Loading...
Logo TinLit
Read Story - Kembang Sukmo
MENU
About Us  

“Ada hal-hal yang kita yakini, tidak selalu urusannya dengan duniawi.”

Samara yang baru terbangun, duduk termenung di atas kasur. Kata-kata itu terus terngiang. Ia teringat ibunya memang pernah mengucapkannya; dua hari sebelum beliau pergi ke Bali.

Mendadak Samara terkesiap hebat. Kilasan wajah ibunya yang berlumuran darah terlintas dalam benaknya.

“Ibu—” bisiknya lirih.

Semalam adalah mimpi paling buruk yang dialaminya.

Sejenak ia memeriksa handphone. Pesan terakhirnya masih belum terkirim. Apakah ibunya tak menyalakan handphone seharian? Ataukah ada kendala mengisi baterai?

Samara benar-benar cemas. Dua hari sudah lewat sejak ibunya pamit pergi ke Bali. Kini hari silih berganti Selasa. Ia bingung harus mencari tahu ke mana. Karena tak ada yang bisa dihubungi untuk memeriksa keadaan ibunya, ia hanya bisa menunggu dalam kegetiran.

Ruangan berukuran 3 x 5 sentimeter ini terasa panas. Terik matahari menembus tirai jendela kamarnya. Jam sudah menunjukkan pukul delapan pagi.

Ia tak menyalakan AC karena semalam sangat dingin. Kini keringat bercucuran di kedua pelipisnya. Rambutnya juga basah karena banyak berkeringat. Segera ia mengusap wajahnya. Lalu menyibakkan selimut tebalnya seraya beranjak dari atas kasur.

Samara berlari keluar kamar mencari si Mbok. Ia menyeru, “Mbok! Tadi ada telepon dari Ibu, enggak?!”

Si Mbok yang tengah memegang sapu dan pengki menghampirinya dari teras. Lalu si Mbok berkata, “Ndak ada, Ndoro.”

Samara mengerutkan bibir, wajahnya masam.

“Apa Ndoro sudah coba hubungi lagi?” tanya Mbok Miyem.

Samara mengangguk lesu sambil memainkan jari jemarinya. “Sudah, tapi HP Ibu sepertinya enggak nyala dari kemarin.”

Si Mbok menggaruk-garuk rambut cepol berubannya. Lalu si Mbok bergumam, “Waduh, Gusti Allah paringi keselamatan kalih Gusti Laras. Semoga tidak terjadi hal-hal buruk—”

Samara meliriknya dan bertanya, “Apa Ibu ada ngomong sesuatu sebelum pergi?”

Si Mbok menggelengkan kepala, raut wajahnya nampak cemas.

“Kenapa perasaanku enggak enak, ya, Mbok?” ujar Samara, mengerutkan dahinya.

Si Mbok menyahut lugas, “Ndoro Ayu, sebaiknya mandi dulu, terus sarapan. Kita berdo’a yang baik-baik saja. Semoga Gusti Laras cepat pulang dengan selamat.”

Samara menghembuskan nafas panjang. Ia mencoba menepis firasat tak nyamannya. Ia cepat-cepat mandi dan sarapan pagi.

***

Sampai hari Rabu, Samara belum mendengar kabar dari ibunya. Ia sungguh cemas. Firasat buruknya semakin menjadi-jadi. Bagai ada suara batin yang memberitahunya; sesuatu tengah menimpa ibunya.

Ia coba menepis bayang-bayang kabut pikirannya. Ia tak mau mengiyakan pikiran tak baik itu. Namun rasa kerisauan terus menggelora dalam batinnya.

Pagi-pagi, Mbok Miyem mengangkat telepon di rumah. Dari ambang pintu kamar, Samara diam-diam mendengarkan.

“Ya Allah, Gusti…” suara si Mbok terdengar cemas. “Punapi leres pawarta punika?” [1]

Samara memincingkan mata, penasaran apa yang tengah dibicarakan. Jika saja ia mampu berbahasa krama, sudah pasti tidak akan kebingungan mendengar ucapan si Mbok.

