“Hujan adalah aku, hujan adalah hidupku, hujan adalah kenanganku, dan lewat hujan pula aku menitipkan rinduku...”
Namaku Rainy, seperti namaku, aku begitu menyukai hujan, hujan adalah hidupku dalam hujan aku bisa merasakan dan menumpahkan segalanya, aku mencintai hujan, dan selalu merindukannya, setiap saat, ya setiap saat karena lewat hujan aku bisa menitipkan rinduku, dan lewat hujan juga ku biarkan dia mengenangku...
Hari itu sekitar pukul 3 sore, aku pulang dengan pikiran penat setelah seharian menelan pelajaran kuliah yang hampir saja tak mampu ku telan semuanya. Langit mendung sore itu, seketika gerimis mulai datang membasahi bumi, aku tersenyum menatapnya, ku hentikan langkahku dan kupejamkan mataku, aku mulai menikmati setiap rintiknya, seolah semua penatku hilang seketika.
“Hei, Rain hujan!”
Suara itu seketika membuyarkan keasyikanku, kini kurasakan setiap rintik itu tidak menyentuh kulitku, aku berpaling, “Adit?” Aku sedikit kaget melihatnya berdiri dibelakangku sambil memegang payung membatasiku dengan hujan.
“Kamu itu kebiasaan banget hujan-hujanan, nanti buku kamu basah!” Katanya sedikit kesal.
“Ups” aku tertegun seketika langsung membuka tasku, dan benar saja semua bukuku basah. Aku hanya menoleh dan tersenyum sebisaku menatap Adit yang ikut memperhatikan semua bukuku yang basah.
Adit hanya menggeleng kemudian tersenyum.
“Ayo pulang!” Katanya menarik lengan kananku.
Tanpa a i u aku langsung mengatur langkahku agar bisa menyeimbangi langkahnya.
Adit adalah temanku sejak kecil, dia adalah pria yang sangat baik, dia seolah mengerti semua hal yang aku sukai dan tidak ku sukai, termasuk dia begitu mengerti bagaimana aku mencintai hujan. Sewaktu kami kecil masih jelas ku ingat aku selalu menghabiskan waktu bersama dengannya saat hujan turun menikmati setiap rintik, menari, dan tertawa bersama. Itu hal yang selalu kurindukan hingga saat ini, tapi sekarang kami sudah tumbuh dewasa, meskipun kebiasaanku masih sama, tapi tidak dengan Adit, ya seperti halnya tadi dia selalu ngomel saat aku hujan-hujanan tentunya dengan berbagai alasan yang telah ia siapkan, “nanti flu, masuk angin, sakit, dan teman-teman lainnya.”
Aku menyukainya, ya tentu saja seperti aku menyukai hujan, aku mencintainya, ya seperti aku mencintai hujan, tentu saja sejak dulu hingga saat ini selalu begitu. Namun aku tak pernah berani mengungkapkannya, kurasa tak akan pernah. Namun satu hal yang selalu membuatku sedikit lega setahuku Adit tidak pernah memiliki kekasih. Inilah mungkin salah satu hal yang membuatku sering menduga-duga apakah mungkin Adit juga mencintaiku? Dengan semua perhatian dan kebaikannya, ahh... terkadang anganku sering melayang ke sana.
Hingga hari itu...
“Bu, makanan itu buat apa tumben bikin kue banyak banget?” Kataku memperhatikan ibu yang sedang sibuk menata kue.
Ibu hanya tersenyum, aku menunggu beberapa saat menunggu jawaban ibu namun nihil, ibu masih sibuk dengan kue nya.
Aku beranjak membantu ibu menata kue yang memang masih cukup banyak, seketika kami sama-sama fokus.
“Bu, Rain kan tanya?” Aku kembali memulai percakapan sambil asyik menata kue.
Sementara ibu beranjak ke dapur dan segera kembali dengan kue-kue lainnya.
“Kamu ini Rain, kamu pura-pura gak tahu?” Ibu menatapku cukup lama dan tersenyum.
Aku kembali menatap ibu, sesaat pandangan kami bertemu, ibu tersenyum menatapku, sementara aku masih dengan tanda tanya besar di kepalaku.
