Loading...
Logo TinLit
Read Story - Late Night Butterfly
MENU
About Us  

Di tengah hamparan dunia yang dibalut kesuraman membiru, seorang gadis muda bernama Rebecca berdiri, telapak kakinya menyentuh dinginnya jalan bebatuan. Di sekitarnya, bunga-bunga bermekaran, mewarnai lanskap dengan semburat ungu yang lembut. Rambut yang semula ia ikat kini terurai, bertarian mengikuti irama angin, seolah menjadi bagian dari dansa bebungaan nan indah.

Mata yang sewarna biru permata mencerminkan langit muram di atasnya, mengisyaratkan kedalaman emosi yang terpendam. Di tengah keheningan, tangan mungilnya memegang sebungkus permen karet, dengan penuh konsentrasi ditiupnya hingga menjadi gelembung besar berwarna biru muda. Lalu, pop! Meletup nan membaur dengan kontras suasana sepi.

Letupan permen karet itu memercikkan kilauan cair seperti serpihan mimpi yang pudar. Pikirannya meniada, menyeberang ke suatu hamparan lamunan yang penuh sesak akan sumpah serapahnya sendiri. Mengurung dunia ke dalam bayang-bayang amarah tak terperi, Rebecca memetik lavender yang bermekaran di taman itu, terngiang bagaimana wewangian bunga tersebut yang merembah dengan lembutnya menawarkan aroma musim semi yang menenangkan.

Hirupan dalam-dalam pada bunga itu membuatnya hanyut pada ketidakstabilan pikirannya sendiri, “Jika hari ini turun hujan, aku bersumpah untuk membalas dendam.”

Meremat bunga lavender dan menginjak sesuatu yang ada tepat di bawah kakinya, ia melangkah menuju ke tengah taman. Di sana, seorang perempuan seumurannya berdiri menunggu, sorot matanya yang lembut tidak teralihkan dari hamparan lavender yang beriak hingga ke ujung pandangan. “Bahkan kau pun tak akan tinggal diam jika melihat semua hal beralun di depanmu, kan, Hahnemann?”

Langkah Rebecca semakin cepat, hatinya bergolak antara marah dan kecewa. “Aku jauh lebih tahu daripada dirimu, Amigdala!” serunya, memotong ketenangan malam dengan nada penuh tuntutan. Di bawah sinar rembulan, mata birunya menyala, memperlihatkan api amarah yang tersulut oleh ketidakpuasan.

Amigdala, sang Dewi Lavender, memandangnya dengan mata kosong yang rapuh, seolah-olah dirinya hanyalah bayangan dari sesuatu yang pernah ada. “Begitu penuh dengan dendam, Hahnemann yang berpengetahuan,” ujar Amigdala, suara hampa itu seakan berasal dari dunia yang jauh, dunia yang perlahan-lahan mulai melupakan keberadaannya.

“Enyahlah saja, Amigdala. Kau terlalu lama bermain-main dengan manusia, bahkan kau sendiri lupa bahwa kau bukanlah bagian dari kami!” Rebecca bersikukuh, suaranya menggema dalam kesunyian taman, menembus hingga ke daun dan kuncup yang kini tersentak mendengarnya.

Amigdala hanya tersenyum kecil, jemari pucatnya menyentuh lembut untaian lavender yang segera bermekaran dalam tangannya. Sentuhannya membuat bunga-bunga itu seakan hidup, menyeruak dengan keindahan yang memikat, namun penuh dengan kesedihan yang tak terucap. “Hahnemann, hari ini tidak turun hujan, maka urungkanlah niatmu membalas dendam. Simpan semuanya hingga suatu saat dirimu menginginkan kedamaian datang di saat sempurna,” katanya, suara yang begitu lembut namun penuh dengan otoritas seorang yang mengetahui batas antara takdir dan kehendak.

Namun, Rebecca hanya bisa menggertakkan giginya, frustrasi mengalir dalam dirinya karena tak bisa mewujudkan apa yang sangat ingin ia lakukan. Angin malam membawa serta harapannya, namun menahannya di ambang kenyataan yang belum tiba.

“Jika kau ingin,” lanjut Amigdala, matanya memancarkan cahaya emas yang berkilauan, “tepat di saat hujan pertama turun di bulan ini, hujamlah ia dengan sepenuh kemauanmu. Tepat di saat hujan pertama turun, Rebecca.”

