Libur semester kali ini menjadi sebuah liburan yang paling berkesan sekaligus paling melelahkan bagi Dimas. Betapa tidak! Di saat teman-teman sekolahnya pada asyik mengisi liburan dengan mengunjungi tempat-tempat rekreasi, tapi Dimas malah mengisi hari-hari liburnya dengan bekerja sebagai kuli bangunan di sebuah proyek perumahan. Tentu saja hal itu bukan tanpa alasan Dimas lakukan. Semua demi keinginannya untuk memiliki sebuah sepatu sport merk ternama. Sudah lama ia ingin punya sepatu itu. Namun mau minta pada orang tua jelas tidak mungkin. Ia terlahir dari keluarga yang tidak mampu. Sehingga bisa sekolah sampai SMA ini saja sudah merupakan anugerah yang luar biasa.
Makanya kini ia rela memeras keringat demi untuk mencapai keinginannya itu. Bahkan tak jarang ia ikut kerja lembur sampai jam 9 malam. Dan alhamdulilah, setelah dua Minggu bekerja ternyata hasilnya cukup untuk membeli sepatu yang diinginkannya itu. Bahkan masih ada sisa yang kemudian ia tabung dalam celengannya yang berbentuk ayam.
Awal hari masuk sekolah setelah libur semester, Dimas sudah dapat memakai sepatu hasil jerih payahnya itu dengan bangga. Serasa kepercayaan dirinya bertambah dua kali lipat dari hari-hari sebelumnya. Ternyata benar bahwa barang yang dibeli dari hasil keringat sendiri memiliki nilai kepuasan jauh lebih tinggi dari pemberian orang tua.
Hingga tanpa terasa, dua Minggu sudah sepatu sport yang gaul itu menemani hari-hari indah Dimas. Namun sayang tiga hari terakhir ini, Dimas tak menjumpai Prita. Adik kelas yang telah mencuri hatinya semenjak masuk ke sekolah ini. Walau sejauh ini Dimas belum berani mengungkapkan perasaannya pada Prita, tapi harapannya untuk dapat memacari Prita sangatlah besar. Tiga hari tak melihat senyum gadis berambut lurus itu, terasa ada yang kurang lengkap dalam kehidupan Dimas. Makanya pagi itu ia beranikan diri untuk mencari informasi tentang Prita lewat teman-teman sekelas gadis itu.
“Kak Dimas pasti sedang mencari Prita, ya?” tanya seorang siswi begitu Dimas melongok di kelas X.B
“Ya.” Angguk Dimas tanpa basa-basi.
“Kebetulan Kak Dimas datang ke mari ….”
“Maksudnya?”
“Begini Kak, sudah tiga hari ini Prita tidak masuk. Ia lagi dirawat di Rumah Sakit.”
“Sakit ...?” Dimas jelas tampak kawatirnya.
“Iya.”
“Sakit apa?”
“Tipesnya kambuh. Dan tadi Prita SMS saya agar memberitahukan pada Kak Dimas bahwa nanti pulang sekolah Kak Dimas diminta menemui Prita di Rumah Sakit.”
“Kenapa gak langsung SMS aku?”
“Kan Kak Dimas gak punya HP. Gimana sih?”
“Iya ya,” ujar Dimas sambil tertawa. Ia pun lantas pergi setelah mengucapkan terima kasih.
***
Prita baru saja diperiksa oleh seorang dokter ketika Dimas masuk ke kamar tempat ia dirawat. Dimas segera mengambil kursi yang tersedia dan mendudukinya di tepi ranjang. Wajah Prita masih tampak sedikit pucat dan badannya tampak masih lemah.
“Gimana keadaanmu, Prita? Sudah baikkan?”
“Sudah, Kak. Malah nanti sore aku sudah boleh pulang. Karena itu aku ingin minta bantuan Kak Dimas. Mau kan, Kak Dimas bantu Prita?”
“Oke, katakan saja. Aku selalu siap membantumu, Prita.”