Melihat raut wajahku ibu rasanya tahu kalau aku benar-benar tidak tahu.
“Loh, kamu ini kan teman dekat Adit, masa Adit mau tunangan kamu gak tahu sih Rain?”
“Teg” sesaat aku tertegun, jantungku berdetak begitu kencang.
“Ber tu na ngan?” Kataku terbata-bata masih dengan wajah tak percaya.
Ibu tertegun melihat ekspesiku, ia hanya mengangguk pelan sambil memastikan aku baik-baik saja.
Melihat ibu aku tersenyum sebisaku, berusaha meyakinkan bahwa aku baik-baik saja, meskipun aku tidak tahu itu berhasil atau tidak yang jelas saat ini hatiku hancur, sangat.
Aku beranjak ke kamar, “Adit mempunyai pacar, kapan? Siapa? Bagaimana mungkin aku tak tahu? Selama ini dia menyembunyikannya dariku? Kenapa? Jadi anganku selama ini nihil?” Perlahan air mata meleleh dari sudut mataku, ini terlalu sakit.
Sore itu aku, ibu, dan ayah datang ke rumah Adit, di sana tampak beberapa tamu undangan lainnya sudah datang. Pandanganku seketika tertuju pada seseorang dengan jas hitam yang selalu tampak mempesona, Adit. Dia tersenyum, tapi aku bahkan tak mampu tersenyum sedikitpun padanya, tatapan kosong dan kecewa yang jelas tergambar saat ini dimataku. Tak lama seorang perempuan bergaun merah muda, dengan rambut panjang yang dibiarkan tergerai, serta bibir dengan gincu merah muda senada dengan bajunya, didampingi kedua orang tuanya muncul begitu mempesona, membuat semua mata tertuju padanya, begitupun dengan Adit. Kurasakan rona-rona bahagia tampak dalam wajah keduanya.
Waktu terasa begitu cepat berlalu, kini cincin sudah melingkar di jari manis keduanya, hinga satu per satu tamu pulang, dan kini hanya tersisa keluargaku. Ayah dan ibu masih tampak asyik ngobrol dengan orang tua Adit.
Langit di luar tampak mendung, aku menatapnya begitu lekat berharap sebentar lagi hujan turun, menghapus rasa sakitku saat ini, mengobati, dan membasuhnya sedikit saja.
“Hujan gak akan turun malam ini” suara seseorang yang jelas begitu akrab ditelingaku.
“Aku berharap hujan turun” kataku perlahan bahkan mungkin hampir tak terdengar.
“Kenapa kau begitu mencintai hujan?” Kini Adit berdiri di sampingku.
“Tak bisa kujelaskan, sama seperti aku tak bisa menjelaskan kenapa aku mencintaimu” kataku dalam hati karena bibirku bahkan tak sanggup mengatakannya.
Suasana hening sesaat, sampai aku tak sanggup lagi, menahan beban yang ada di hatiku.
“Kenapa kau tak pernah memberi tahu ku tentang semua ini?” Suaraku terdengar lirih.
“Bukankah aku temanmu sejak lama, kurasa...” belum sempat Adit menjawab aku sudah menimpali lagi pertanyaanku.
“Aku minta maaf, tapi kurasa itu tak perlu, tapi ternyata di hari ini bahkan aku tak melihat senyummu sekalipun” Suara Adit terdengar lesu.
“Kurasa itu tak perlu” ucapku seolah membalikan kata-katanya barusan.
Tanpa mengatakan apapun aku beranjak pergi meninggalkan Adit sendiri yang kurasa saat ini dia kecewa dengan sikapku yang bahkan aku tak mengucapkan selamat dihari bahagianya.
Di sudut kamar, aku berusaha mendekap hatiku semampuku, sakit di sana sungguh menyiksa bahkan ku tak tahu berapa lama aku bisa menahannya, ku biarkan air mata terus menetes meski aku tak dapat menjerit mengungkapkan sakitku. Perlahan angin mulai mempermainkan tubuhku, dinginnya begitu terasa menusuk kulit, hingga tubuhku terasa beku, namun aku tak beranjak, ku biarkan jendela tetap terbuka dan angin terus membekukan tubuhku, beku sama seperti hatiku yang saat ini membeku.