Rebecca menatap tajam ke arah Amigdala, tekadnya semakin bulat. “Dan tepat di saat hujan pertama itu, seluruh bunga lavender yang kau cintai ini akan menjadi buket untuk mengiringi kepergianmu, Amigdala,” jawabnya, memastikan dengan suara yang menggetarkan. “Kau dapati itu akan terjadi dengan sekejap.”

Dalam keheningan yang kembali merayap, janji yang terucap malam itu mengunci takdir mereka dalam sebuah lingkaran yang tak terelakkan. Rembulan terus memandikan taman dengan cahayanya yang lembut, sementara di antara bebungaan yang bermekaran, dendam dan nasib telah dituliskan dalam bisikan-bisikan malam.

.

Pagi menjemput Akademi Violetis, tak seperti biasanya, hari ini Rebecca akan mengawali ritual sakral yang berlangsung sepanjang tahunnya di lembaga pendidikan bergengsi itu,  Pemurnian. Para murid, dengan gaya hidup yang menganut estetika penuh keanggunan, berarakan melalui pintu masuk museum yang megah—katakanlah mereka mengenakan pakaian formal nan memukau. Para lelaki berbalut setelan jas dan dasi berwarna ungu, sementara para perempuan berlenggok dalam mantel elegan sewarna laveneder dengan memakai sepatu hak tinggi, berjalan di atas jalan yang tersusun dari bebatuan koral.

Fasad museum yang agung berdiri menjulang, dihiasi dengan patung-patung estetik bergaya Era Victoria—berjejar rapi, seolah mengawasi setiap insan yang melangkah melintasi mereka. Pintu utama seukuran raksasa yang melengkung megah, bermandikan cahaya hangat matahari yang sesekali menerobos dari balik mendung, menjadi gerbang ruangabn agung penuh pengetahuan itu. Jalan berbatu koral yang mengarah ke museum diapit oleh halaman rumput dan pohon-pohon tinggi berdaun lebat, begitu terawat. Sekolah elitis ini seperti ingin menciptakan penggambaran tentang renaisans, perjalanan dari gelap menuju terang.

Di sinilah kita saat ini, membersamai Rebecca yang tengah berdiri, ia tampak seperti murid lainnya—namun, tetap berbeda, ia tetap dapat dibedakan oleh orang awam sekalipun. Pakaian formal yang ia kenakan tidak mampu menyembunyikan aura mistis yang selalu mengekonya. Sewarna biru, memantulkan cahaya berkat sedikitnya pigmen yang kurang dari matanya, ia menatap lurus ke depan dengan mengabaikan pandangan sinis dari beberapa murid yang melewatinya. Termasuk di antara mereka adalah Meagan Rully, wakil ketua kelas Rebecca, yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk menunjukkan rasa jijiknya. “Gadis aneh,” gumam Meagan dengan nada mengejek saat berlalu, suaranya penuh dengan penghinaan. Sebuah ucapan yang telah menjadi bagian dari keseharian Rebecca di akademi ini, sebuah stigma yang ia pikul sejak hari pertama menjejakkan kakinya di sana.

Ejekan hanya melewati telinga Rebecca, tanpa meninggalkan bekas seperti sakit hati. Baginya, yang lebih penting adalah bagaimana ia menyelesaikan Pemurnian. Pertama, ia harus menemui Amigdala sebelum tengah hari, saat ketika langit di atas akademi akan menumpahkan hujan pertamanya. Rebecca tahu persis karena alarm cuaca di ponselnya telah memberikan peringatan, menandakan waktu yang semakin mendekat, semakin memberikan ruang agar hujan turun menapaki bumi untuk pertama kalinya setelah beberapa pekan ini, mendesaknya untuk bergerak lebih cepat.