“Terima kasih, Kak.”
“Apa yang bisa aku lakukan untukmu, Prita?”
“Begini, Kak Dimas. Sebelumnya aku minta kalau aku jadi merepotkan Kak Dimas. Nanti kan aku sudah boleh pulang tapi orang tuaku masih di luar kota. Mereka belum bisa datang hari ini. Jadi aku ingin minta tolong Kak Dimas untuk mencarikan uang guna membayar biaya perawatanku. Nanti orang tuaku yang akan menggantinya.”
“Memangnya berapa biayanya?”
“Hanya tujuh ratus lima puluh ribu, Kak.”
Hah! Dimas melongo. Darimana ia bisa mendapatkan uang sebanyak itu. Sedang hasil kerjanya terlanjur ia belikan sepatu. Sesaat lamanya Dimas jadi diam tergugu.
“Gimana, Kak? Kak Dimas bersedia kan membantu Prita?” tanya Prita penuh harap.
Di hadapan orang tersayang, tak bisa Dimas berkata tidak. Terpaksa ia mengangguk dengan hati yang berkecamuk. Otaknya mulai berputar keras guna mencari cara untuk membantu Prita.
***
Braaakk!
Dimas memecah celengan berbentuk ayam yang sudah tiga tahun ini disimpannya. Cekatan, tangannya mengumpulkan uang yang berserakan di lantai. Setelah terkumpul ia pun mulai menghitungnya. Tapi, ya Tuhan … jumlah uang itu ternyata belum mencukupi untuk melunasi biaya perawatan Prita. Duuh, bingung Dimas jadinya. Ke mana ia harus mencari kekurangan biaya itu? Sedang ia tak punya barang berharga yang bisa dijualnya.
Dalam kebingungannya, tiba-tiba matanya tertumpu pada sepatu sport warna putih yang teronggok di sudut kamar kosnya. Ya sepatu itu. Bila sepatu itu diloakkan tentu bisa menutup kekurangan biaya perawatan Prita. Tapi … ahk, berat rasanya hati Dimas. Baru dua Minggu sepatu itu bisa dimilikinya dengan suatu kerja keras yang luar biasa, haruskan kini ia loakkan demi Prita?
Dan Dimas tak mau berpikir panjang lagi. Bagi Dimas, meski belum menjadi kekasih Prita adalah segalanya. Maka buru-buru ia bungkus lagi sepatu itu dan kemudian melangkah ke pasar loak.
***
Tanggal 13 September adalah hari kelahiran Dimas. Namun bagi Dimas bukanlah sesuatu yang istimewa. Baginya hari itu tetap sama dengan hari-hari yang lainnya. Sebab dari lahir sampai kelas 3 SMA ini, sekali pun belum pernah ia merayakan ulang tahun. Bukannya tidak mau, ia juga ingin, tapi keterbatasan ekonomi membuatnya pilih berhemat uang untuk biaya kos, makan, dan keperluan sekolahnya yang sering terlambat.
Karena itu, di malam ulang tahunnya itu, Dimas hanya duduk di bangku kayu depan kamar kosnya yang memang terletak paling ujung. Badannya bersandar pada tembok dan matanya menatap langit yang gelap tanpa bintang.
“Selamat malam Kak Dimas.” Satu suara merdu yang sudah tak asing lagi baginya tiba-tiba menyapa.
Dimas menoleh dan langsung melemparkan seulas senyum manis di bibirnya.
“Selamat ulang tahun, Kak Dimas. Semoga panjang umur, selalu sehat, tambah pintar, dan banyak rejekinya,” ujar Prita langsung memeluk dan mencium Dimas sebelum cowok itu sempat berkata-kata.
“Terima kasih, Prita. Tapi maaf, aku tak ….”
“Tak merayakan ulang tahun?”
“Ya.”
“Tidak apa-apa, Kak Dimas. Prita ngerti kok. Prita datang membawa sebuah kejutan kecil untuk Kak Dimas. Jadi sekarang Kak Dimas pejamkan mata, sampai aku selesai menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun, ya?”
