Di tengah hamparan dunia yang dibalut kesuraman membiru, seorang gadis muda bernama Rebecca berdiri, telapak kakinya menyentuh dinginnya jalan bebatuan. Di sekitarnya, bunga-bunga bermekaran, mewarnai lanskap dengan semburat ungu yang lembut. Rambut yang semula ia ikat kini terurai, bertarian mengikuti irama angin, seolah menjadi bagian dari dansa bebungaan nan indah.
Mata yang sewarna biru permata mencerminkan langit muram di atasnya, mengisyaratkan kedalaman emosi yang terpendam. Di tengah keheningan, tangan mungilnya memegang sebungkus permen karet, dengan penuh konsentrasi ditiupnya hingga menjadi gelembung besar berwarna biru muda. Lalu, pop! Meletup nan membaur dengan kontras suasana sepi.
Letupan permen karet itu memercikkan kilauan cair seperti serpihan mimpi yang pudar. Pikirannya meniada, menyeberang ke suatu hamparan lamunan yang penuh sesak akan sumpah serapahnya sendiri. Mengurung dunia ke dalam bayang-bayang amarah tak terperi, Rebecca memetik lavender yang bermekaran di taman itu, terngiang bagaimana wewangian bunga tersebut yang merembah dengan lembutnya menawarkan aroma musim semi yang menenangkan.
Hirupan dalam-dalam pada bunga itu membuatnya hanyut pada ketidakstabilan pikirannya sendiri, “Jika hari ini turun hujan, aku bersumpah untuk membalas dendam.”
Meremat bunga lavender dan menginjak sesuatu yang ada tepat di bawah kakinya, ia melangkah menuju ke tengah taman. Di sana, seorang perempuan seumurannya berdiri menunggu, sorot matanya yang lembut tidak teralihkan dari hamparan lavender yang beriak hingga ke ujung pandangan. “Bahkan kau pun tak akan tinggal diam jika melihat semua hal beralun di depanmu, kan, Hahnemann?”
Langkah Rebecca semakin cepat, hatinya bergolak antara marah dan kecewa. “Aku jauh lebih tahu daripada dirimu, Amigdala!” serunya, memotong ketenangan malam dengan nada penuh tuntutan. Di bawah sinar rembulan, mata birunya menyala, memperlihatkan api amarah yang tersulut oleh ketidakpuasan.
Amigdala, sang Dewi Lavender, memandangnya dengan mata kosong yang rapuh, seolah-olah dirinya hanyalah bayangan dari sesuatu yang pernah ada. “Begitu penuh dengan dendam, Hahnemann yang berpengetahuan,” ujar Amigdala, suara hampa itu seakan berasal dari dunia yang jauh, dunia yang perlahan-lahan mulai melupakan keberadaannya.
“Enyahlah saja, Amigdala. Kau terlalu lama bermain-main dengan manusia, bahkan kau sendiri lupa bahwa kau bukanlah bagian dari kami!” Rebecca bersikukuh, suaranya menggema dalam kesunyian taman, menembus hingga ke daun dan kuncup yang kini tersentak mendengarnya.
Amigdala hanya tersenyum kecil, jemari pucatnya menyentuh lembut untaian lavender yang segera bermekaran dalam tangannya. Sentuhannya membuat bunga-bunga itu seakan hidup, menyeruak dengan keindahan yang memikat, namun penuh dengan kesedihan yang tak terucap. “Hahnemann, hari ini tidak turun hujan, maka urungkanlah niatmu membalas dendam. Simpan semuanya hingga suatu saat dirimu menginginkan kedamaian datang di saat sempurna,” katanya, suara yang begitu lembut namun penuh dengan otoritas seorang yang mengetahui batas antara takdir dan kehendak.
Namun, Rebecca hanya bisa menggertakkan giginya, frustrasi mengalir dalam dirinya karena tak bisa mewujudkan apa yang sangat ingin ia lakukan. Angin malam membawa serta harapannya, namun menahannya di ambang kenyataan yang belum tiba.
“Jika kau ingin,” lanjut Amigdala, matanya memancarkan cahaya emas yang berkilauan, “tepat di saat hujan pertama turun di bulan ini, hujamlah ia dengan sepenuh kemauanmu. Tepat di saat hujan pertama turun, Rebecca.”
