Read More >>"> Jam Terus Berdetak
Loading...
Logo TinLit
Read Story - Jam Terus Berdetak
MENU
About Us  

Jam Terus Berdetak

 

~Tidak peduli kau terjatuh atau terluka, waktu akan terus bergulir. Jangan pernah menyalahkan kehidupan, jam akan terus berdetak meski kau menghilang dari Bumi~

Sudah sering merasakan penolakan untuk karya-karyanya, namun Dion tidak patah semangat. Berkali-kali sakit hati akibat omongan orang yang meremehkan dan juga gadis yang ia dekati selalu membuatnya kecewa. Ada banyak hal yang telah ia lampaui, ada banyak yang menorehkan luka. Membuat Dion cukup sadar untuk berdiri di kaki sendiri. Tak akan ada yang membantunya apabila ia cengeng dan terus merutuki nasib. Keinginan mengubah kemiskinan begitu kuat, tetapi mengais rezeki saja masih terseok-seok.

Menatap tepekur pada sepatu kusut yang terlalu lelah diajak berjalan, Dion kembali menggaruk rambut yang mendadak gatal, tersadar dirapikannya kembali rambut gondrong yang amburadul itu. Kemeja flannel kotak-kotak―menjadi ciri khas Dion―setia menemani … bermandi keringat bersama terik matahari Jogja siang ini. Dion tampak menjinjing tas berbentuk tabung berbahan kulit berisi gulungan lukisan yang hendak dijualnya. Dion tak mampu membeli pigura sekedar untuk memajang lukisannya agar terlihat lebih keren. Tidak, Dion hanya ingin menjual karya tanpa menambah modal lebih, karya yang mungkin bisa ditukar dengan nasi angkringan dan wedang bandrek untuk mengganjal perutnya sore ini. Dion bermaksud menjual murah, siapa saja yang mau saja pikirnya, dan ada satu lukisan yang pasti akan terjual … berupa pesanan dari seorang kawan. Uang hasil penjualan lukisan akan digunakan untuk menghidupi  adik-adiknya di Pekalongan, sisanya ia gunakan untuk membiayai hidup sederhananya di kota ini. Bulan lalu ia telah melakukan hal yang sama, kurang lebih dua juta rupiah berhasil ia kantongi, cukup memuaskan bagi pelukis pemula seperti dirinya.

Pasar Beringharjo penuh dan sesak seiring dengan dibebaskannya pemberlakuan PPKM, langkah kaki Dion sering berbenturan dengan troli berat para pedagang pasar, hal itu justru membuatnya senang, roda ekonomi semakin menggeliat bagai terbangun dari tidur panjangnya. Dion masih mengingat ketika PPKM masih diberlakukan, tak banyak orang memasuki pasar ini, terkesan sepi dan para pedagang terkantuk-kantuk, begitu langkah kaki pengunjung tiba segera diserbu dengan teriakan memanggil-manggil untuk menawarkan dagangannya. Kini tak ada lagi suara berebut dalam suasana lengang, terisi penuh oleh hiruk pikuk bentuk perdagangan. Langkah kaki Dion kembali tercegat, kali ini bahunya menubruk pikulan pecel milik Simbok. Dion mengenalnya, dan  mengatupkan kedua tangannya, di sapanya Simbok ramah, banyak penjual pecel di sekitar Beringharjo namun hanya Simbok yang baik padanya, alasannya sepele, karena Simbok sering memberi gratis untuknya. Simbok yang mengenali Dion balas menyapa.

Mangan po piye, mangan sik nyoh…,” kata simbok sambil menyodorkan pecelnya.

Dion melirik tumpukan pecel, kupat dan gorengan yang menggoda, perut Dion berisik merespon, tetapi Dion mengingat janjinya pada mas Kuncoro siang ini. Di liriknya arloji tua di pergelangan tangan dan menyahut pada Simbok. 

“ Lain kali Mbok, wes dienteni mbe Mas Kun ning teras..,” tangan Dion menunjuk pada seberang jalan, memberi kode pada Simbok sambil menepuk isi tasnya. Simbok mengangguk mengerti.

 “Yoo wes ngono tak dungokno yo le…,” ucapnya disertai senyum lebar, memberikan semangat untuk Dion.