“Aduh, kados pundi meniko? Raosipun dalem mboten percados bilih panjenengan dalem enggal sanget kapundut ipun,” [2] ujar si Mbok di telepon.

Menilai dari wajah si Mbok yang nampak gundah, Samara semakin curiga ada yang tidak beres.

Tak lama selang si Mbok menutup telepon, Samara mendatanginya dan bertanya, “Siapa tadi yang nelpon, Mbok?”

Wajah si mbok nampak begitu gundah gulana. Si Mbok menundukkan pandangannya dan masih terdiam beberapa saat.

Samara heran apa yang terjadi. “Mbok—”

Tiba-tiba si Mbok duduk bersimpuh di lututnya. Samara terkejut. Apalagi si Mbok menggelendoti betis langsingnya.

Samara berhati-hati melepas tangan si Mbok seraya bertanya, “Mbok, ada apa sih?”

“Si Mbok nerima telepon, ada yang mengabari kalau—” suara tangisannya pecah.

Samara mengernyit heran. “Kalau kenapa?”

Si Mbok menyahut, “Kabar duka, Ndoro! Ada kabar duka!”

Jantungnya berdegup resah. Namun Samara tak mau menebak-nebak dalam hati. Ia langsung mempertanyakannya, “Maksudnya gimana, Mbok?”

Suara tangisan si Mbok semakin kencang seraya menjawab, “Gusti sampun sedo, Ndoro!”

Sampun sedo?” Ia tak asing dengan kosakata krama kali ini. “Maksudnya siapa yang meninggal?!”

Si Mbok terus menangis haru di lututnya sambil berbicara, “Gusti Laras—”

“Enggak mungkin, Mbok!” sahut Samara, tak mempercayainya. “Memangnya itu tadi telepon dari siapa?!”

“Dari orang yang ada di Bali, katanya yang punya Galeri Batilar,” ucap si Mbok, memberitahunya.

“Galeri Batilar?” gumam Samara. “Toko lukisan? Ibu memang bilang mau ketemu penjual lukisan di sana.”

Si Mbok mengangguk cepat, “Nggih, leres. Katanya toko lukisan.”

Bibir Samara bergetar, sekujur tubuhnya mematung. Mendadak ia teringat mimpi buruknya semalam. Lumuran darah pada wajah ibunya bagai mengungkap suatu pertanda. Namun ia tak mau cepat-cepat menjadikan mimpi itu sebagai petunjuk.

“Mbok, kita belum tahu kejelasannya. Orang itu saja ngabarin cuma di telepon!” Samara mendebatnya. “Lebih baik kita tunggu saja nomer kontak Ibu bisa dihubungi lagi.”

“Tapi Ndoro, bagaimana mungkin orang di Bali tadi bisa tahu nomer rumah?” tanya si Mbok, kebingungan.

“Nama penelponnya siapa sih, Mbok?” tanya Samara, geram.

Si Mbok mencoba mengingatnya, “Kalau ndak salah, Pak Hamidjoyo namanya. Tapi Mbok ndak kenal—”

“Aku juga enggak kenal sama beliau. Makanya kita pastikan dulu kebenaran beritanya,” ujar Samara. “Bisa jadi cuma kabar burung yang ngawur!”

Si Mbok berkedip cepat, nampak gelisah. Lalu ia memberitahunya, “Tapi beliau mengatakan dengan jelas; Gusti Laras serangan jantung. Jasadnya dalam perjalanan dipulangkan ke Surakarta.”

“Mbok! Aku enggak percaya kabar burung enggak jelas kayak gitu!” sahutnya, geram.

Si Mbok terdiam lesu. Dalam hening hanya menangis haru. Sedangkan Samara merengut kesal sendiri. Dalam batin ia berharap berita itu tidak benar. Bagaimana mungkin ibunya tiba-tiba meninggal dunia? Ia tak mau percaya begitu saja berita dari orang asing.

Selang beberapa saat, datang kiriman surat dari kurir. Samara menerimanya di depan pagar rumah. Sambil berjalan masuk ke teras, ia mengernyit saat mencermati label nama pada surat. Lantas ia membatin; apakah surat ini salah alamat?

