KEPAK SAYAP YANG HILANG
Aku disuruh terbang tetapi kedua kakiku terikat. Pepatah tersebut sangat tepat sebagai penggambaran keadaanku saat ini. Berbulan-bulan belajar mati-matian mengejar beasiswa yang sulit kudapatkan tetapi kini … aku ada di persimpangan untuk melepasnya.
Kebimbanganku sangat wajar, mengingat usaha yang telah kuupayakan untuk mendapatkannya sungguh tak main-main. Aku yang kuliah di salah satu Universitas Negeri di daerah Bulaksumur seperti mendapatkan angin segar ketika lolos seleksi mendapatkan beasiswa Ferris di Jepang.
Berkali mengucek mata tapi memang benar namaku ‘Noe Ayara’ ada dalam daftar mahasiswa penerima beasiswa Ferris tahun 2016. Seketika perasaan bangga dan haru memenuhi kalbu. Rasa senang yang bukan main hampir saja menghanyutkanku sebelum akhirnya aku tertampar kembali oleh kenyataan.
Disaat ini, ketika bayangan sosok Simbok terbatuk-batuk menyadarkanku. Senja bergeser, hari mulai gelap tatkala kumulai ragu memasuki halaman rumah yang kutempati bersama Simbok dan kedua adik kembarku. Tubuhku terpaku tak dapat menggerakan kaki yang tiba-tiba terasa seperti batu, lidahku mendadak kelu apalagi bayangan Simbok tersorot lampu remang dari dapur terasa mengolok kegigihanku selama ini.
Punggung Simbok amat tua dan rapuh, gerakannya teratur kedua tangannya sibuk mengelap daun pisang yang menumpuk di pangkuannya. Kembali terdengar suara batuk yang semakin parah, ada rasa tidak tega menjalar dalam hatiku. Menimbulkan pertanyaan dalam kepala akankah kuceritakan berita gembiraku padanya atau menyimpan wajah senang dan kuganti dengan sendu yang biasa terlukis diwajah ini. Kuurungkan niat membuka pintu dapur dengan mengetuk, melainkan berencana perlahan mengagetkan Simbok dengan sebuah pelukan dari belakang yang membuatnya terkejut dan tersenyum lega.
Ya, Simbok selalu lega melihat aku pulang karena akhirnya Simbok bisa beristirahat sejenak. Tubuh renta mengasuh anak kembar yang masih SD sungguh sangat melelahkan baginya.
Simbok Sutinem sebenarnya adalah ibu dari ibuku. Ia seorang diri merawat kami yang ketika itu―ketika peristiwa kecelakaan sepeda motor― merenggut nyawa kedua orangtuaku. Aku masih kelas empat SD dan adik kembarku masih bayi usia tiga bulan. Kami memanggilnya Simbok alih-alih memanggil dengan sebutan ‘Mbah’, meniru para tetangga yang biasa menyebutnya ‘Simbok Sutinem penjual lemper’.
Kami bertiga yang semula tinggal di kota Bogor, akhirnya diboyong oleh Simbok Sutinem kerumahnya di desa yang terletak di pinggiran kota Bantul Yogyakarta. Sayangnya kemalangan belum berakhir, setahun sejak kepergian bapak dan ibu menyusulah Mbah Kakung menemui Sang pencipta. Rupanya kesedihan akan kematian Ibu yang tragis sanggat menggunjang jiwanya. Kesehatannya semakin lama semakin memburuk sebelum akhirnya Mbah Kakung berpesan pada Simbok untuk sanggup merawat cucu-cucu yang masih kecil seorang diri.
Dengan uang pensiun PNS milik Mbah Kakung dan sedikit keahliannya membuat jajanan pasar terbuktilah Simbok berhasil menyekolahkanku hingga bangku kuliah. Sebab itu pula … mengapa aku bercita-cita tinggi. Aku sangat berterimakasih pada Simbok dan ingin menggantikan perannya sebagai tulang punggung keluarga. Salah satunya dengan mengikuti beasiswa yang kemungkinan akan mengubah kesuluruhan hidupku di masa depan.