Dion melanjutkan langkah kaki menembus kerumunan orang-orag yang memadati bagian pintu masuk pasar. Sepanjang trotoar jalan Malioboro, Dion sering memberikan apresiasi berupa tepuk tangan pada musisi jalan yang sedang beraksi. Sebuah tepuk tangan untuk menyemangati para kawan musisi  jalanan, sekaligus menyemangati dirinya sendiri.

Kondisi Malioboro saat ini memang sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya, deretan pedagang kaki lima yang berpuluh tahun menjadi ciri khas Malioboro telah direlokasi menjadi dua tempat, Teras Malioboro 1 dan Teras Malioboro 2, tujuan Dion adalah Teras malioboro 1, dimana orang yang bernama Kuncoro tengah menunggu kedatangannya. Dion duduk sejenak di bawah pohon pada halaman teras Malioboro. Di periksanya sekali lagi lukisan yang hendak di tawarkan. Berdoa sejenak berharap transaksi ini berjalan lancar.

 

Derap langkah kaki Dion dengan pasti menapaki anak tangga. Mula-mula pandangannya hanya menyapu para pedagang pakaian. Tak diketemukan kios Mas Kuncoro, hampir putus asa Dion mencari lalu akan mencoba menghubungi  Mas Kuncoro, hendak mengambil gawai … tangan kanannya merogoh ke dalam saku celana jeans, tetapi tiba-tiba seorang bapak menabraknya hampir terpental. Benda kecil berbentuk pipih itu terpental dan tak sengaja terinjak. Dion terperanjat, ingin marah tetapi dilihat kembali bapak tua itu terlihat panik dan tergesa. Menghela napas, mengelus dada menyabarkan diri. Dipersilakan bapak itu melewatinya, Dion kembali menyapu pandangan, lambaian tangan seseorang dan sebuah teriakan memanggil namanya. Itu Mas Kuncoro, dibenak Dion berpikir, akhirnya tak lama lagi gulungan lukisan dalam tas tabung miliknya akan berubah menjadi rupiah. Dalam hati Dion berseru lega. Sesampainya di kios Mas Kuncoro, diluar dugaan, Mas Kun yang telah lama menunggu malah menepuk bahu Dion kesal.

 “Kamu kenapa telat?” tanya Kuncoro .

Dion mengedikkan bahunya, “Janjian jam satu tho, Mas?” jawab Dion santai.

Kuncoro menepuk jidat, “ Ealah, Yon..,Yon…, saiki jam piro?”

Kuncoro menunjukan jam tangan digitalnya pada Dion―tertera pukul 14.25― Dion melongo, melirik arloji di pergelangan tangannya yang ternyata berhenti berdetak, jarum arloji tua peninggalan bapak masih berada pada angka satu lebih lima, Dion kembali teringat perjalanan dari Kotagede menggunakan bus trans Jogja tadi―dimulai pukul satu.

“Akh, ya!”  pekik Dion, rupanya ia melupakan bagian penting di memori otaknya, bahwa ia mendapati melihat arlojinya berada pada pukul satu telah beberapa saat lalu. Bahwasanya Dion bangun terlalu siang akibat begadang semalam, lantas ia pergi dengan terburu-buru meninggalkan rutinitas mandi juga ngopi ditambah nyemil gorengan seperti kebiasaannya. Perut Dion semakin melilit, mengingat lambungnya belum terisi apa pun.

“Waduh kenapa aku bisa kacau begini sih!” serunya menyesal.

 “Orangnya tadi nungguin, Mas?” tanya Dion sekali lagi.

Mata Dion mengerjap berharap telinganya mendengar jawaban bagus dari Mas Kuncoro, tetapi apa nyana, Mas Kuncoro malah mengatakan kalau orang yang tadi berpapasan dengan Dionlah yang akan membeli lukisan Dion. Kali ini Dion yang menepuk jidat.

 

~Meski berat tiap hal harus di lewati dengan lapang dada atau legowo~

 

Dion kembali ke Beringharjo menemui Simbok. Menceritakan keluh kesahnya dan berharap Simbok berbaik hati memberikan ia sepincuk pecel beserta ketupat dan gorengannya. Dan benar saja Simbok yang selalu bersimpati pada nasib Dion bukan hanya memberi satu tetapi dua pincuk pecel pada pria malang di hadapannya kini. Tidak cuma Simbok yang sabar mendengar  semua cerita Dion, mbak-mbak penjual es teh Gopek  prihatin dan berbaik hati memberikan es teh gratis pada Dion. Dion senang dengan perhatian orang-orang terhadapnya, ia merasa ini berkat lain yang ia terima karena telah kehilangan pembeli lukisannya. Mas Kuncoro mengatakan, orang tersebut akhirnya pergi setelah lama menunggu dikarenakan mendapat telepon darurat dari rumah sakit tempat anaknya dirawat. Dalam hati Dion tidak menyalahkan siapa-siapa, walaupun pupus sudah bayangan adik-adiknya memakan daging sapi malam ini.