Setelah masuk ke ruang tamu, ia segera membuka surat beramplop putih itu. Ia semakin membelalak heran. Terdapat kop keraton Solo pada bagian atas kertas. Berlahan ia membaca isi tulisannya.

Woro-Woro [3]

Berita Kematian

Ia berkedip cepat. Firasatnya datang pergi, menguatkan rasa-rasa gundahnya. Ia merasa aneh dengan judul surat tersebut. Dan semakin ia membaca bait selanjutnya, jantungnya berdegup kencang. Sampai ia menemukan tulisan yang membuatnya berdiri mematung dan menahan nafas.

 

Turut keprihatinan dan belasungkawa atas wafatnya GRAy. Larasati Kusuma Wijaya, wayah dalem trah Kusuma Wijaya, anak dari Raja Suryokoesoemo dan RAy. Andarasati.

 

Tangannya bergetar sembari memegangi kertas putih itu. Sepasang matanya tak berkedip seraya membaca ulang bait tulisan yang menyebut nama ibunya. Surat tersebut datang membawa kabar duka. Seperti berita panggilan telepon dari orang asing tadi pagi.

Samara masih saja tak percaya berita yang diterimanya itu nyata. Apalagi ia dikejutkan dengan surat yang berasal dari keraton. Nama ibunya ditulis lengkap dengan gelar bangsawan. Seketika itu ia teringat surat dari Pak Soeprapto yang juga menulis nama ibunya persis pada surat ini.

Samara semakin merasa aneh dengan semua kejadian yang terasa mendadak ini. Bagaimana mungkin ibunya tiba-tiba menjadi bagian dari keluarga keraton? Apakah ada orang-orang di luar sana yang sedang mempermainkannya? Ia masih saja terheran-heran.

Secepatnya ia berteriak, “MBOK! CEPAT KE SINI!”

Si Mbok yang sibuk mengelap meja makan segera berlari padanya. “Nggih, Ndoro, wonten menopo?”

Sambil menunjukkan surat yang dipegangnya, ia bertanya, “Mbok, siapa sih yang iseng buat surat kayak begini? Apa ada yang lagi iseng ngerjain kita, ya?”

Si Mbok memincingkan mata keriputnya. Segera ia mengambil alih surat itu untuk membacanya. Ketika ekspresi si Mbok malah terlihat pucat dan lesu, Samara menatapnya heran. Isak tangis si Mbok berlahan terdengar.

“Mbok, kok nangis sih?!” tegurnya.

Si Mbok meracau sambil menangis, “Gusti Allah, kenapa bisa begini—”

Menyaksikan reaksi Mbok Miyem malah bersedih, Samara jadi keheranan.

“Mbok percaya sama isi surat ini?” tanyanya, mendongkol.

Si Mbok masih terisak dan menunduk pilu. Apalagi si Mbok langsung mempercayai berita pada surat itu, membuat Samara ingin membuktikan kebenarannya.

“Mbok, aku yakin ini cuma kerjaan orang iseng. Sejak kapan Ibu seorang anak raja?” gerutunya, geram.

Si Mbok mendongak padanya, hendak berkata sesuatu. Namun dengan cepat si Mbok menutup rapat bibir kering kecoklatannya.

“Mbok, aku akan cari alamat pengirim surat ini. Kalau pun harus ke keraton untuk membuktikan—”

Mbok Miyem sigap meraih tangannya dan menyahut, “Jangan, Ndoro!”

Samara memincingkan mata, heran. Seraya melepas cengkraman si Mbok, ia berkata tegas, “Kita harus cari tahu orang gila yang mau ngerjain kita ini, Mbok! Kalau bisa habis ini aku datangi kantor polisi untuk buat laporan—”

Gusti Allah, kulo nyuwun pangapuro,” [4] gumam Mbok Miyem sambil memejamkan mata. Lalu si Mbok mendongak lagi ke arahnya, “Ndoro, sebaiknya kita tunggu saja kabar dari Pak Hamidjoyo tadi.”

