"Nih, tugas kamu, Mis. Retur semua ya. Jangan sampai ada yang telat tuh," ujar Wahyu sambil datang dengan dua kardus berisi barang-barang siap retur.
"Ah, nggak mau, Way. Lagian NIK aku juga belum ganti. Jabatan aku di komputer masih kasir, masih karyawan kontrak. Enak aja aku ngerjain kerjaan SJL tapi gajinya masih kasir," balasku, sambil mendumel.
Wahyu menenteng kardus sambil mendekatiku yang masih sibuk protes.
"Oh, kamu mau perhitungan?" tanyanya dengan memasang wajah galak.
Aku nyengir lebar. "Iya deh, iya, nggak jadi. Tapi gimana, Pak? Aku nggak ngerti, takut salah." Aku memandangnya dengan ekspresi memelas.
"Nih, sini, sini, saya ajarin sekali lagi." Wahyu beranjak berdiri di depan komputer anak. Aku mengikuti dan berdiri di sampingnya, memperhatikan Wahyu yang mulai mengotak-atik komputer. Ia menutup program kasir, lalu membuka POSMain.
"Caranya, kamu buka menu informasi produk dulu, terus buat jendela baru untuk buka menu retur. Jadi, kamu cek dulu barangnya buat pastiin waktu retur produknya sesuai. Setelah itu, langsung scan barangnya. Harus dicek, karena kalau udah di-scan, nggak bisa dibalikin lagi," jelas Wahyu, sambil sesekali melirikku untuk memastikan aku paham.
"Hmm... oke, oke, paham," jawabku, mengangguk mantap.
"Nah, sekarang kamu coba retur tuh," ujar Wahyu sambil menunjuk dua kardus yang dibawanya tadi.
Aku meraih kardus itu dan mulai meretur sesuai arahan Wahyu. Sementara itu, ia berdiri di samping, mengawasiku. Sesekali ia memberi instruksi jika ada yang terlewat.
"Udah deh, kamu yang ini aja, yang gampang. Nanti sisanya biar saya yang kerjain," katanya sambil memisahkan barang-barang yang belum di-retur.
Aku menatap Wahyu dengan senyum sungkan. Aku tahu, meskipun mulutnya sering pedas, Wahyu sebenarnya orang yang baik, people pleaser, dan nggak tega kalau lihat orang lain kesusahan.
Tapi ya, ujung-ujungnya tetap...
"Tuh, kurang baik apa coba Wahyu Bramantyo ini? Kamu dibantuin segini banyaknya. Nggak ada lagi tuh di dunia ini asisten sebaik Wahyu yang rela disuruh-suruh sama juniornya. Emang sih Wahyu ini spek malaikat tak bersayap bla... bla... bla..." ocehnya panjang kali lebar, penuh percaya diri.
Aku hanya mendengarkan dengan wajah datar. Santai saja. Menghadapi manusia seperti Wahyu tuh gampang. Caranya cuma satu: jangan diladenin. Biarin aja.
"Way?" Aku akhirnya membuka suara. Bukan karena tidak tahan dengan ocehannya, tapi karena supervisor kami terlihat turun dari mobil dinasnya dan berjalan ke arah kami.
Wahyu mendelik, matanya langsung menyapu area kasir, memastikan semuanya terlihat rapi. Padahal, selama aku masih di sini, area kasir selalu aman dari komentar miring. Barang-barang retur sudah aku simpan rapi di tempatnya.
Pak Tjo langsung berjalan ke arah kasir. Wajahnya terlihat sumringah seperti biasa, sambil membawa clipboard yang sudah jadi senjatanya tiap kali inspeksi.
"Miska, gimana?" tanyanya tiba-tiba, basa-basi.
Aku yang sedang merapihkan struk-struk di meja kasir melirik. Wahyu kabur entah ke mana sebelum Pak Tjo sampai, pura-pura sibuk supaya nggak diajak ngobrol.
"Gimana apanya, Pak?" tanyaku bingung harus menjawab apa.
"Kamu udah jadi SJL, toh?" tanyanya lagi, kali ini sambil mengecek laporan di buku supervisi.
"Secara data belum loh, Pak. NIK aku masih sama" jawabku sambil menunjuk ke komputer.
"Lho, kok belum? Ya udah, besok mungkin ya" katanya santai.
