Aroma pemilu menyengat lagi. Di mana-mana spanduk terbentang lagi. Hingar bingar kampanye terdengar lagi. Dan tentu saja, obral janji-janji dimulai lagi. Tapi Sundari tidak peduli dengan semua itu. Ia tetap jalani rutinitasnya sebagai orang desa yang lugu. Pagi mengajar di sekolah dan sorenya mencari rumput untuk kambing-kambingnya yang berjumlah tujuh.
Sebenarnya semula kehidupan Sundari tidaklah semenderita sekarang ini. Dulu bapaknya adalah seorang anggota Dewan, yang sudah 2 periode bertahan duduk di komisi tiga. Kala itu kehidupan mereka masih cukup memadai. Bahkan boleh dibilang lebih cukup dari rata-rata kehidupan masyarakat desa pada umumnya.
Hinggga suatu ketika, ada seorang politikus busuk yang dengan permainan uangnya berhasil duduk sebagai ketua Dewan. Berkat permainan licik orang inilah, tanpa di sadari ayah Sundari terjerat pada tindakan korupsi. Ya sebenarnya sih, bukan ayah Sundari yang korupsi. Namun, karena pada saat itu ayah Sundari adalah bendahara di komisi 3, maka ketika kasus korupsi yang dilakukan politikus itu terkuak, ayah Sundari pun ikut terseret ke dalam tahanan.
Sejak itu, kehidupan keluarga Sundari menjadi berantakan. Roda kehidupan ekonominya terseok-seok bahkan nyaris kandas di tengah jalan. Mereka bertahan hidup dengan berbagai cara. Gali lubang tutup lubang pun jadi biasa mereka lakukan.
Satu hal yang membuat hati Sundari sangat tertekan, yaitu kandasnya hubungan cinta yang ia jalin dengan politikus muda itu. Hubungan yang akhirnya menggoreskan guratan luka yang teramat dalam di hatinya. Sebab orang yang dicintainya ternyata adalah orang yang tega menjerumuskan ayahnya ke dalam penjara.
Kini, semua sudah berlalu seiring perjalanan waktu. Ayahnya telah meninggal. Dan ia juga telah menjadi seorang guru di sebuah Sekolah Dasar, yang merupakan satu-satunya sekolahan yang ada di desanya. Meski sampai sekarang Sundari belum berumah tangga, tapi ia lebih mencurahkan kasih sayangnya untuk ibunda tercinta. Trauma atas luka dari cintanya yang dulu, membuat Sundari memilih menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan yang positif. Ia yakin, suatu saat nanti Tuhan pasti akan mengirimkan seorang pendamping yang terbaik bagi dirinya.
Semoga!
Di ruang guru, suatu hari, Sundari sedang menerima seorang tamu distributor buku LKS dari sebuah penerbit, ketika salah seorang muridnya menghampiri dan berkata.
“Bu Ndari, kelas satu tidak ada yang mengajar, Bu.”
Sundari tersenyum sambil berjalan mendekati muridnya itu.
“Ya, sebentar Bu Guru masih ada tamu. Jadi bilangi teman-temannya jangan boleh ramai ya.”
“Nanti saya ajar lo, Bu,” sahut anak laki-laki itu dengan wajah polosnya.
“Kalau bisa, silakan saja,” kata Sundari enteng.
“Gurunya saya apa Bu Ndari? Kok saya disuruh mengajar?” ketus anak itu menjawab dan sekaligus mengejutkan Sundari.
Sundari pun diam. Ia merasa malu pada tamunya. Sungguh berani anak kelas satu SD yang baru ini. Namanya Panggi. Ia anak pindahan dari luar kecamatan. Anaknya sangat superaktif walaupun dalam segi pelajaran sangat kurang.
“Maaf, Pak. Maklum begitulah anak kelas satu, kadang sopan santunnya masih sangat kurang. Suka ceplas-ceplos dalam omongannya,” kata Sundari pada tamunya.