“Enggak bisa, Mbok! Aku harus segera tahu! Surat ini sudah buat aku geram!” sahut Samara, emosinya memuncak. “Bahkan surat ini bisa tahu nama nenekku Andarasati!”

Mata si Mbok terbuka lebar. Mulutnya setengah menganga. Samar-samar si mbok berbisik, “Puniku amargi—”[5]

Samara merebut surat itu dari tangan si Mbok. Saat ia berlari ke kamar, si Mbok meneriaki namanya. Ia tetap nekat mau membuktikan kabar duka yang mendadak itu.

Cepat-cepat ia ganti baju dengan kardigan tebal warna biru tua, syal merah dibalut di leher, dan sepatu boots hitam.

Sejenak ia membuka kertas itu untuk membacanya ulang. Alamat pemakaman tercatat pada surat.

“Pemakaman kerabat keraton Solo,” gumam Samara. “Rabu, jam delapan pagi—”

Ia menengok pada jam dinding. Sudah sejam lalu waktu pemakaman lewat. Usai mengalungkan tas slempang kecil di bahunya, ia berlari keluar kamar.

“NDORO! JANGAN PERGI!” si Mbok berusaha mencegatnya.

Samara tak menggubrisnya dan terus saja jalan keluar rumah. Si Mbok pun hanya dapat menyaksikan kepergiannya dengan pasrah.

Samara berencana mengunjungi pemakaman tersebut. Lokasinya agak jauh dari rumah. Bahkan ini akan jadi pertama kalinya ia berpergian jauh di Kota Solo. Langsung saja ia menyewa jasa taksi untuk mengantarnya ke alamat tujuan.

Sekitar sejam akhirnya sampai, ia membayar supir taksi. Ia melesat keluar dari mobil. Lalu melangkah cepat di trotoar jalanan depan pagar taman keraton. Ia berkeliling beberapa saat mencari-cari pintu pemakaman. Ia sempat kesulitan mencari titik lokasi. Ia melewati sepanjang pagar yang sangat luas, rasa haus mulai membuatnya kelelahan. Namun tak urung niatnya ingin menemukan tempat pemakaman khusus keluarga bangsawan itu.

Ketika pintu belakang ditemukannya, segera ia masuk. Taman di sana dihiasi banyak bebatuan hitam alam. Tanaman hijau dan bunga-bunga mengisi sebagian besar jalanan menuju gapura tinggi.

Samara menengok ke kanan dan ke kiri. Tidak ada orang sama sekali di sekitarnya. Suasana di taman sangat sepi. Saking luasnya, Samara tersasar masuk ke bangunan kecil di arah timur taman.

Tepat ketika memasuki ambang pintu, ia melihat ada bapak-bapak yang duduk bersila memainkan gamelan. Sekilas ia memandang ruangan gelap itu berisi gudang gamelan dan kendi-kendi pot tanah liat.

Samara menyapanya, “Permisi, Pak.”

Ketika beliau mendongak padanya, Samara tertegun. Sejenak ia mengamati wajah si bapak-bapak yang berhenti menabuh gamelan dengan stik kayu. Ia teringat pernah bertemu sekali dengan sosoknya. Dialah bapak-bapak yang menyapanya di Loji Antik dan mendadak menghilang bagai di telan bumi.

Selang empat hari lalu sejak pertemuan mereka di Loji Antik, beliau tak nampak kaget melihatnya lagi. Mungkin beliau sudah lupa dengan wajahnya.

Samara cepat-cepat mengeluarkan surat dari tas slempang hitamnya. Dengan tangan bergetar, ia menunjukkan kertas surat itu pada beliau. Lalu ia berkata, “Pak, saya dikirimin surat dari keraton. Katanya ada yang baru wafat, apa benar Bu Larasati dimakamkan di sini?”

Beliau mengangguk dan menjawabnya, “Nggih, baru saja pemakaman selesai dilangsungkan. Para pelayat sudah pulang.”

“Di mana lokasi makamnya, Pak? Saya mau lihat,” tanya Samara, nafasnya masih terengah-engah.

Usai beliau memberi arahan di mana lokasi tepatnya, Samara segera mencarinya.