Aku cuma mengangguk dan tersenyum kecil. Pak Tjo kembali sibuk dengan clipboardnya yang ia taruh di atas meja kasir. Terkadang jemarinya mengetuk-ketuk meja kasir membuat suara berirama. Beliau ini memang bawaannya santai dan tenang tiap kali kunjungan kesini, padahal kata personil primamart toko lain beliau ini cukup tegas dan disegani.
"Selamat datang di Prima Mart!" Ucapku reflek ketika suara pintu berderit. Seorang anak SD masuk toko sendirian.
Anak kecil yang baru masuk itu melihat-lihat rak sambil sesekali menoleh ke arahku. Jalannya hati-hati, nggak ada tanda-tanda mau ngacak-ngacak rak kayak anak kecil lain biasanya.
"Itu anak saya," kata Pak Tjo pelan sambil tersenyum kecil.
"Hah? Oh, anak Bapak?" jawabku canggung. Aku ikut tersenyum melihat anak itu, baru ngeh kalau istrinya Pak Tjo juga ada di teras toko, duduk sambil main ponsel di depan mobilnya yang parkir manis.
"Lucu banget ya, Pak. Mirip Bapak sih, baiknya," celetukku, basa-basi.
Pak Tjo ketawa kecil. "Ya iya toh. Wong saya bapaknya."
Aku terkekeh. Si bapak ini memang baik dan menyenangkan, kecuali pesan broadcastnya yang amat mengganggu. Tiap kali ada yang telat laporan, yang di spam semuanya.
"Pramu baru belum masuk absensinya?" Tanya pak Tjo sambil mengecek daftar di clipboard-nya.
"Belum, Pak. Kita masih berempat aja. Anak baru belum kesini" jawabku sambil meliriknya.
Pak Tjo manggut-manggut. "Sabar ya. Kalau ada yang resign dadakan ya gini, emang repot. Nanti ambil libur tambahan aja. Kalian pasti capek ya? Liburnya di-pending terus."
Aku senyum lebar. Memang Pak Tjo ini kadang ngeselin, tapi kalau urusan keringanan libur, dia nggak pelit. "Iya, Pak. Lumayan banget tuh kalau ditambah."
___
Rencana aku dan Wahyu hari ini sebenarnya berjalan lancar, semua beres tepat waktu. Tapi ternyata kami melewatkan satu hal penting—besok pergantian promosi, dan itu berarti masih ada tugas tambahan: bagi-bagi leaflet sebelum pulang.
“Kamu udah kelar semua belum?” tanya Wahyu. Aku sedang sibuk menulis rekapan sales di buku laporan waktu dia tiba-tiba nimbrung.
“Udah, kok. Tinggal laporan aja. Ntar ajarin ya,” jawabku tanpa berhenti nulis.
“Iya, gampang itu mah. Cepetan, keburu sore. Kita ngedate dulu yuk,” kata Wahyu sambil keluar gudang.
Aku menatapnya datar, tapi tetep pada akhirnya ikut dia keluar.
Buat aku dan Wahyu, definisi "ngedate" itu jalan keliling komplek toko sambil bagi-bagi leaflet ke ibu-ibu yang lagi kumpul atau siapa pun yang kebetulan lewat. Intinya, satu pack leaflet harus habis sebelum balik ke toko. Kadang kalau lagi santai, kami mampir ke warung untuk membeli es milday favorit kita. Lalu berjalan pulang sambil becanda atau ngobrol sama anak-anak kecil yang lagi main atau berenang di sungai bersih yang kami lewati.
Aku dan Wahyu sebenarnya bukan orang sini, tapi Desa Gandu udah berasa kayak kampung kedua. Orang-orangnya ramah, dan beberapa malah udah akrab dengan kami.
“Dihapus dulu semua kecuali target sama akumulasi. Tanggal sama shiftnya jangan lupa diganti,” kata Wahyu setelah kami kembali ke toko.
Dia mengajarkan aku laporan per shift, kerjaan wajib yang selalu dikerjain pimpinan shift sebelum balik.
“APC itu gimana ngitungnya, Way?” tanyaku sambil garuk kepala.
“Sales dibagi struk,” jawab Wahyu singkat. Dia menyandarkan punggungnya di tembok brankas, kakinya ia luruskan, matanya terpejam.
Aku masih sibuk mengetik laporan, sampai tiba-tiba ada remaja cowok masuk. Tanpa basa-basi, ia menyimpan tas dan jaketnya di loker karyawan tanpa menghiraukan kami.