“Akh, tidak apa-apa, Bu. Namanya juga anak-anak,” jawab sang tamu dengan senyuman.
Setelah mencocokkan orderan buku yang terdapat di nota, Sundari segera membayar sejumlah buku yang dipesannya. Setelah urusan dengan tamu itu ia bereskan, Sundari bergegas menuju kelasnya, khawatir diprotes oleh anak-anak.
Benar saja, begitu Sundari masuk ruang kelas satu, seisi kelas tampak gaduh. Ada yang bermain kejar-kejaran. Ada yang memukul-mukul bangku. Dan ada pula yang bergurau sambil berteriak-teriak tak karuan.
Yah, Sundari maklum! Hari pertama masuk memang masih semrawut. Masa transisi dari TK ke SD kadang membuat anak belum bisa menyesuaikan keadaan. Jadi tinggal bagaimana sang guru dalam mengelola proses pembelajaran. Di perlukan kesabaran ekstra untuk menghadapi anak-anak kelas satu yang terkesan masih liar.
Belum seberapa lama Sundari berkenalan dengan anak-anak kelas satu, Sundari dipanggil oleh Kepala Sekolah karena ada seorang wali murid yang ingin bertemu. Terpaksa Sundari kembali meninggalkan ruang kelas satu dengan satu pesan agar anak-anak tidak gaduh. Tapi dasar kelas satu, di depan gurunya mereka selalu bilang iya, tapi baru saja Sundari meninggalkan kelas beberapa langkah, mereka sudah gaduh lagi.
***
Bel istirahat pun berdentang. Anak-anak dari kelas satu sampai kelas enam segera berlarian keluar kelas. Berebut menuju ke kantin guna menghabiskan seluruh uang saku yang sudah sejak tadi ingin mereka belanjakan.
Sundari melangkah menuju ke ruang guru. Di sana ia sempat berdialog dengan Bu Berty guru kelas empat, mengenai anak yang tadi menyusulnya ke ruang guru. Kebetulan Bu Berty tadi sempat juga menyaksikan apa yang diperbuat Panggi ketika Sundari ada tamu.
“Maaf Bu Berty, saya benar-benar heran melihat sikap Panggi, murid saya itu. Apa di rumah dia tidak mendapatkan perhatian yang cukup dari orang tuanya, kok dia sampai berkelakuan seperti anak gak punya tata krama begitu. Bicaranya yang ceplas-ceplos itu lo yang sering memalukan,” kata Sundari mengeluarkan uneg-unegnya yang selama ini ia simpan dalam hati.
“Panggi itu sepertinya anak yang istimewa, Bu,” celutuk Bu Berty mengomentari apa yang disampaikan Sundari.
“Bukan istimewa, tapi lebih tepatnya, kelainan.”
“Mungkin hanya sembilan puluh persen.”
“Tujuh puluh lima persen saja, entah ada entah tidak,” kata Sundari yang memiliki mata bulat dan bening itu.
“Okelah, dengan teman sendiri, saya berikan,” seloroh Bu Berty sambil beranjak menuju ke kantin.
Mereka pun tertawa bersama. Lantas Sundari segera menyusul langkah Bu Berty menuju ke kantin sekolah.
Di kantin, Sundari bertemu dengan muridnya yang bernama Panggi. Tubuhnya yang kecil tampak ikut berdesak-desakan dengan kakak-kakak kelasnya yang jelas lebih gede ukuran tubuhnya. Tapi Panggi kecil tidak menyerah, dia terus saja meringsek ingin mendapat pelayanan lebih duluan.
“Aiiih!” pekik murid perempuan kelas lima yang ikut mengantri beli jajan.
“Hai, ada apa?” tanya Sundari kaget dan spontan.
“Anak kelas satu ini nakal, Bu.”
“Iya, kamu diapakan?”
“Dia mbukai rok saya,” kata murid perempuan itu sembari menujuk anak kelas satu yang bernama Panggi itu.
Sundari berdiri. Dengan menggandeng tangannya, Sundari bawa muridnya yang bernama Panggi itu ke dalam ruang kantin.