Kala itu cuaca pagi hari mendung. Petir mulai menyambar di langit. Sambil terus melangkah dalam pencariannya, jantungnya berpacu kencang. Dalam hati, Samara berharap ini semua hanya mimpi. Ia berharap surat berita kematian itu hanya lelucon gila.

Ia memasuki lahan pemakaman dengan berhati-hati. Ada banyak kuburan batu berukuran besar-besar dan tinggi. Tak seperti umumnya kuburan orang biasa. Samara mengamati ke sekelilingnya. Di tengah lahan terlihat satu-satunya ada tanah yang baru digali. Semakin langkahnya mendekati pusara di sana, firasat buruknya semakin kuat. Terlihat taburan bunga-bunga di atas kuburannya. Bingkai foto persegi disandarkan pada papan kayu yang tertancap di pusara. Jelas-jelas itu foto ibunya.

Ia berdiri di sebelah pusara untuk mengamati. Ia membelalak saat membaca tulisan pada papan kayunya. Terdapat nama lengkap ibunya serta gelar keningratannya.

GRAy. Larasati Kusuma Wijaya

Binti

Kanjeng Gusti. Suryokoesoemo

Kala petir menyambar-nyambar penuh amukan di langit, begitu juga rasa di hati Samara. Hatinya serasa ikut tersambar usai membaca tulisan pada papan.

Jika semua ini hanya kerjaan iseng orang padanya, mengapa repot-repot membuatkan pusara atas nama ibunya? Mengapa surat berita kematian ditulis secara resmi? Mengapa ia baru mengetahui semua ini sekarang? Mengapa begitu telat? Apa yang ibunya coba sembunyikan darinya selama ini?

Tetap saja, sebagian besar rasa di hatinya tak mau percaya. Ia ingin menyangkal semuanya. Ia perlu bukti yang lebih kuat. Bahkan ia belum melihat jasad utuh ibunya. Ingin rasanya ia membongkar pusara di hadapannya untuk membuktikan.

Hujan mulai turun rintik-rintik, saat itulah datang seorang penjaga makam. Suara pria berusia empat puluhan menegurnya, “Punten, ndak boleh masuk ke sini sembarangan kalau bukan kerabat—”

Samara menengok. Si mas-mas langsung tertegun mendapati lirikan ketusnya.

“Apa benar ini kuburannya Bu Laras?” tanyanya, ingin mengonfirmasi.

Si penjaga makam menatapnya heran seraya menjawab, “Nggih, betul. Apa Mbak kerabatnya almarhumah Gusti Laras?”

Seketika ia mendengar orang itu mengiyakan, deru nafasnya semakin berpacu dengan irama resah jantungnya. Tiba-tiba hujan turun deras. Beruntung air matanya tersamarkan dengan rintik hujan yang membasahi pipinya.

Si penjaga makam cepat-cepat membuka payung merah yang dibawanya. Sedangkan Samara langsung berlari darinya. Ia tak merasa perlu menjelaskan bahwa dirinya adalah anak dari Gusti Laras. Lagi pula masih sulit baginya percaya kenyataan pahit ini.

Ia berlari masuk ke gudang gamelan untuk berteduh. Ternyata sosok bapak-bapak tadi masih duduk bersila di lantai.

Pikirannya mulai meracau. Keadaan hatinya sangat buruk. Ia jadi berpikir yang tidak-tidak. Lantas ingin rasanya ia mempertanyakan sosok misterius orang tua berpakaian lurik dan blangkon itu. Apakah beliau sengaja membuntutinya di Loji Antik? Atau mungkin beliau sudah memantau dirinya dan ibunya sejak jauh-jauh hari? Mengapa rasanya bagai kebetulan beliau ada di sini?

“Pak!” sahutnya di ambang pintu. “Bapak sengaja ngikutin saya kan waktu ketemu di Loji Antik?!”

Beliau berhenti membersihkan gamelan kuno saat diajak bicara. Seraya balas menatapnya, beliau bergumam, “Apabila takdir mempertemukan, bukanlah tanpa sengaja.”