Aku dan Wahyu saling pandang, bingung. Siapa nih anak?
"Perbantuan, ya?" tanyaku basa-basi sambil melirik cowok baru itu. Akhirnya dia menatap kami bergantian, meski ekspresinya tetap datar.
“Enggak. Saya pindah ke sini, kata Pak Tjo,” jawabnya singkat, nada suaranya canggung.
“Oh, pramu baru? Namanya siapa?” aku coba mengajaknya ngobrol. Dia mengangguk kecil sebelum menjawab.
“Arman,” ucapnya pendek.
“Aku Miska, terus ini Wahyu,” aku memperkenalkan diri sambil menunjuk Wahyu, yang cuma mengangguk kecil, berbasa-basi.
“Oke, saya ke depan dulu, ya,” katanya sambil menunjuk pintu gudang. Aku cuma mengiyakan sebelum dia melenggang pergi.
“Anjir, songong banget pramu baru,” cibir Wahyu sambil melirik ke arah pintu. Aku tertawa kecil.
“Tugas kamu lagi tuh ngajarin dia,” sindirku senang. Wahyu mendengus sambil melempar tatapan pasrah.
“Bangkek, lah. Capek banget saya, Mis. Mau pulang aja ah,” umpatnya sambil berdiri. Aku nyengir sambil ikut berdiri, mengekor dia keluar gudang.
“Bu, Wayu balik dulu ya” pamit Wahyu ke Bunda, kepala toko kami, yang lagi sibuk memberi arahan sambil melihat leaflet baru. Si anak baru, Arman, ada di sebelahnya, terlihat canggung.
“Eh, iya, iya, Way. Besok jangan lupa masuk pagi lagi, ya, sama Miska,” balas Bunda tanpa berhenti melihat leaflet.
“Siap, Bu. Asal Latip jangan lupa bawa kunci aja,” balas Wahyu sambil melirik Latip, pramu lama kami yang sibuk di kasiran.
“Kalau kesiangan ya tinggal digebrak aja,” cibir Latip, membuat Wahyu tergelak.
“Oh iya, tadi Pak Tjo ngomong apa aja, Way?” tanya Bunda lagi. Wahyu berhenti di pintu, balik badan menghadap Bunda.
“Gatau, Bu. Ngobrolnya sama Miska tadi pas di kasiran,” jawabnya santai.
Aku, yang baru selesai fingerprint absen pulang, melirik mereka sambil mengecek tas. “Nggak ngomong apa-apa sih, Bu. Cuma nanyain NIK sama absennya Arman aja.”
“Oh, lama nggak, Mis, di sininya?” tanya Bunda lagi sambil merapikan leaflet.
“Enggak, Bu. Sebentar doang. Soalnya dia bawa anak sama istrinya,” jawabku.
“Oh iya, waktu itu juga bawa keluarganya, kan?” timpal Bunda sambil manggut-manggut.
“emang iya Bu?, enak banget ya kerja ditemenin istri sama anak,” aku terkekeh.
“Bu Lastri juga tuh, Bu, harusnya ikut Pak Alfan kerja,” Wahyu tiba-tiba nyambung, membayangkan Bunda ikut suaminya, yang juga SPV Primamart.
“Nggak lah, saya mah. Si Danish mabuk kalau naik mobil lama-lama. Dia sukanya motoran,” jawab Bunda sambil ketawa kecil.
“Dih, sayang banget, Bu. Padahal Pak Alfan areanya Majalengka, kan. Pemandangannya bagus banget, lho,” sahutku sambil ngebayangin view di sana.
“Iya sih, tapi saya juga males, Mis. Capek. Enakan di rumah aja kalau libur. Kalau Pak Tjo kan merantau, ya, wajar kalau sesekali ngajak keluarga buat jalan-jalan.”
“Mis, buru, mau bareng nggak?” Wahyu tiba-tiba narik cardiganku.
“Iya, iya. Bu, aku duluan, ya,” pamitku buru-buru.
“Iya, Mis. Ti ati,” jawab Bunda sambil ngangguk.
“Tip, Arman, duluan ya,” aku melirik mereka sebentar sebelum bergegas keluar.
Wahyu udah duduk manis di motornya, nungguin sambil pasang tampang nggak sabar.
Nggak sabar part 3 🤗🤗
Comment on chapter BAB 2