POHON-POHON cemara yang ada di sekelilingku tertutup salju. Wujudnya seperti bunga kapas lembut yang dingin dan rapuh. Belum lagi langit biru gelap dengan secercah cahaya kekuningan mulai menyinari pohon cemara yang ada di sekelilingku, menambah kesan menakjubkan ketika cahayanya perlahan mulai menyentuh salju di puncak pohon cemara.
Aku mengembuskan napas, membuat uap hangat keluar dari dalam mulutku. Aku juga mengeratkan syal merah muda yang baru kuselesaikan semalam. Mencoba melindungiku dari rasa dingin yang ada di sekeliling.
Lana juga ada di sini, berjalan di sampingku. Bulunya yang merah dan lembut tampak menggoda. Aku jadi ingin memeluknya. Namun, ketibaanku ke tempat ini mengharuskan diriku untuk fokus dan mengingat tujuan kami.
"Kakak yakin ini ide yang bagus? Ibu, Nenek, dan Bibi Oan memang ingin kita memancing ikan, tapi ... bukankah yang seharusnya melakukan ini adalah Kak Nahla?" Dapna bertanya seolah menghancurkan keheningan absolut yang terjadi di hutan bersalju ini—mungkin kecuali kaki-kaki kami yang terus berbunyi karena menginjak salju setebal mata kaki.
Dapna membetulkan tali tas keranjang anyaman yang ada di punggungnya. Juga busur yang diselempangkan di tubuhnya yang mungil. Aku juga melakukan hal yang sama setelah dirasa posisi busur yang aku selempangkan kurang nyaman.
Baik aku maupun Dapna, sama-sama memakai tas anyaman dengan isi yang nyaris sama. Sepasang sepatu es, tas panahan dan sepuluh anak panah, dan joran kayu. Bedanya di dalam tas anyamanku, terdapat lima benda tambahan seperti, gergaji, alat pencapit es, dua bangku kayu kecil, sekantung belatung, dan tombak lipat.
"Dia sangat ahli dalam memancing." Dapna menambahkan.
Melihat Dapna yang selalu berbicara terus terang, membuatku selalu teringat dengan Kak Nahla yang juga memiliki perawakan yang sama.
Beberapa hari setelah Kak Nahla mempertanyakan makhluk yang bernama laki-laki itu, dia jadi tidak secerewet biasanya. Dia kembali bekerja seperti biasa, membantu Nenek, Ibu, dan Bibi Oan, dan dia tidak membicarakan makhluk yang bernama laki-laki itu lagi—karena biasanya, dia akan tetap membicarakan dan menanyakan apa yang menurutnya belum tuntas.
Kak Nahla memiliki keingintahuan yang mengerikan, dan sekarang, aku merasa keingintahuannya sudah tumpul berkat ceramah atau nasihat yang diberikan tiga orang yang paling kuat di keluarga kami.
Kami selaku anggota keluarga yang paling muda—maksudku, aku, Ria si anak keempat, dan Dapna si bungsu—memutuskan untuk tidak bertanya atau membicarakannya. Kami bertiga tidak ingin masuk ke ruang sidang, diberi nasihat atau ceramah, yang berakhir diberi hukuman pekerjaan rumah lebih. Kami memutuskan menjalani hari seperti biasa, meski bohong kalau sebenarnya aku masih penasaran dengan makhluk yang bernama laki-laki ini.
"Astaga, Dapna, aku juga ahli dalam memancing, jadi tidak usah khawatir. Kalau Kak Nahla memancing dan dapat ikan di tempat lain, itu juga bagus, 'kan? Artinya, stok makanan kita jadi bertambah." Aku berucap dengan optimis dan sok keren. Mengenyahkan pikiranku tentang Kak Nahla dan tentang makhluk yang bernama laki-laki.
Dapna menghela napas. "Kalau sudah begini, kenapa kita tidak mengajak Kak Nahla saja?"
"Bukankah tadi juga kau sudah melihatnya sendiri, kalau Kak Nahla sedang sibuk membantu Nenek membersihkan rumah? Sudah, biarkan saja, nanti juga dia menyusul, kok." Aku berkata santai berusaha meyakinkannya. Toh, Kak Nahla juga tahu tempat yang akan kami tuju.
Dapna menghela napas lagi. Seolah-olah aku bukanlah tipikal seorang kakak yang bisa dipercaya.
Ya, harus kuakui, aku memang ceroboh dan tidak pintar, tetapi Ibu bilang, aku memiliki keahlian yang menurutnya bagus dan amat berguna. Aku pandai memanah dan berburu—keahlian wajib yang harus dimiliki oleh suku kami—punya tingkat keingintahuan yang tinggi (seperti Kak Nahla), dan mengerti bahasa Lana. Di antara semua anggota keluarga, hanya aku dan Ria yang mengerti Lana. Alasannya tidak lain dan tidak bukan karena kami amat dekat dengannya.
Aku dan Dapna berjalan dalam keheningan. Lagi-lagi hanya suara kaki yang menemani, sampai akhirnya kami berdua merasakan sesuatu yang mencurigakan.
Kami tidak merasakan keberadaan Lana.
Aku langsung menoleh ke belakang, dan aku lega karena Lana tidak jauh dari kami. Kira-kira, jarak antara kami dan Lana sekitar tiga meter.
Kami melihat Lana berdiri dengan kedua kaki belakangnya. Kepalanya terangkat menoleh ke sana-kemari, memperlihatkan moncongnya, seperti sedang mencari sesuatu. Hidungnya pun kembang-kempis, seperti sedang mengendus.
Aku dan Dapna menghampirinya, dan aku langsung melontarkan pertanyaan setelah dirasa kami sudah mempersempit jarak.
"Lana, ada apa?"
Lana langsung berdiri seperti sedia kala, dengan empat kakinya begitu aku bertanya. Mata emasnya yang menawan menatapku. Dia bersuara, ek-ek-ek yang maksudnya, seperti ada orang yang memanggilnya, tetapi dia tidak tahu siapa.
Aku mengangguk paham. "Tidak apa-apa, Lana, mungkin hanya perasaanmu saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan kita."
Perjalanan kami pun dilanjutkan. Aku bisa saja menunggangi Lana, tetapi setelah tahu ia hamil, aku jadi tidak berani melakukan atau memintanya. Aku juga paham betul, ia pasti akan menghindar jika aku minta ditunggangi.
Dapna pun sama.