Samara mengernyit tak paham dengan ucapannya.

“Tiap-tiap kisah, garisnya sudah tertulis,” tambah beliau. “Gusti Allah punya rencana; mengapa Ibunya panjenengan kini masa hidupnya telah berakhir sebagai manusia.”

Samara bahkan belum mengaku bahwa Gusti Laras adalah ibunya. Bagaimana ceritanya bapak-bapak ini bisa tahu?

Segera ia mengeluarkan surat berita tadi untuk menunjukkannya sekali lagi. “Bapak lihat sendiri! Surat ini yang buat Bapak, kan?!”

Beliau malah tersenyum simpul menghadapi emosinya yang meledak-ledak.

Samara semakin curiga. “Bapak ini mau ngerjain saya, ya?! Saya enggak percaya kalau Ibu saya meninggal! Apalagi sampai dimakamkan di sini! Saya rasa enggak masuk akal!”

Beliau tetap memberikan senyum simpul. Kali ini setengah menundukkan kepala.

Samara semakin geram dengan sikap diam beliau. Ketika beliau tak memberikan penjelasan yang jelas, rasa di hatinya semakin ingin mengamuk. Ia merasa ada kesan misterius dibalik sikap tenangnya. Seakan memang beliau mengetahui sesuatu.

“Saya bisa laporin Bapak ke polisi! Mendingan sekarang Bapak ngaku!” sahutnya.

Kulo mboten merasa melakukan tindak-tanduk seperti yang panjenengan tuduhkan,” gumamnya, santai. “Nanti malah panjenengan yang merepotkan diri sendiri.”

Samara sontak membanting apa saja yang dapat di raihnya. Barang-barang perintilan pada rak lemari kayu di buang ke lantai. Emosinya yang berapi-api memuncak hebat.

Bapak-bapak itu tak terkejut menyaksikan amukan Samara. Bahkan suara-suara pecahan barang tak nampak menganggunya sama sekali. Sikapnya yang begitu tenang semakin membuat Samara curiga terhadapnya.

Tiba-tiba saja, beliau beranjak untuk berdiri berhadapan dengannya. Barulah Samara berhenti membuang tumpukan buku dan patung-patung kuda yang dipecahkannya.

Beliau menyalakan pemantik api di ruang yang gelap ini. Lalu beliau berujar, “Seperti pemantik ini, terangnya redup saat dimatikan—”

Jari jempolnya menekan pemantik, menghidupkannya dan mematikannya beberapa kali. Lalu ia mengistirahatkan kedua tangan di belakang sambil menatapnya tak berkedip.

“Begitu juga dengan keberadaan kebenaran,” suaranya terdengar berwibawa. “Terangnya bergantung pada kegelapan nan suram.”

Samara mendesah kesal dan setengah menggeleng bingung.

“Dengan kata lain; cahaya kebenaran hanya dapat ditemukan dalam gelapnya irama kehidupan. Ada hikmah dibalik tiap jalinan kisah para makhluk sang Khalik.”

“Ke… kenapa Bapak ngomong, seolah-olah tahu apa yang terjadi sama Ibuku dan aku? Memangnya Bapak ini siapa?!” labraknya, geram.

Mboten siapa-siapa yang harus dipusingkan oleh panjenengan,” ujarnya, kembali tersenyum lembut.

Samara hendak mendebat, namun pikirannya terlalu kacau. Ada banyak gerutu batin yang saling bersahutan, membuatnya mendadak jadi orang linglung.

Saat itulah beliau menasihatinya, “Pulanglah. Tenangkan hati. Semua akan berjalan sesuai kehendak Gusti Allah.”

Samara hanya dapat memendam amarahnya. Sungguh tak berguna mendebat orang asing yang tak dikenalnya. Belum tentu beliau dalang atas berita kematian ibunya. Pikirannya hanya meracau gila sedari tadi.

Namun satu hal…

Jika memang ibunya telah tiada; apakah ini mimpi buruk yang menjadi nyata?