Sangat luar biasa mendapatkan Ferris di Jepang, tetapi itu artinya kuharus meninggalkan mereka―Simbok dan adik kembarku― selama hampir kurang lebih satu tahun lamanya. Namun, apa daya Simbok yang semula sehat dan kuat akhir-akhir ini sering sakit-sakitan. Berkali-kali tepergok seperti menyembunyikan rasa sakit luar biasa. Sudah satu bulan terakhir Simbok bolak-balik mendatangi Puskesmas. Batuknya semakin parah seiring tensi dan kadar gula dalam darahnya juga meninggi.
Sepuluh tahun ini Simbok bekerja amat keras. Pagi buta sudah menyiapkan lemper yang akan dijualnya, dan ada beberapa lagi jajanan pasar yang serba terbungkus daun pisang. Kemudian sebelum tengah enam pagi semua jajanan itu sudah harus diantar ke beberapa kios penjual jajanan pasar yang tersebar dipinggir jalanan kota Bantul. Mengantar Simbok menitipkan jajanan menyusuri jalan berkabut dan menyambut silau sinar fajar menjadi rutin kebiasaan pagiku sejak kelas dua SMA, lebih tepatnya ketika aku sudah legal mengendarai motor sendiri. Sedikitpun aku tidak mengeluh, bahkan senang karena kudapat bermanfaat bagi Simbok.
Dua adikku nampak bersiap sekolah dan telah memakai seragam merah putih ketika kutepat memarkirkan motor di halaman. Selanjutnya memang giliran dua adikku Petrik dan Peres yang akan kuantar sampai Kanisius tepat waktu. Sekolah mereka terkenal disiplin, pernah Petrik dan Peres dihukum tidak dapat mengikuti pelajaran pertama karena aku terlambat lima menit saja untuk mengantar hingga pintu gerbang Kanisius tempat mereka bersekolah. Dua adikku ini tidak memanggil ‘Kak’ atau ‘Mbak’ tapi langsung memanggil nama ‘Noe’ saja. Begitulah panggilan mereka terhadapku yang justru membuatku lebih nyaman, merasa sebagai teman alih-alih kakak yang mereka takuti. Seperti pagi ini ketika kami asyik berbincang diatas motor, mereka berceloteh dan berlomba satu sama lain memanggil namaku.
“Noe!”
“Noe!”
Rupanya kedua adikku ini tak sabar bercerita. Mereka selalu banyak bicara di atas motor serta melakukan permainan konyol menangkap lalu memakan angin, menurut mereka itu keren. Lantas bergantian berceloteh tentang betapa bangganya mereka pada bekal yang selalu disiapkan Simbok untuk mereka berdua, bahkan kelezatan masakan Simbok membuat teman-teman mereka iri dan ingin menukar bekalnya. Hal seperti ini pula yang kadang membuat aku trenyuh dan tidak ingin pergi meninggalkan atau tepatnya tidak ada keberanianku untuk menceritakan tentang beasiswa Ferris pada mereka―terutama Simbok.
Matahari terik menyengat kulitku, gerah, bagian belakang kaos yang kukenakan mulai basah oleh keringat, kuikat rambut panjangku tinggi-tinggi lantas membentuk cepol berbentuk bulat seperti radar di atas kepala. Bersandar pada sebuah pohon di depan Fakultas Ilmu Budaya membuatku sedikit menikmati lalu lalangnya para mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Filsafat yang juga selalu menggunakan trotoar jalan depan kampusku ini. Menghela napas serta memikirkan apa yang Hayakawa Sensei tadi katakan, bahwa aku harus segera mengonfirmasi penerimaanku pergi ke Ferris paling lambat sepekan dari sekarang. Kembali menghela napas berat, sesak di dada menggumpal seperti debu yang pekat, sepekat es kopi yang kusruput nikmat. Mahasiswa senior yang melewatiku terkekeh geli, beberapa dari mereka berdehem dan berujar keras menggoda.
“Nikmaaaaat..,” ledeknya.
Kuacungkan es kopiku dan berujar, “Mantaaap, monggo Mas, Mba minum ini enak, beli sendiri di kansas.” ucapku menebar tawa, sembari jari jempolku mengarah kebelakang menunjuk tempat kantin kami menjual berbagai macam minuman dan cemilan siang untuk mahasiswa sastra. Antara sesama mahasiswa memang biasa bertegur sapa begitu, baik kenal atau tidak.
“Terima kasih, Mbak. Masih ada kelas!" serunya segera berlari.
