Yuki tiba di rumah Estrella pagi-pagi sekali, siap menemaninya dalam misi penting membuat Albin bahagia. Estrella muncul dari pintu depan rumah, matanya lelah, sembab, mengisyaratkan bahwa dirinya tengah bersedih dan kurang tidur. Memaksakan emosinya untuk bahagia menyambut Yuki—mereka bertukar senyum singkat sebelum berangkat dengan skuter Yuki.
Perhentian pertama mereka adalah toko kue Amari, tempat keluarga Hitome membuat Kue Mochi terenak di kota. Saat mereka masuk, aroma manis kue yang baru dipanggang memenuhi udara. Hitome, yang sibuk di belakang meja kasir, menyambut mereka dengan senyum hangat.
"Estrella, Yuki! Apa yang membawa kalian ke sini sepagi ini?" tanyanya riang, namun memperlihatkan sedikit kecemasan melalui sorot matanya yang gusar.
"Kami butuh Mochi untuk adikku, si Albin," Estrella menjelaskan, suaranya lembut dan lemah. "Dia baru saja bangun dari koma, dan... dan dia memintanya. Aku tak tahu harus kemana karena kedai kita tutup, sehingga aku kesini."
Ekspresi Hitome berubah simpatik. "Aku turut prihatin mendengarnya, Estrella.” Ucapnya sambil memasukkan Mochi yang hangat itu ke dalam wadah, “ini, aku mengambil Mochi tambahan untuk Albin. Kuharap itu membuatnya tersenyum."
"Terima kasih banyak, Hitome," kata Estrella, matanya berkaca-kaca karena rasa terima kasih.
Dengan Mochi yang sudah dikemas dengan hati-hati itu, dan ada tulisan ‘untuk Albin, semangat!’ yang membuat hangat hati Estrella karena dukungan temannya itu. Yuki dan Estrella menuju ke rumah sakit, bersama-sama menaiki skuter milik Yuki. Perjalanan itu dipenuhi dengan campuran antara tak sabar menunjukkan buatan mereka kepada Albin dan perasaan cemas, kehadiran Yuki memberikan Estrella rasa dukungan yang menenangkan. Memeluknya erat dari belakang dan menempelkan pipinya ke punggung Yuki yang membiarkannya melakukan itu.
Saat mereka tiba di rumah sakit, mereka terkejut melihat Arlend yang berdiri di halaman rumah sakit, nampak menunggu sesuatu. Lelaki berkacamata persegi empat itu berdiri dengan canggung, memegang boneka tangan berbentuk penyu, tanpa menyebutkan tujuannya.
"Arlend, apa yang kau lakukan di sini?" tanya Yuki, bingung.
"Aku di sini untuk mengunjungi seorang teman yang bekerja di rumah sakit," jawab Arlend, sedikit nada tidak nyaman terdengar di dalam suaranya. "Tapi sepertinya dia sibuk. Keberatan kalau aku bergabung dengan kalian berdua saja?"
Yuki merasa tidak punya alasan untuk menolaknya meskipun sebenarnya dia enggan bersedia apabila Arlend ikut dengan mereka—memutuskan untuk bertanya pada Estrella, yang mengangguk sedikit. "Tentu, kenapa tidak?" akhirnya, Yuki setuju.
Ketiganya berjalan melalui koridor rumah sakit, menemukan area taman yang teduh dengan bangku dan meja terbuat dari kayu. Estrella pergi untuk mengunjungi Albin, meninggalkan Yuki dan Arlend di taman itu dengan perasaan canggung antara mereka berdua.
Yuki membongkar tas punggungnya, mengeluarkan peralatan Matcha Latte yang ia bawa dari kedai, kemudian mulai memasangnya, setelah itu menyiapkan tripod kecil dan meletakkan ponselnya di sana, mengatur panggilan video ke nomor Estrella, mengecek suara dan kualitas video, memastikan Albin dapat melihat semuanya secara langsung. Arlend tetap duduk terdiam, memperhatikan persiapan Yuki yang cermat itu, membuat Arlend maupun Yuki semakin canggung.
Saat ponsel Yuki dan ponsel Estrella yang dari dalam ruang perawatan tersambung, memperlihatkan wajah Albin yang pucat mencoba untuk melambaikan tangan kepada Yuki di kamera, melihat itu, Yuki tersenyum dan mulai membuat Matcha Latte, gerakannya tepat dan percaya diri. Yuki mengatur posisi ponselnya, agar Albin bisa dengan jelas melihat bagaimana proses pembuatannya itu. Disampingnya, Arlend tetap diam, emosinya bercampur aduk saat mengamati pemandangan itu.
Yuki mulai dengan hati-hati mengukur bubuk matcha, bubuk hijau cerah menonjol di mangkuk keramik putih. Dia menyaringnya dengan cermat, memastikan tidak ada gumpalan yang tersisa. Albin memperhatikan dengan saksama melalui panggilan video, matanya terbelalak karena penasaran.