“Panggi! Kamu jangan nakal! Kamu tidak boleh berbuat seperti itu!”
“Kenapa, Bu?”
“Itu namanya tidak sopan!”
“Gitu aja nggak boleh, Bu Bu,” rungut Panggi jelas sangat menjengkelkan.
Duh, Sundari jadi geram. Ingin rasanya ia jewer anak itu seandainya ia tak ingat bahwa di jaman sekarang tidak boleh ada tindakan kekerasan dalam dunia pendidikan. Terpaksa Sundari hanya bisa mendesah. Kecewa!
Mau tak mau, ia jadi membenarkan apa yang dikatakan Bu Berty tadi, bahwa anak itu memang kurang waras. Mungkin SD bukanlah sekolah yang tepat untuknya. Harusnya Panggi itu bersekolah di SLB saja. Akh! Tapi benarkah demikian adanya? Pikiran Sundari berkecamuk. Panggi itu anak kurang waras, atau pemberani ya? Atau anak nakal sebagai akibat kurangnya sentuhan kasih sayang dari orang tuanya? Entahlah! 15 tahun Sundari mengajar di sekolah ini, tapi baru kali ini mendapatkan murid yang nyleneh kayak begini.
Sundari jadi berpikir amat jauh. Membandingkan masa kecilnya dulu dengan anak-anak kecil jaman sekarang. Di masa kecilnya, hampir semua ibu-ibu menyusui anaknya dengan ASI sampai usia yang cukup. ASI yang memberikan jalinan kasih sayang yang besar untuk ibu dan anak, membuat para bayi tumbuh dan berkembang menjadi anak-anak yang sopan dan berkepribadian baik. ASI juga memberikan imunisasi untuk kekebalan dan ketahanan tubuh sehingga bayi tumbuh sehat dan punya pribadi yang kuat.
Tapi sekarang, para ibu lebih mempercayakan tumbuh kembang bayinya pada susu sapi yang telah dikemas dengan berbagai bahan pengawet yang kadang melebihi takaran. Maka tak heran bila bayi sekarang tumbuh menjadi anak-anak yang kelakuannya tak jauh dengan anak sapi. Hanya pandai mengeluh dan jauh dari sopan santun yang menjadi karakter adat ketimuran. Para orang tua pasrah bongkokan pada sekolah tentang pendidikan dan perkembangan anaknya. Mereka lupa, bahwa waktu terbanyak yang dimiliki anak adalah di rumah. Jadi pendidikan di keluargalah yang sebenarnya paling menentukan bagi perkembangan seorang anak.
Barangkali karena masa kecilnya yang terlalu banyak minum susu sapi kemasan itu juga yang menjadikan banyak pejabat di negeri ini melakukan korupsi. Sapi kan tidak bisa berpikir. Tak peduli itu makanan milik siapa, asal dia merasa lapar, pasti disikat. Ketularan sifat sapi yang demikian inilah, yang membuat jumlah koruptor semakin bertambah.
“Hayo, Bu Ndari melamun,” celutuk Panggi lagi langsung membuyarkan lamunan.
***
“Bu Ndari kok melamun saja? Mikir si dia, ya?” kata Pak Marji, guru kelas tiga yang gemuk itu.
Sundari kaget! Seulas senyum segera terkembang di bibirnya sekadar untuk menutupi rasa kagetnya yang tak terkira. Tapi mau tak mau, pertanyaan Pak Marji itu membuatnya menelisik serangkaian perjalanan hidupnya yang sampai sekarang belum menikah.