 Dibukanya perlahan gulungan lukisan pesanan Mas Kuncoro tersebut. Mas Kuncoro mendatanginya untuk memesan lukisan dua minggu yang lalu. Hanya dengan selembar foto tua Dion berhasil mewujudkan lukisan tersebut, sesuai pesanan pada tanggal ini, Dion mendapat cerita dari Mas Kuncoro, bahwa bapak pemilik foto tua itu bermaksud menghadiahkan lukisan tersebut pada putri semata wayang yang sedang dirawat di rumah sakit akibat kanker otak, tepat di hari ulang tahun putrinya tersebut. Dan hari ini adalah tanggal tersebut. Dion meremas rambut di kepalanya. Lebih dari apapun, ia justru menyesal telah menghancurkan harapan seorang bapak. Tadi, ketika bertubrukan Dion tidak mengenali bapak tesebut, karena selembar foto yang ada di tangannya itu merupakan selembar foto tua di mana ada seorang bapak yang masih muda dan gagah sedang memangku anak perempuan yang masih balita.

 

Matahari terus merangkak turun, langit Jogja semakin temaram. Simbok dan penjual pasar lainnya tentunya sudah mengemasi barang dagangannya dan berjalan pulang, sedangkan  Dion masih duduk di bangku pinggiran jalan malioboro. Melamun  dan membisu. Mulai menyesal kenapa tak mengindahkan perkataan Mas Kuncoro untuk meninggalkan lukisannya pada Mas Kun saja. Tetapi Dion malah memakai asumsinya sendiri bahwa mngkin saja si bapak tidak lagi membutuhkan lukisan ini  lagi sebagai hadiah ulang tahun setelah mendapat kabar darurat dari rumah sakit. Menyesali pikiran cerobohnya untuk kesekian kali kembali Dion menggaruk rambut yang mendadak gatal.

 

Dion masih merutuki nasib  ketika adzan magrib berkumandang, segera dicarinya masjid terdekat. Setelah menunaikan kewajibannya Dion merasa lebih tenang.  Perasaannya lebih ringan dan ikhlas. Dion berpikir untuk apa ia menyerah dan pasrah. Selalu ada jalan untuknya mencari pengganti rezeki yang datang padanya. Dion melirik kembali jam tua peninggalan bapak. Dion merasa takjub akan apa yang terlihat. Jam tersebut berdetak kembali padahal ia belum membawanya ke tukang reparasi. Segera disetelnya jarum pendek jam pada angka tujuh dan jarum panjang pada angka sepuluh sesuai apa yang Dion lihat pada penunjuk waktu  yang terpampang pada pintu masuk masjid.   

Dion kembali menduduki bangku di trotoar malioboro, kali ini dekat nol kilometer, perlahan Dion membuka lukisan dalam tas tabung. Lukisan bapak memangku balita di amati secara saksama. Pikirannya melayang, bagaimana ya nasib anak dalam lukisan ini pikir Dion khawatir. Di saat asyik mengamati itulah seorang anak muda datang mendekat dan berkata, “Wah, bagus sekali lukisannya, Mas!” serunya takjub. Dion menoleh kaget, anak muda itu sedikit meringis, dia menggandeng seorang wanita yang  masih remaja. Sepertinya gadis itu masih SMA sedangkan melihat dari atribut yang dikenakan pemuda itu terlihat seperti mahasiswa semester akhir. Rambut gondrong mirip Dion, baju kotak-kotak yang lusuh. Tas ransel hitam yang disampirkan terlihat kosong, tetapi tumpukan buku tebal dan kertas-kertas HVS setia dipelukannya. Sementara itu kaca mata tebal menghiasi hidungnya hampir melorot. Jambang yang tumbuh sangat sedikit dibiarkan berjuntai menghiasi rahang runcingnya. Dion mendadak mendapat ide, melihat sosok unik ini.