Dimas pun memejamkan mata. Prita menyalakan lilin berbentuk angka 17 yang berwarna merah dan putih sambil menyanyikan lagu ulang tahun. Setelah meletakkan lilin berukuran kecil itu di bangku, Prita memanggil dua orang yang sedari tadi berdiri di tempat yang agak jauh dengan isyarat tangannya.
Duuh, Dimas terkejut bukan kepalang ketika membuka matanya. Di samping Prita sudah berdiri seorang lelaki dan seorang perempuan dengan penampilan yang elegan. Prita mengenalkan Dimas pada mereka yang ternyata adalah orang tua Prita.
“Saya selaku orang tua Prita mengucapkan terima kasih pada Dimas yang telah rela membantu Prita di saat kami belum datang. Kami sangat hargai kerelaan Dimas berbagi itu. Apa lagi untuk membantu Prita, Dimas sampai rela meloakkan sepatu yang dengan susah payah bekerja untuk membelinya.”
“Jadi Bapak dan Ibu sudah tahu kalau saya ….”
“Ya, kami tahu Dimas. Kebetulan sudah dua tahun ini saya menjadi ketua koperasi pedagang loak di daerah ini. Jadi meskipun kami berada di luar kota, kami tetap tahu apa-apa yang terjadi di pasar loak kota ini. Karena itu, atas keiklasan berbagimu dalam membantu Prita, dan juga prestasimu di sekolah, kami dari pengurus koperasi akan memberikan beasiswa padamu, supaya bisa kau pergunakan sampai kuliah nanti.”
“Beasiswa, Pak?” Dimas nyaris tak percaya.
“Ya, untuk itu, besuk kau akan dijemput Prita ke kantor koperasi guna mengisi persyaratan dan formulirnya. Sekaligus mengambil uangmu yang dipakai untuk Prita.”
“Terima kasih, Pak. Terima kasih.”
“Dan sebagai hadiah ulang tahunmu, ini kami ada bingkisan untukmu.”
Prita memberikan sebuah bungkusan berpita kuning pada Dimas. Dengan senyum yang merekah Prita dan kedua orang tuanya menyuruh Dimas untuk membuka bungkusan itu. Dan ternyata isinya adalah sepatu sport putih milik Dimas yang telah ia loakkan kemarin.
Sekali lagi Dimas mengucapkan terima kasih. Prita menggenggam erat tangan Dimas saat berpamitan. Tak ada kata dan janji indah yang terucapkan. Namun dalam sorot mata mereka telah memancarkan sejuta harapan. Harapan untuk berbagi suka dan duka bersama-sama.
“Dan ini tahu takwa, tahu kuning khas Kediri spesial untukmu, Dim. Kudengar kau rindu dengan tahu kuning buatan emakmu. Semoga tahu takwa ini bisa mengobati kerinduanmu, ya.” Prita berkata dengan senyum terindah yang dimilikinya.
Tanpa berkata-kata lagi Dimas mengambil sepotong tahu kuning itu. Perlahan ia buka kertas pembungkusnya seolah ia juga sedang membuka pintu hatinya. Hati yang selama ini sepi tak berpenghuni.
Prita yang melihat gerakan lamban Dimas saat hendak memasukkan tahu takwa ke mulutnya, buru-buru mendahului menjulurkan tangan. Dimasukkannya tahu kuning yang ada di tangannya ke mulut Dimas. Dimas tersipu malu karenanya.
Dan pijar lilin yang masih menyala itu terasa lebih hangat dari biasanya. Seolah pijar lilin itu telah pula menyulut hatinya dan menimbulkan percikan-percikan indah yang hadir atas nama cinta.
Cinta dari seorang gadis Kediri yang berwajah manis, senikmat tahu takwa yang sedang menari-nari di mulutnya. Rasa lezatnya dengan cepat menjalar sampai ke dasar hati.