Dengan tangan yang menggenggam erat tas tenis berbentuk tabung berwarna hitam, yang ia kenakan selayaknya sebuah selempang, Rebecca mulai melangkah menuju tujuannya. Jam raksasa yang berdiri kokoh di tengah alun-alun berdenting, suaranya mengingatkan setiap penghuni akademi bahwa waktu tidak pernah berpihak kepada siapa pun. Detik berlalu dan menjadi menit, Rebecca tahu bahwa setiap langkahnya tidak boleh menjadi sia-sia.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Flashdisk
484      321     2     
Short Story
Ada yang aneh dengan flashdiskku. Semuanya terjadi begitu saja. Aneh. Lalat itu tiba-tiba muncul dan bergerak liar pada layar laptopku, semuanya terasa cepat. Hingga kuku pada semua jariku lepas dengan sendirinya, seperti terpotong namun dengan bentuk yang tak beraturan. Ah, wajahku! Astaga apalagi ini?
The watchers other world
1995      825     2     
Fantasy
6 orang pelajar SMA terseret sebuah lingkarang sihir pemanggil ke dunia lain, 5 dari 6 orang pelajar itu memiliki tittle Hero dalam status mereka, namun 1 orang pelajar yang tersisa mendapatkan gelar lain yaitu observer (pengamat). 1 pelajar yang tersisih itu bernama rendi orang yang suka menyendiri dan senang belajar banyak hal. dia memutuskan untuk meninggalkan 5 orang teman sekelasnya yang ber...
Different World
991      505     0     
Fantasy
Melody, seorang gadis biasa yang terdampar di dunia yang tak dikenalnya. Berkutat dengan segala peraturan baru yang mengikat membuat kesehariannya penuh dengan tanda tanya. Hal yang paling diinginkannya setelah terdampar adalah kembali ke dunianya. Namun, ditengah usaha untuk kembali ia menguak rahasia antar dunia.
Putaran Waktu
969      610     6     
Horror
Saga adalah ketua panitia "MAKRAB", sedangkan Uniq merupakan mahasiswa baru di Universitas Ganesha. Saat jam menunjuk angka 23.59 malam, secara tiba-tiba keduanya melintasi ruang dan waktu ke tahun 2023. Peristiwa ini terjadi saat mereka mengadakan acara makrab di sebuah penginapan. Tempat itu bernama "Rumah Putih" yang ternyata sebuah rumah untuk anak-anak "spesial". Keanehan terjadi saat Saga b...
Mic Drop
778      464     4     
Fan Fiction
Serana hanya ingin pulang. Namun, suara masa lalu terus menerus memanggilnya, dan tujuh hati yang hancur menunggu untuk disatukan. Dalam perjalanan mencari mic yang hilang, ia menemukan makna kehilangan, harapan, dan juga dirinya sendiri. #bangtansonyeondan #bts #micdrop #fanfiction #fiction #fiksipenggemar #fantasy
Mawar Milik Siska
540      295     2     
Short Story
Bulan masih Januari saat ada pesan masuk di sosial media Siska. Happy valentine's day, Siska! Siska pikir mungkin orang aneh, atau temannya yang iseng, sebelum serangkaian teror datang menghantui Siska. Sebuah teror yang berasal dari masa lalu.
MALAM DALAM PELUKAN
640      461     3     
Humor
Apakah warna cinta, merah seperti kilauannya ataukah gelap seperti kehilangannya ?
Dominion
222      179     4     
Action
Zayne Arkana—atau yang kerap dipanggil Babi oleh para penyiksanya—telah lama hidup dalam bayang-bayang ketakutan. Perundungan, hinaan, dan pukulan adalah makanan sehari-hari, mengikis perlahan sisa harapannya. Ia ingin melawan, tapi dunia seolah menertawakan kelemahannya. Hingga malam itu tiba. Seorang preman menghadangnya di jalan pulang, dan dalam kepanikan, Zay merenggut nyawa untuk p...
Puncak Mahiya
600      437     4     
Short Story
Hanya cerita fiktif, mohon maaf apabila ada kesamaan nama tempat dan tokoh. Cerita bermula ketika tria dan rai mengikuti acara perkemahan dari sekolahnya, tria sangat suka ketika melihat matahari terbit dan terbenam dari puncak gunung tetapi semua itu terhalang ketika ada sebuah mitos.
Rasa yang tersapu harap
10411      2204     7     
Romance
Leanandra Kavinta atau yang biasa dipanggil Andra. Gadis receh yang mempunyai sahabat seperjuangan. Selalu bersama setiap ada waktu untuk melakukan kegiatan yang penting maupun tidak penting sama sekali. Darpa Gravila, cowok sederhana, tidak begitu tampan, tidak begitu kaya, dia cuma sekadar cowok baik yang menjaganya setiap sedang bersama. Cowok yang menjadi alasan Andra bertahan diketidakp...