"BENARKAH?" Nenek bertanya dengan mata berkilat binar. Mengabaikan Kak Nahla yang saat itu sedang mengelap lantai kayu. Membereskan kekacauan yang sudah dia perbuat; melatih kekuatan penyegelnya dengan menggunakan ikan hidup sebagai medianya. Meski kadang, ikan itu akan melompat menjauh setelah Kak Nahla gagal menyegelnya.
Sebagai orang yang menyampaikan informasi tersebut, Ria pun mengangguk dengan tersenyum lembut.
Nenek melanjutkan, sambil mengangkat kedua tangannya. "Oh, itu bagus sekali, semoga Dewi Arghi terus melimpahkan berkahnya kepada kita."
Aku kembali lagi ke ruang tengah setelah selesai mengambil selimut lagi di ruang tidur. Aku juga bersin sesekali, kemudian menggosok-gosokan hidungku.
Kepulangan kami disambut Ibu. Ibu langsung kaget ketika melihat wajahku hitam berlumuran gas kentut jamur mitamita. Belum lagi hidungku yang merah karena bersin di sepanjang jalan, membuatku tampak seperti Milotou—iblis kecil dalam mitos Glacier.
Ibu langsung menyuruhku masuk saat itu juga. Dia langsung menyiapkan air panas dan ekstrak akar-akar sabun untuk membersihkan rambutku yang panjang. Aku berendam wewangian bunga buatan Ibu bersama Ria. Ibu yang membantuku membersihkan rambut sambil sesekali menggosokkannya. Dia mengeluh kenapa aku selalu ceroboh saat musim dingin. Aku tidak merespons ketika dia bilang begitu, karena aku sendiri pun tidak tahu kenapa bisa ceroboh begini.
"Hatchi!" Aku bersin lagi. Kali ini dengan siku sebagai penutup mulut.
"Semoga Dewi Arghi memberkatimu, Nila." Kak Tallu tiba-tiba datang dari belakangku. Menepuk pundakku dengan amat lembut.
Aku mengangguk. Mataku sayu dengan suara lemas karena lelah sudah bersin berkali-kali. "Terima kasih, Kak."
Kak Tallu mengangguk, kemudian menghampiri api yang ada di tengah ruangan. Aku juga berjalan ke arah api itu, duduk di depannya, menyelimuti diri dengan dua selimut, mengambil jarum, benang, dan syal merah muda setengah jadi yang ada di keranjang anyaman. Aku sudah menyiapkan semua ini sedari tadi sebelum aku mengambil selimut lagi di ruang tidur.
Punggungku berat oleh dua selimut. Rambutku juga tertutup, digulung dengan kain putih tebal sehingga tampak membulat dan besar.
Aku, Nenek, Bibi Oan, Kak Tallu, Ria, dan Dapna berkumpul mengelilingi api unggun di ruang tengah. Sibuk dengan pekerjaan masing-masing.
Aku merajut, Nenek menjahit—memperbaiki beberapa pakaiannya yang sobek dan bolong—Bibi Oan sibuk menganyam (membuat alas makan), Kak Tallu menjahit baju untuk bayinya, Ria menumbuk teh di mangkuk kayu, dan Dapna menyisir rambut panjangnya dengan wajah kusut.
Hanya Ibu dan Kak Nahla yang tidak ada di sini.
Ibu pergi ke ruang penyimpanan makanan yang ada di sebelah kiriku, mengambil semangkuk buah beri untuk Lana yang sedang tidur.
Omong-omong, Lana ada di depan kami. Tertidur, beralaskan lantai tanah keras. Itu bagian dapur. Biasa kami pakai untuk membuat berbagai makanan porsi besar dan kue-kue basah dan kering.
Selain Lana, Kak Nahla juga ada di sana, sedang mengisi panci dengan dua gayung air dari wadah besar. Setelah selesai, barulah dia berjalan kemari. Menginjak lantai kayu, kemudian menggantung panci itu ke gantungan besi yang berada di tengah api.
Ria pun setelah selesai menumbuk teh, langsung memasukan tehnya ke dalam panci, dan menutup panci itu kembali. Kemudian dengan lincah, dia mengambil beberapa gelas kayu dan sekantung gula di ruang penyimpan makanan. Bersamaan dengan itu pula, Ibu pun keluar dari sana, membawa semangkuk beri yang kemudian dia berikan kepada Lana sebagai hadiah kehamilannya.
Begitulah kegiatan keluarga ini ketika sedang musim dingin, atau ketika sedang di musim lain. Sibuk sendiri dengan pekerjaan masing-masing, kemudian bercengkrama, berbagi cerita, dan berbagi tawa. Ibu pun sekarang bergabung bersama kami. Mengambil beberapa kain dari pangkuan Kak Tallu, mengambil benang dan jarum, dan kemudian menyatukan kain-kain itu. Dia membantu Kak Tallu menjahit baju.