Suasana kembali sepi, sepertinya mahasiswa-mahasiswa sibuk dalam kelasnya. Kumelirik arloji santai, jam kuliah berikutnya mata kuliah Bunpou yang jelas sangat penting untukku mahasiswa jurusan Sastra Jepang. Tapi entah mengapa semilirnya angin membuaiku enggan beranjak dari sandaran pohon rindang ini, bahkan aku sudah menemukan tempat duduk nyaman beralaskan batako yang tersusun rapi. Membolos satu kelas tidak apa bukan, pikirku sesat. Kubayangkan betapa marahnya Hayakawa Sensei jika mengetahui penerima beasiswa Ferris membolos mata kuliahnya tanpa alasan. Malas saja, atau sengaja menghindarinya karena belum menemukan jawaban pasti. Mengambil pen tablet dari dalam tas, mulai menggoreskan segala bentuk objek yang tertangkap mata serta kutuangkan dalam bentuk komik webtoon. Seisi kepalaku penuh oleh seputar cerita yang kurangkai menjadi kisah bersambung. Kemampuan menjadi author kutemukan secara otodidak. Mungkin juga karena sebenarnya bapakku adalah seorang seniman seni rupa murni, ada bakat menggambar yang tertinggal dalam diri anaknya. Meskipun tak se-berbakat bapak, namun di jaman sekarang yang serba digital memudahkan aku untuk menggambar komik. Darah seni tidak saja mengalir dalam darahku bahkan Petrik dan Peres yang selalu mendapat nilai lima untuk matematika, tetapi selalu mendapatkan sembilan dalam pelajaran seni.
Sore itu langit masih biru dan sejuk, Perjalanan pulang dari kampus menyusuri sepanjang selokan mataram mengendarai motor cb100 milik Mbah Kakung membuatku merasa menjadi wanita macho. Rambut kubiarkan tergerai terkena angin, berantakan tapi aku senang. Helm hitam bentuk batok kelapa dan kacamata hitam dua puluh ribuan membuatku merasa cantik. Sesekali dilampu merah menyapa pengguna jalan lain. Nyengir kuda waktu ada orang berseru keras.
“Mbak cantik!”
Sedikit geli tapi cukup mengurangi tekanan untuk masalah Ferris. Sesampai halaman rumah Petrik dan Peres meyambutku gembira, sibuk menarik tak kresek hitam berisi jajan untuk mereka. Memang sengaja aku mampir tadi, ada pasar sore dekat Alkid. Mampir sebentar, sekalian lewat, alasanku pada Simbok yang memrotes tindakanku membeli cumi bakar dan takoyaki untuk Petrik dan Peres padahal di rumah juga banyak jajan buatan Simbok. Ternyata Simbok tidak sendiri, ada Alya teman kampusku duduk di ruang tamu, Alya menatapku tersenyum canggung, tiba-tiba perasaanku tidak enak.
Simbok menatapku sedih, pandangan mata Simbok membuatku gusar. Setelah Alya pulang Simbok langsung mendudukkan aku yang belum sempat mandi dan masih bau asem. Simbok langsung menanyakan apakah yang Alya yang sampaikan tadi benar adanya?
“Nduuk, Simbok bungah kalau Noe jujur sama Simbok, lebih lagi mengenai beasiswa luar negeri, kenapa Noe tidak cerita sama Simbok?” ujarnya lirih. Pertanyaan lirih yang cukup membuatku tergunjang.