Rebecca menatap tajam ke arah Amigdala, tekadnya semakin bulat. “Dan tepat di saat hujan pertama itu, seluruh bunga lavender yang kau cintai ini akan menjadi buket untuk mengiringi kepergianmu, Amigdala,” jawabnya, memastikan dengan suara yang menggetarkan. “Kau dapati itu akan terjadi dengan sekejap.”
Dalam keheningan yang kembali merayap, janji yang terucap malam itu mengunci takdir mereka dalam sebuah lingkaran yang tak terelakkan. Rembulan terus memandikan taman dengan cahayanya yang lembut, sementara di antara bebungaan yang bermekaran, dendam dan nasib telah dituliskan dalam bisikan-bisikan malam.
.
Pagi menjemput Akademi Violetis, tak seperti biasanya, hari ini Rebecca akan mengawali ritual sakral yang berlangsung sepanjang tahunnya di lembaga pendidikan bergengsi itu, Pemurnian. Para murid, dengan gaya hidup yang menganut estetika penuh keanggunan, berarakan melalui pintu masuk museum yang megah—katakanlah mereka mengenakan pakaian formal nan memukau. Para lelaki berbalut setelan jas dan dasi berwarna ungu, sementara para perempuan berlenggok dalam mantel elegan sewarna laveneder dengan memakai sepatu hak tinggi, berjalan di atas jalan yang tersusun dari bebatuan koral.
Fasad museum yang agung berdiri menjulang, dihiasi dengan patung-patung estetik bergaya Era Victoria—berjejar rapi, seolah mengawasi setiap insan yang melangkah melintasi mereka. Pintu utama seukuran raksasa yang melengkung megah, bermandikan cahaya hangat matahari yang sesekali menerobos dari balik mendung, menjadi gerbang ruangabn agung penuh pengetahuan itu. Jalan berbatu koral yang mengarah ke museum diapit oleh halaman rumput dan pohon-pohon tinggi berdaun lebat, begitu terawat. Sekolah elitis ini seperti ingin menciptakan penggambaran tentang renaisans, perjalanan dari gelap menuju terang.
Di sinilah kita saat ini, membersamai Rebecca yang tengah berdiri, ia tampak seperti murid lainnya—namun, tetap berbeda, ia tetap dapat dibedakan oleh orang awam sekalipun. Pakaian formal yang ia kenakan tidak mampu menyembunyikan aura mistis yang selalu mengekonya. Sewarna biru, memantulkan cahaya berkat sedikitnya pigmen yang kurang dari matanya, ia menatap lurus ke depan dengan mengabaikan pandangan sinis dari beberapa murid yang melewatinya. Termasuk di antara mereka adalah Meagan Rully, wakil ketua kelas Rebecca, yang tak pernah melewatkan kesempatan untuk menunjukkan rasa jijiknya. “Gadis aneh,” gumam Meagan dengan nada mengejek saat berlalu, suaranya penuh dengan penghinaan. Sebuah ucapan yang telah menjadi bagian dari keseharian Rebecca di akademi ini, sebuah stigma yang ia pikul sejak hari pertama menjejakkan kakinya di sana.
Ejekan hanya melewati telinga Rebecca, tanpa meninggalkan bekas seperti sakit hati. Baginya, yang lebih penting adalah bagaimana ia menyelesaikan Pemurnian. Pertama, ia harus menemui Amigdala sebelum tengah hari, saat ketika langit di atas akademi akan menumpahkan hujan pertamanya. Rebecca tahu persis karena alarm cuaca di ponselnya telah memberikan peringatan, menandakan waktu yang semakin mendekat, semakin memberikan ruang agar hujan turun menapaki bumi untuk pertama kalinya setelah beberapa pekan ini, mendesaknya untuk bergerak lebih cepat.
Dengan tangan yang menggenggam erat tas tenis berbentuk tabung berwarna hitam, yang ia kenakan selayaknya sebuah selempang, Rebecca mulai melangkah menuju tujuannya. Jam raksasa yang berdiri kokoh di tengah alun-alun berdenting, suaranya mengingatkan setiap penghuni akademi bahwa waktu tidak pernah berpihak kepada siapa pun. Detik berlalu dan menjadi menit, Rebecca tahu bahwa setiap langkahnya tidak boleh menjadi sia-sia.