Setelah memasang panci di api unggun, Kak Nahla juga langsung beralih ke pekerjaan lain secara inisiatif. Mengambil semangkuk kacang di ruang penyimpan makanan dan mengupas kacang-kacang itu dengan tangan. Aku dengar jauh-jauh hari, dia ingin membuat kue kacang.
"Nenek, aku ingin bertanya." Setelah beberapa lama senyap, akhirnya ada juga orang yang bertanya. Dapna sendiri yang menanyakan itu setelah dia merengut sendiri dengan rambutnya. Baik aku, Ria, maupun Kak Tallu, refleks mengangkat kepala, melihat ke arahnya. Kak Nahla tampak enggan mengangkat kepala. Tatapannya masih berkutat pada kacang dengan kening mengerut. Ibu, Nenek, dan Bibi Oan juga begitu.
"Ya, apa yang ingin kau tanyakan, Dapna?" Tatapan Nenek masih fokus pada jahitan bajunya yang sobek.
"Kenapa suku kita memiliki rambut yang sangat panjang? Dan kenapa pula tidak boleh dipotong?" tanya Dapna.
Nenek menoleh ke arah Bibi Oan yang masih sibuk membuat anyaman. Anyaman itu sebentar lagi akan selesai.
"Oan, bisakah kau menjawabnya? Ibu sedikit sibuk di sini."
Pertanyaan Dapna langsung dilempar pada Bibi Oan. Bibi Oan yang kala itu sedang sibuk, langsung terbangun. "A-apa?"
"Ibu bilang, "Tolong jawab pertanyaan Dapna." saking seriusnya menganyam, kau sampai melupakan Ibumu, astaga ...." Nenek menggelengkan kepalanya, lantas melanjutkan pekerjaannya lagi.
Bibi Oan nyengir sebentar, lalu menghentikan kegiatan menganyamnya. Dia kemudian menoleh ke arah Dapna, bertanya, "oke, bisa ulangi lagi pertanyaanmu?"
"Kenapa suku kita memiliki rambut yang sangat panjang? Dan kenapa pula tidak boleh dipotong?" ulang Dapna.
Bibi Oan mengangguk sebentar, kemudian menjawab, "karena rambut adalah mahkota yang paling berharga bagi suku kita, Dapna. Semakin panjang rambut yang kita miliki, maka semakin cantik pula perempuan-perempuan yang ada di suku kita, coba lihat Nenek, Ibu, dan Kakak-kakakmu. Mereka semua sangat cantik, bukan?"
Yang merasa terpanggil langsung tersipu. Pipiku panas entah kenapa, kecuali Nenek yang amat fokus pada pekerjaannya.
"Kenapa kau menanyakan hal itu Dapna? Apa kau tidak suka dengan rambutmu?" tanya Bibi Oan.
Dapna mengangguk, kemudian mengeluh. "Rambutku terlalu panjang Bi, aku merasa kepanasan di sini."
"Begitu 'kah? Ayo, kemarilah. Biar Bibi ikat rambutmu."
Dapna langsung menghampiri Bibi Oan. Kemudian, duduk di pangkuannya tepat setelah Bibi Oan menyingkirkan anyaman alasnya.
Sudah menjadi tradisi bagi suku kami untuk memiliki rambut yang sangat panjang. Rambut panjang melambangkan kemakmuran, kesuburan, dan panjang umur. Semakin panjang rambut seseorang, maka semakin cantik dan molek pula orang itu. Panjang rambut kami harus minimal satu meter dan maksimal tiga meter. Kebanyakan rambut kami berwarna hitam panjang dan lurus. Beberapa ada yang bergelombang dan kriting, tetapi langka. Biasanya, hanya satu atau dua perempuan saja di suku kami yang memiliki rambut seperti itu.
Para ibu, nenek, bibi, dan kerabat selalu mewanti-wanti para Glacier muda untuk merawat rambut mereka dengan baik. Hal yang dilakukan oleh mereka, sudah berlangsung karena dua hal; pertama, sejak zaman leluhur, kedua, untuk menghormati Dewi tercinta kami, Dewi Arghi, karena dia juga memiliki rambut yang amat panjang.
"Bibi Oan, aku ingin bertanya." Kali ini giliran Kak Nahla yang bersuara, membuat keheningan yang ada di sini pecah kembali.
"Ya, Nahla?"
"Kenapa di suku kita tidak ada anak laki-laki?"
Hening.
Aku mengerjap setelah Kak Nahla menanyakan hal itu. Aku berpikir dengan cukup lama, tetapi kupikir, Ibu, Nenek, dan Bibi Oan pasti punya jawabannya.
Bibi Oan tersenyum. Dia tampak ragu. "Kenapa ... kau bertanya begitu?"
