Aku melihat ibu yang sedang mengaduk bahan-bahan untuk membuat donat. Peluh berkeringat, namun ibu tetap semangat meremas-remas adonan yang terlihat seperti slime berwarna kuning pucat. “Jangan duduk saja, coba kamu lihat ke depan, apa sudah datang paman dan bibimu?” Ibu menegurku yang sedari tadi hanya duduk termangu melihatnya sibuk sendiri di dapur.
“Malas,” kataku cepat.
“Setidaknya bikinkanlah minuman. Mereka haus, sudah jauh-jauh datang mengunjungi nenek,” dengan sabar ibu memintaku lagi.
“Bu! Kita yang haus. Kita bahkan naik angkot berkali-kali, menyambung lagi dengan becak supaya sampai ke rumah nenek. Mereka naik motor sendiri, Bu. Bahkan Bibi Tarsih mengendarai mobil yang selalu sejuk! Kita yang seharusnya diberi minuman. Kita yang seharusnya istirahat dan bercengkrama di teras.” Nada bicaraku mulai tinggi. Ibu melemparku dengan kain lap sambil mengisyaratkan agar suaraku lebih pelan. “Gak sopan!” ujar ibu kemudian dengan mata besar, “udah buatkan saja teh es apa susahnya?”
Aku dengan malas-malasan berdiri, merajuk setengah mati namun tidak ingin melawan ibu lagi.
Aku ambil es batu dari kulkas, aku pukul es plastik itu dengan keras sambil menyalurkan emosi tentu saja, lalu dengan grasak-grusuk memasukkannya ke wadah besar tempat air itu sudah berwarna seperti air kencing orang yang dehidrasi. Cokelat pekat. Ibu berdiri, berjalan keluar untuk menyapa paman dan bibi saat aku meludahi wadah besar itu berkali-kali, bahkan hingga aku paksakan dahak keluar. Jika mengingat bagaimana ibu diperlakukan selama ini oleh paman dan bibi, aku juga ingin mengencingi air ini agar berwarna lebih pekat. Lalu aku teringat, semprotan anti tikus yang dibeli ibu dengan susah payah menyisihkan uang belanja karena nenek selalu mengeluh dapur ini bau tikus, yang tersimpan di lemari bawah bak cuci piring. Aku ambil dan aku tuang sepertiga ke dalam es teh ini. Baunya sedikit menyengat, hingga aku berinisiatif merebus daun pandan dan memasukkan lagi ke dalam wadah. Menyamarkan bau bahan kimia dari racun itu.
Ibu datang dan bertanya padaku, “Kamu kenapa senyum-senyum?”
“Cogitationis poenam nemo patitur,” kataku sambil mengaduk-ngaduk es teh ini agar dingin merata. Ibu yang kelihatannya tidak mengerti dan juga tidak punya waktu lebih untuk bertanya apa maksudnya, hanya menggelengkan kepala. Aku tersenyum saja, “Bu, coba. Udah manis atau belum?” aku menyendokkan es teh pada ibu yang disambut ibu dengan mulutnya.
“Mantap. Kamu bawa ke depan. Sepupumu sudah datang.” Kata ibu setelah mencicipi es teh buatanku. Aku mengangguk, mengangkat wadah berat itu dan menyajikan es teh manis segar berwarna cokelat pekat untuk paman, bibi dan sepupu tercintaku.
(Tamat)
Bjirrr plot twist!
Comment on chapter ES DOGER YANG BANYAK SUSUNYA