Samar-samar terdengar alunan tembang kuno Jawa dari kejauhan. Udara panas mengisi ruangan nan gelap. Keringat mulai mengucur pada dahi gadis pucat yang berdiri di depan cermin perak. Penglihatannya remang-remang. Tangannya menelusuri apa saja yang ada di atas meja kayu. Diangkatnya cawan perak dari atas meja. Dibawanya cawan mungil itu mendekati cermin. Terlihatlah ukiran-ukiran lekuk bunga pada cawan kosong itu.
Samara…
Saat seseorang membisikkan namanya, ia menengok ke belakang. Namun pandangannya masih kabur. Segalanya nampak tak jelas. Ia kesulitan untuk memahami apa yang tengah terjadi.
Samara…
Suara wanita itu terdengar tak asing. Bahkan ia amat sangat mengenalinya.
“Ibu?” gumamnya sambil memincingkan mata.
Dengan berhati-hati ia melangkah maju ke tengah ruangan yang nampak seperti rumah kuno Jawa itu. Ketika berhenti melangkah, terdengarlah lagi suara halus ibunya.
Ibu akan selalu menyayangimu…
“Ibu di mana?!” sahutnya, mulai panik. “Samara enggak bisa lihat Ibu!”
Kamu adalah hal paling berharga. Ibu harus melindungimu…
Nafasnya terengah-engah. Tubuhnya bergemetar. Udara semakin memanas. Segera ia berseru, “Ibu! Tolong! Samara takut di sini—”
Seketika ia terkesiap mendapati lumuran darah memadati lantai kayu di hadapannya. Ia kebingungan apa yang sebenarnya tengah terjadi.
Ketika melangkah mundur, sesuatu ditabraknya. Sungguh terkejut bukan main kala ia mendapati ada mangkuk-mangkuk berisi sesajen dan bangkai hewan-hewan berkulit hitam. Matanya membelalak. Degup jantungnya berpacu resah.
Entah mengapa perhatiannya ingin mendekati pecahan tiga cermin dan cawan perak yang muncul di antara sesajen itu. Belum sampai ia meraih pecahan-pecahan cermin itu, mendadak tembang-tembang di latar terdengar semakin jelas. Sekujur tubuhnya bergidik ngeri kala mendengar lantunan syair mistisnya. Bagai teror malam yang tengah mendatanginya.
Sing kuat, sing nerimo.
Sing kuat, sing membawa.
Sing kuat, sing mewarisi.