"Aku bertanya begitu karena ... tidak mungkin Kak Tallu hamil begitu saja, 'kan?"
Kami diam lagi. Beberapa dari kami ada yang terkejut. Yang paling terkejut adalah Ibu.
"Nahla ...." Ibu berkata dengan lembut, mencoba tenang. "Tallulah hamil karena mendapat berkah dari Dewi, anak-anak perempuan yang sudah baligh di suku kita, pasti juga seperti itu." Ibu menjawab dengan begitu sederhana.
Sedari dulu, baik Ibu, Nenek, Bibi Oan, atau leluhur kami selalu berkata; bayi terlahir karena kehendak Sang Dewi.
Tatapan Kak Nahla menajam. Dia tampak tidak puas. Kedua tangannya bahkan berhenti mengupas kacang.
"Aku tahu, tapi bagaimana caranya bisa begitu? Maksudku, bagaimana caranya dia—atau wanita Glacier lain—bisa hamil? Dewi tentu akan menganugerahkan anak kepada kita, tapi, pasti ada suatu proses yang menyertainya, 'kan?"
"Nahla, cukup." Nenek langsung menghentikan pertanyaan beruntun Kak Nahla. Tangannya terulur ke depan dengan jemari yang memegang jarum dan benang panjang, menatap cucu keduanya dengan pelototan.
Tatapannya menyiratkan kepanikan yang tidak aku mengerti. Ibu dan Bibi Oan pun, juga menatap Kak Nahla demikian.
Kak Nahla langsung diam. Dia menatap ke arah lain. Diambilnya sebiji kacang, dan dia hancurkan kacang itu dengan jari-jemarinya yang kuat.
Melihat itu, aku pun langsung menatap ke arah lain juga. Meski tidak berucap pun, aku tahu Kak Nahla sedang marah.
Nenek menghela napas sangat panjang. Menatap Kak Nahla setenang air. "Setelah pekerjaanmu selesai, kau dan aku bicara di ruang sidang."
Di setiap rumah di suku Glacier, pasti ada ruang sidang—ruangan kecil terbuat dari kayu yang biasanya terletak di belakang rumah atau dapur—yang biasa digunakan untuk menghukum atau menceramahi salah satu anggota keluarga apabila dia melakukan kesalahan. Kak Nahla telah melakukan kesalahan, dan aku tidak tahu kesalahan apa yang dilakukannya. Di mataku, dia hanya bertanya.
Kak Nahla menatap Nenek dengan pelototan, dia bingung, juga merasa tidak adil. "Ruang sidang? Tapi kenapa?"
"Nahla ...." Ibu memanggil dengan lembut. Pandangannya mengarah ke panci. Dari ekspresinya, aku tahu Ibu ingin mengomeli Kak Nahla, tetapi ditahannya dengan sekuat tenaga. "Turuti dulu apa yang Nenekmu katakan ..., ya?" Ibu meminta.
Kak Nahla menghela napas lewat hidung, kemudian mengangguk dengan pelan. Dia kembali ke pekerjaan mengupas kacangnya, tetapi, gerakan tangannya tidak secepat tadi. Dia tampak kecewa, entah karena pertanyaannya sendiri atau karena Nenek menyuruhnya masuk ke ruang sidang atau karena pertanyaannya tidak dijawab.
Semuanya kembali bekerja. Ria membuka pancinya, memeriksa apakah tehnya sudah siap atau tidak. Asap tipis langsung mengepul dari dalam panci dan godokan air teh pun bergemuruh seperti sungai dangkal berarus cepat. Ria cepat-cepat mengambil gelas kayu, memasukan teh ke dalamnya sambil disaring, lalu memberikannya kepada Nenek.
Nenek menerimanya, memasukan sekeping gula ke dalam teh, dan kemudian mengaduknya dengan sendok kayu. Setelah Nenek, Ria pun memberikan tehnya pada yang lain. Ibu, kemudian Bibi Oan, Kak Tallu, Kak Nahla, aku, dan Dapna.
Semuanya kompak menyesap teh dalam keheningan, kecuali Kak Nahla yang lebih memilih lanjut mengupas kacang.
Aku iseng melirik ke arah Kak Tallu, hendak memeriksa apakah dia tersinggung dengan pertanyaan Kak Nahla atau tidak. Namun, melihatnya langsung kembali menjahit baju membuatku berpikir bahwa dia tidak tersinggung, sama sekali. Karenanya, aku juga kembali merajut setelah menyesap teh meski kepalaku ramai oleh pertanyaan baru.
Aku ingin menanyakannya ini di sini, tetapi melihat Kak Nahla disuruh pergi ke ruang sidang membuatku lebih memilih bungkam.
Pertanyaanku hanya satu; laki-laki itu apa?