Dion spontan bertanya, “Mau di lukis?”

 “ Boleh Mas,” jawab pemuda itu santai.

“ Bawa foto nda Mas?”

“Langsung saja Mas, bisa..?”

Dion mengangguk senang, “Oo, tentu bisa Mas, sketsa saja tho..?”

Pemuda itu kembali mengangguk. “Berdua ya, Mas.” Tangan yang menggandeng  gadis remaja itu di pamerkan pada Dion.

“Okey, siap!” jawab Dion mantap.

Pemuda dan kekasihnya mengambil posisi untuk dilukis, mereka duduk berlatar pagar ‘Museum  Benteng  Vredeburg’. Selama Dion mengambil sikap melukis sketsa kedua sejoli tersebut beberapa orang yang lewat mengerumuninya. Untunglah Dion telah terlatih mentalnya dan tidak merasa terganggu. Malah Dion merasa senang, hal ini bisa menjadi ajang promosi bagi keahliannya. Kurang dari sejam sketsa dua sejoli telah sempurna. Mereka puas dengan hasilnya dan membayar cukup banyak rupiah pada Dion. Mereka berkata bukan hanya sehelai gambar sketsa pada sebuah kertas yang terbayar melainkan sebuah moment yang berharga telah diabadikan dengan epik oleh Dion. Dion hampir menangis menerima sejumlah rupiah yang diangsurkan ke tangannya. Dion memandang kertas dan beberapa model pensil graphite  sebagai modalnya. Benar juga modal sebenarnya adalah ketrampilan, usaha pantang menyerah  yang di miliki Dion, dan bukannya peralatan sederhana ini. Beberapa orang yang mengerumuni Dion memperhatikan dan berseru padanya, “Aku juga mau di lukis Mas!”

“ Boleh … boleh.” Dion tersenyum senang mendapatkan banyak pelanggan. Bahkan ada yang melihat-lihat lukisan kanvas Dion dan menginginkan hal yang sama. Ia menyodorkan sebuah foto dan mencatat nomor teleponnya agar Dion meneleponnya ketika pesanan tersebut siap.

“Tidak usah di pigura Mas, biar saya sendiri nanti yang membeli pigura.”

Kembali hati Dion berseru senang. Bahkan orang tersebut memberikan  ‘DP’ untuk pesanannya. Di saat dibanjiri orderan itulah gawai Dion bergetar, tangan satunya mengangkat telepon dan satunya lagi masih sibuk mencatat orderan. Mata Dion terbelalak mendengar kabar yang ia dengar.

“ Wah, benarkah Mas?”

“Iya, aku masih di Malioboro,” ujar Dion menerangkan pada Mas Kuncoro di seberang telepon. Selanjutnya Dion sibuk menjelaskan posisi ia berada sekarang karena Mas Kuncoro dan bapak tua itu akan datang mengambil lukisan yang dipesan. Ternyata Dion keliru, bapak tersebut tergesa-gesa karena diberi kabar bahwa anaknya mengalami kemajuan dan bukan karena nyawa anaknya dalam bahaya. Bapak itu bermaksud mengambil lukisan itu cepat untuk diserahkan pada anaknya sebagai hadiah―malam ini juga. Dion merasa lega … untunglah ia masih berada di kawasan Malioboro ini. Dion membayangkan betapa senang adik-adiknya esok hari karena dapat memakan daging sapi yang hanya mereka cicipi  kala Dion mengirimi sejumlah uang bagi mereka. Sungguh peristiwa sepanjang siang dan petang yang berbeda dialami oleh Dion. Semangat yang berapi-api muncul dalam dada Dion. Di lirik kembali jam tua warisan bapak, jam itu masih berdetak. Di yakinkan sekali lagi sampai Dion mendekatkan arloji dekat telinganya, mencoba meresapi tiap bunyi detak yang di hasilkan.

Tik … tik … tik ….

Meski bersuara lemah jam itu terus berdetak. Benar saja apa pun yang terjadi pada nasib orang-orang di dalamnya, Bumi terus berputar bukan?  Waktu akan terus bergulir dan hanya waktu yang dapat menyembuhkan luka dan memberikan kesempatan pada tiap manusia.

 

TAMAT

Note: pict edit by capcut

          cr pict by pinterest

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags