
---
Sesampainya di rumah, setelah seharian menjalani pemeriksaan di kantor polisi, Pak Djiwo berbaring di sofa ruang tamu. Kedatangannya disambut oleh istrinya yang sigap membawakan teh hangat.
“Capek, ya, Pa? Mau aku hubungi tukang pijat?” tawar istrinya, melepas kaus kaki suaminya kemudian memijat-mijat pelan kedua kakinya.
“Enggak usah, dipijat sama kamu aja udah cukup,” ucap Pak Djiwo, tersenyum.
Sang istri mengangguk mengerti, “Kalau gitu, setelah ini Papa mandi. Nanti aku siapkan air hangat, setelah itu aku pijat di kamar.”
“Iya,” Lalu Pak Djiwo menghela napas panjang, “Sepertinya makhluk itu semakin serakah, Ma. Biasanya satu saja cukup.”
Sang istri terdiam, menghentikan pijatan kecilnya. “Dia… akan tetap di sana selama mendapatkan korban, kan Pa?” tanyanya dengan suara khawatir.
“Kalau sesuai perjanjiannya, seharusnya seperti itu. Selama kita bisa memberikan tumbal di malam satu suro, makhluk itu tidak akan mengganggu atau mencari keluarga kita,” ucap Pak Djiwo. “Aku kira, seandainya keluarga itu bertahan lebih lama, makhluk itu akan mengambil mereka satu persatu, tapi ternyata… seperti ini kejadiannya.”
Bagi mereka, kematian di rumah itu memang hanya siklus biasa. Rumah itu sengaja menjadi bagian dari perjanjian yang ia buat bertahun-tahun lalu oleh seorang dukun di Jawa Timur dan iblis yang menyanggupi keinginan Pak Djiwo untuk mendapatkan kekayaan tanpa batas.
Perjanjiannya adalah setiap malam satu suro, rumah yang telah diisi oleh sang iblis akan meminta tumbal, dan tugas Pak Djiwo adalah memastikan ada penghuni baru yang siap menjadi korban berikutnya. Kalau ia melanggar atau tidak menyanggupi persyaratan itu, maka iblis akan mengambil nyawa anak-anak dari keturunan Pak Sudjiwo hingga tujuh turunan.
“Kita harus mencari penyewa baru, Pa, supaya makhluk itu tidak mencari kita,” ucap sang istri.
Reflek Pak Djiwo memijat kepalanya yang mulai terasa pusing, “Tidak semudah itu, Ma. Kali ini saja, kita beruntung mendapat penyewa yang mau tinggal selama satu tahun, tapi malah berakhir seperti ini.”
Sang istri ikut menghela napas. “Kalau sudah seperti ini, kita sudah tidak perlu memikirkan tentang harga sewa, Pa. Yang penting bisa menarik minat calon korban selanjutnya. Berikan harga semurah-murahnya, kita lengkapi dengan furnitur mahal tapi minimal penyewaan harus satu tahun, tidak boleh dibatalkan,” sarannya.
“Iya, Ma. Tapi yang paling penting sekarang, semoga polisi segera menutup kasus ini sebagai kasus bunuh diri atau pembunuhan oleh kepala keluarga aja. Jadi, saya bisa segera membersihkan rumah, dan membukanya lagi untuk disewakan.”
“Iya, Pa,” jawab sang istri. Pak Sudjiwo kemudian bangkit dari tidurnya, hendak membersihkan diri. Sang istri mengikutinya dari belakang.