"Pertama, kita menyaring matcha agar halus," jelas Yuki melalui mikrofon ponselnya, suaranya tenang dan mantap. Dia kemudian menuangkan air panas ke dalam mangkuk, menggunakan pengocok bambu untuk membuat campuran berbusa. Pengocok itu bergerak dengan cepat, tangan Yuki bergerak kabur saat dia dengan ahli mencampur matcha.
Wajah Albin berseri-seri karena terpesona. "Wow, itu terlihat sangat keren!" serunya lemah, suaranya mengandung campuran kekaguman dan rasa lelah.
Estrella tersenyum melihat antusiasme adiknya itu. “Yuki benar-benar ahli dalam hal ini, Albin. Dia membuatnya khusus untukmu hari ini.”
“Benarkah!? Wow!” Baik Yuki dan Estrella yang melihat wajah bahagia Albin, tak bisa mempercayainya, kebahagian tersendiri hadir di antara mereka berdua.
Yuki melanjutkan, menuangkan campuran matcha ke dalam gelas berisi es dan menambahkan susu, menciptakan efek berlapis yang indah. Menyelesaikannya dengan mengaduk perlahan, menyatukan resep itu menjadi minuman berwarna hijau yang terlihat menyegarkan.
Arlend mulai menunjukkan sedikit rasa cemburunya. Dia mencengkeram boneka tangan penyu itu lebih erat, pikirannya berpacu dengan pikiran-pikiran yang tidak dapat dia ungkapkan dengan baik. Sehingga, memilih diam hinngga saat ini.
Akhirnya, Yuki memberi isyarat kepada Estrella untuk mengambil Matcha Latte yang telah selesai dibuat itu. Sementara Estrella masih di dalam perjalanan, karena panggilan videonya masih tersambung dengan milik Yuki, Albin menyapa Yuki, “Kakak keren sekali, suatu saat aku ingin diajari langsung oleh Kak Yuki” katanya sambil tersenyum hangat. Mendengar itu, hati Yuki menjadi hangat, tersenyum simpul.
Estrella mengambil minuman itu dengan hati-hati, matanya dipenuhi rasa terima kasih. “Terima kasih, Yuki. Ini sangat berarti bagi kami,” katanya lembut.
Saat Estrella berjalan kembali ke kamar Albin, Yuki mulai merapikan perlengkapannya. Arlend yang duduk, matanya mengikuti Estrella hingga perempuan itu menghilang dari pandangannya.
Di dalam kamar Albin, Estrella dengan lembut menyerahkan matcha latte kepada kakaknya. “Ini, Albin. Cobalah dan kamu akan menyukainya.” Katanya, suaranya lembut.
Albin menyesapnya, matanya semakin berbinar. “Enak sekali! Terima kasih, Kak Estrella. Dan sampaikan terima kasih kepada Kak Yuki untukku,” katanya, senyum kecil terbentuk di bibirnya.
Estrella mengangguk, hatinya dipenuhi dengan campuran perasaan gembira dan lega. “Aku akan melakukannya, Albin. Aku sangat senang kamu menyukainya.”
Kembali ke taman, Yuki dan Arlend yang ada disana mulai tidak betah dengan kecanggungan mereka. Yuki menatap Arlend, merasakan ketegangan. “Terima kasih sudah ada di sini, Arlend.” Katanya, mencoba menghilangkan kecanggungan.
Arlend memaksakan senyum, hatinya berat dengan perasaan yang tak bisa ia jelaskan. “Tidak masalah, Yuki. Aku secara kebetulan juga berada di sini," jawabnya, meskipun pikirannya dipenuhi dengan pikiran yang berkecamuk.
Saat Estrella bergabung kembali dengan mereka, Yuki dan Arlend berdiri. "Albin suka dengan Matcha Latte itu," katanya, matanya berbinar karena emosi bahagia. "Terima kasih kalian berdua sudah datang ke sini."
Yuki tersenyum hangat. "Apa pun untukmu dan Albin, Estrella. Kami di sini untukmu."
Arlend mengangguk, ekspresinya sedikit melembut. "Ya, kami di sini untukmu," katanya, kalimat itu membuat Yuki tersadar apa sebenarnya motif Arlend membersamai mereka berdua.
Mereka bertiga berjalan kembali melalui koridor rumah sakit, perasaan lega memenuhi Estrella. Namun tidak dengan Yuki, yang tersadar apa sebenarnya tujuan Arlend. Begitupun dengan Arlend, yang secara tidak sengaja membocorkan niatnya kepada Yuki. Manajer dan Shift Lead itu berada di bertarungan yang mereka tidak bisa dijelaskan, hanya saja, Yuki bertanya-tanya, sejak kapan? Sejak kapan ia tidak menyadari Arlend padahal mereka sudah sejauh ini.