“Rain, kamu hari ini gak kuliah? Kalau gitu ibu sama ayah berangkat kerja ya, sarapan ada di bawah nak!” Suara ibu sedikit berteriak memastikan aku bisa mendengarnya.
Aku masih tak beranjak dari tempat tidur, “ya bu hati-hati” ucapku walau aku tak yakin ibu dan ayah bisa mendengarnya atau tidak.
Sejak pagi awan tampak mendung, hingga sore hari bahkan aku masih tak beranjak dari tempat tidur. Seketika, sesuai harapanku, hujan mulai turun, gerimis sesaat berubah menjadi hujan yang cukup lebat, seolah ingin mengobati sakitku, aku segera beranjak keluar, kubiarkan diri ini hanyut didalamnya. Air mataku kembali menetes, namun kini aku tidak perlu menahannya karena tidak akan ada seorang pun yang mengetahuinya. Kuluapkan semua beban dihatiku, aku menjerit sekeras mungkin karena kini aku juga tak takut orang lain akan mendengarnya karena hujan akan menyembunyikan suaraku. Tubuhku ambruk sesaat, aku tertunduk lesu, bahkan hujan tak bisa mengobati lukaku saat ini. Perlahan ku rasakan hujan mulai berhenti, aku menengadah, entah ini hanya bayang-bayangku atau tidak kulihat Adit berdiri di depanku membawa payung berwarna merah yang membuat jarak antara aku dan hujan.
“Kenapa kamu begitu menyukai hujan?” Kini dia jongkok menyeimbangiku, dia menatapku. Bahkan saat ini air mataku masih meleleh dengan derasnya, meskipun ia tak akan mungkin mengetahuinya.
“Bukankah kau mencintai hujan, kenapa hari ini kau begitu terluka?”
Ucapan itu membuatku menatapnya.
“Aku bisa melihatmu menangis sekalipun hujan menutupinya, aku bisa mendengar kau menjerit sekalipun suara hujan menyembunyikannya” ucap Adit menghapus air mataku.
Kurasakan kehangatan tangannya di pipiku, membuatku semakin terluka.
“Kau begitu memahamiku tapi mengapa... Sekalipun kau merasakan dan mengetahuinya tapi kau tak akan bisa mengubahnya, tidak sedikitpun.” Aku berusaha mengeluarkan sisa suaraku.
“Aku mencintaimu sama seperti aku mencintai hujan, aku menyukaimu sama seperti aku menyukai hujan, aku selalu merindukanmu sama seperti aku selalu merindukan hujan, dan hari ini hujan tak bisa mengobati bahkan sedikitpun membasuh lukaku, sama seperti dirimu juga...” kata-kata itu seolah begitu saja keluar dari tenggorokanku.
Adit terdiam, ia tertunduk lesu, bahkan kini tangannya tak mampu memegang payung yang ia bawa, hingga akhirnya kini kami sama-sama hanyut dalam hujan.
“Aku selalu merindukan saat seperti ini, hujan-hujanan bersama seperti waktu dulu kita kecil, meskipun sekarang keadaannya tak akan pernah sama” aku berusaha bangkit menjauh. Seketika kembali kuhentikan langkahku, tanpa berani menatapnya yang masih tertunduk di posisi yang sama.
“Sebentar lagi kau akan menikah, selamat. Aku sudah memutuskan untuk melanjutkan studi ku di luar negeri seperti saran ayah dan ibu, maaf jika nanti aku tak bisa hadir di acara pernikahanmu. Tapi kuharap kau selalu mengenangku lewat hujan, begitu pun aku akan selalu merindukanmu lewat hujan, dan akan selalu ku titipkan rinduku pada hujan untukmu, selalu...”
20 Januari 2017,
“Hujan setiap saat aku selalu merindukannya, dan hari ini adalah hari pernikahannya, tolong titipkan rinduku padanya, kutahu hari ini dia mungkin tak mengingatku, namun dengan hadirmu dia akan mengingatku di sana...”