“Lebih sedih lagi, karena Simbok tahu dari orang lain, kalau tadi Alya tidak mampir untuk memberi pesan dari dosen, mana Simbok tahu Noe!?” kata Simbok yang Nampak kecewa. Berarti Simbok juga tahu kalau tadi aku membolos bukan, aku meragu sebentar, menarik nafas dan perlahan kujelaskan dengan detil tentang beasiswa Ferris yang memang aku dapatkan tetapi mengharuskanku berada di Jepang selama satu tahun. Kuungkapkan perubahan hatiku untuk belajar di luar negeri seperti cita-citaku semula. Alasan utama tentu saja karena kesehatan Simbok tidak memungkinkan untuk merawat adik-adik sendirian. Simbok terbatuk-batuk kesal, memegang dadanya lalu menitikkan air mata penyesalan. Malam itu, aku sangat tidak menyesal membuat keputusan besar dalam hidupku berkali-kali mengatakan bahwa Simbok dan adik-adik adalah bagian terpenting dari hidupku. Lebih dari cita-cita ke luar negeri atau apapun itu. Ya, sepanjang perjalanan menaiki cb100 milik Mbah Kakung membuat logika ku berdamai dengan perasaan. Aku memang ingin bekerja di perusahaan besar dan memiliki gaji yang besar, Ferris bisa dikatakan adalah jalan pintasku menggapai impian tersebut. Namun dalam kondisiku saat ini … ada hal yang lebih penting untuk aku jaga dan berada di sisinya. Tanpa Ferris aku bisa mengambil opsi lain untuk wisuda secepatnya dan bekerja di Jogja saja, dekat dengan Simbok dan adik-adik. Aku dan Simbok berpelukan sambil menangis, kutahu Simbok ingin aku berangkat ke Jepang namun dirinya tak berdaya, dokter Puskesmas saja sudah mewanti-wanti untuk tidak terlalu lelah bekerja. Petrik dan Peres mendengar suara isak tangis kami dan keheranan menghampiri kami. Lalu kukatakan pada Simbok bahwa si kembar adalah amanah dari orangtua yang wajib kujaga dan kudidik dengan baik. Simbok dan aku berbarengan mengusap kepala si kembar dengan sayang, yang justru membuat si kembar ikut menangis dan kami pun saling berangkulan satu sama lain.
Selama kurun waktu tujuh tahun sejak peristiwa gagalnya beasiswa Ferris, aku terus berprogres. Kini aku bekerja di sebuah perusahaan pembuat animasi di Jakarta. Selain itu hobiku sebagai author webtoon terus berjalan dan sudah hampir lima tahun ini menjadi webtoon resmi. Aku yang semula bekerja sebagai penerjemah bahasa Jepang di perusahaan tersebut, merasa sangat diuntungkan karena perusahan animasi tempat aku bekerja, juga bekerjasama dengan startup pembuat komik daring atau webtoon asal Korea Selatan. Sedangkan dua adik kembarku yang kini masih duduk di bangku SMA menjadi youtuber dengan channel bernama ‘Kembar yang tak sama’. Memang hanya untuk lucu-lucuan tetapi aku senang dengan krestifitas mereka yang bahkan telah berhasil menghasilkan pundi-pundi rupiah dengan lima juta subscribernya. Sayangnya … Simbok telah menutup usia dua tahun lalu. Namun, dapat kupastikan Simbok di akhir kehidupannya lebih banyak tersenyum ketika menatapku dan adik-adik. Tepat sebelum itu aku dapat membelikan mobil untuk Simbok dari hasil kerja keras sebagai author webtoon yang merupakan hobi yang tak disangka-sangka dan justru memberikan dampak positif bagi kehidupanku.
Aku merasa pilihanku tujuh tahun lalu tepat, bahwa ternyata aku bukanlah membuang impian karena tergantikan dengan impian yang lebih luar biasa. Dan peristiwa ajaib sekali lagi menghampiriku, sebuah perusahaan animasi Jepang menarikku untuk bekerjasama dan tinggal menetap di jepang, selama kontrak kerja yang berarti lima tahun ke depan. Perusahaan tempat aku bekerja saat inilah yang membuat projek tersebut. Serta merekomendasikan beberapa author yang juga fasih berbahasa jepang. Kesempatan ini sangat luar biasa bagiku, mengingat ceritaku yang telah kulalui dahulu, dan sekarang aku akan menetap di Jepang bukan hanya satu tahun melainkan lima tahun. Simbok telah tiada, si kembar telah mandiri dan akan kuliah di Kanada sambil tetap memperbesar channel youtube mereka. Kini tak ada alasan lagi aku tak menggapai impian. Impianku adalah menatap indahnya langit di beberapa Negara yang berbeda.
Sebelum keberangkatan kami ke negara yang kami tuju, Aku dan adik-adik menyempatkan mendatangi rumah Jogja, rumah kenangan kami bertumbuh. Setelah dibersihkan kami menutup rapat rumah tersebut. Kami bertiga tersenyum saling memandang haru dan tak terasa menitikkan air mata. Aku memandang langit yang biru dan berkata dalam hati, sekarang aku akan terbang Simbok, Mbah Kakung, Bapak, Ibu … telah kutemukan kembali kepakan sayapku yang hilang.
TAMAT