 

[1] “Punapi leres pawarta punika”: Apakah berita itu benar? (Krama Inggil)

[2] “Aduh, kados pundi meniko? Raosipun dalem mboten percados bilih panjenengan dalem enggal sanget kapundut ipun”: Aduh, bagaimana ini? Rasanya saya tidak percaya beliau meninggal secepat ini. (Krama Inggil)

[3] Woro-woro: pengumuman.

[4] Gusti Allah, kulo nyuwun pangapuro: Ya Allah, saya meminta maaf. (Krama Madya)

[5] Puniku amargi: itu karena (Krama Madya)

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
KESEMPATAN PERTAMA
546      378     4     
Short Story
Dan, hari ini berakhir dengan air mata. Namun, semua belum terlambat. Masih ada hari esok...
Hidden Path
6013      1592     7     
Mystery
Seorang reporter berdarah campuran Korea Indonesia, bernama Lee Hana menemukan sebuah keanehan di tempat tinggal barunya. Ia yang terjebak, mau tidak mau harus melakukan sebuah misi 'gila' mengubah takdirnya melalui perjalanan waktu demi menyelamatkan dirinya dan orang yang disayanginya. Dengan dibantu Arjuna, seorang detektif muda yang kompeten, ia ternyata menemukan fakta lainnya yang berkaita...
The Twins
4602      1606     2     
Romance
Syakilla adalah gadis cupu yang menjadi siswa baru di sekolah favorit ternama di Jakarta , bertemu dengan Syailla Gadis tomboy nan pemberani . Mereka menjalin hubungan persahabatan yang sangat erat . Tapi tak ada yang menyadari bahwa mereka sangat mirip atau bisa dikata kembar , apakah ada rahasia dibalik kemiripan mereka ? Dan apakah persahabatan mereka akan terus terjaga ketika mereka sama ...
In Her Place
1358      821     21     
Mystery
Rei hanya ingin menyampaikan kebenaran—bahwa Ema, gadis yang wajahnya sangat mirip dengannya, telah dibunuh. Namun, niat baiknya disalahartikan. Keluarga Ema mengira Rei mengalami trauma dan membawanya pulang, yakin bahwa dia adalah Ema yang hilang. Terjebak dalam kesalahpahaman dan godaan kehidupan mewah, Rei memilih untuk tetap diam dan menjalani peran barunya sebagai putri keluarga konglomer...
Kebudayaan Harus Tetap Terjaga
494      358     2     
Short Story
Jati Diri Suatu Bangsa Dapat Dilihat Dari Kebudayaan Masyarakat Mereka, Maka Lestarikanlah Kebudayaan Bangsa Kita.
When the Winter Comes
61507      8307     124     
Mystery
Pertemuan Eun-Hye dengan Hyun-Shik mengingatkannya kembali pada trauma masa lalu yang menghancurkan hidupnya. Pemuda itu seakan mengisi kekosongan hatinya karena kepergian Ji-Hyun. Perlahan semua ini membawanya pada takdir yang menguak misteri kematian kedua kakaknya.
Trust Me
84      75     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Shane's Story
2646      1034     1     
Romance
Shane memulai kehidupan barunya dengan mengubur masalalunya dalam-dalam dan berusaha menyembunyikannya dari semua orang, termasuk Sea. Dan ketika masalalunya mulai datang menghadangnya ditengah jalan, apa yang akan dilakukannya? apakah dia akan lari lagi?
Trip
967      487     1     
Fantasy
Sebuah liburan idealnya dengan bersantai, bersenang-senang. Lalu apa yang sedang aku lakukan sekarang? Berlari dan ketakutan. Apa itu juga bagian dari liburan?
Ansos and Kokuhaku
3563      1152     9     
Romance
Kehidupan ansos, ketika seorang ditanyai bagaimana kehidupan seorang ansos, pasti akan menjawab; Suram, tak memiliki teman, sangat menyedihkan, dan lain-lain. Tentu saja kata-kata itu sering kali di dengar dari mulut masyarakat, ya kan. Bukankah itu sangat membosankan. Kalau begitu, pernah kah kalian mendengar kehidupan ansos yang satu ini... Kiki yang seorang remaja laki-laki, yang belu...