Mikir si dia? Si dia siapa? Pacar? Akh, tidak! Rasanya sudah terlalu lama ia menutup diri dari rasa cinta. Pintu hatinya rasanya sudah karatan dan sulit dibuka oleh pria manapun. Pemuda yang dulu menggandrunginya dengan rasa cinta, lenyap bagai ditelan bumi setelah menjebak ayahnya ke dalam bui. Sejak itulah pintu hatinya seolah terkunci rapat- rapat. Sundari menjadi perawan yang semakin hari semakin tua karena digerogoti oleh usia. Godaan dan sindiran yang sering dilontarkan oleh teman sesama guru, hanya ia tanggapi dengan senyuman. Senyum sumbang tentu saja. Kini cinta dan kasih sayangnya ia curahkan sepenuhnya kepada anak-anak didiknya. Merekalah anak-anaknya. Merekalah hiburan yang selalu mengisi hari-harinya. Hingga ia tak pernah merasa bahwa batang usianya semakin tinggi saja.
Penderitaan ibunya yang harus kehilangan suami lantaran permainan politik dari rekan-rekan separtainya, membuat Sundari lebih berhati-hati dalam melangkah. Ia tak mau jatuh ke lembah hitam yang kedua kalinya. Ia tak mau lagi berurusan dengan lelaki yang jadi pejabat sekaligus pengkianat bagi rakyat. Mengaku wakil rakyat tapi nyatanya justru menyikat habis uang anggaran yang seharusnya dipergunakan untuk mensejahterakan rakyat. Telah ia kubur dalam-dalam kenangan kisah kasihnya bersama seorang wakil rakyat yang dulu menjanjikan cinta setia, tapi pada akhirnya justru menjebak ayahnya masuk penjara. Sekalipun, Sundari tak akan pernah mau lagi mengenal lelaki yang kini ia benci itu.
“Bu Ndari, ditunggu anak-anak,” tegur Pak Marji lagi demi melihat Sundari malah tenggelam dalam lautan angan-angannya yang kelam.
“Ya, Pak. Terima kasih.”
Sundari segera menuju ke ruang kelas satu. Ia menatap anak-anak di depannya satu persatu. Kemudian ia tanyakan nama mereka masing-masing. Ia ingin tahu lebih jauh tentang Panggi yang tadi unjuk rasa padanya sewaktu ia menerima tamu.
“Namamu siapa?” tanya Sundari kepada anak laki-laki kurus yang kini berdiri di hadapannya itu.
“Panggi.” Singkat anak itu menjawab.
“Hanya Panggi? Nggak ada terusannya?”
“Ada Bu, Panggi Mbeler,” jawab anak-anak yang lain.
“Panggilannya Mbeler, Bu,” sahut anak yang lain lagi.
“Kenapa kalian memanggilnya begitu?” tanya Sundari heran.
“Karena hidungnya selalu keluar ingus, Bu. Mbeler terus,” jawab beberapa anak dengan suara serempak.
Hah! Sundari tersentak. Masa Panggi yang dalam kesehariannya tampak rapi dan bersih, kok dibilang ingusan! Tapi Sundari sudah tak mau peduli lagi. Kemudian ia berkeliling, melanjutkan pertanyaannya kepada anak-anak yang lain. Karena sudah menjadi kebiasaan di kelas satu, bila awal masuk sekolah mereka harus mengenalkan dirinya. Mulai dari nama, nama orang tua, jumlah saudara, hingga pekerjaan orang tuanya. Malah bagi anak yang cerdas, tak lupa mengatakan alamat rumahnya juga.
Dengan mengenal lebih dekat murid-muridnya, Sundari yakin keakraban di kelas akan terjalin dengan mudah. Bila suasana kelas menyenangkan, tentu pembelajaran akan berlangsung dengan baik. Murid-murid dapat belajar dengan tenang, damai, dan aman. Dengan demikian diharapkan tujuan pendidikan akan tercapai.
Tidak seperti wakil rakyat, yang hanya mau mengenal rakyatnya ketika hendak mencalonkan diri saja. Di mana-mana mereka tebar pesona, sok akrap dan sok peduli pada sekecil apapun aspirasi dan kebutuhan rakyat yang tinggal di daerah pemilihannya. Tapi begitu mereka sudah jadi wakil rakyat, jangankan punya niat untuk mengenal rakyat yang di wakilinya, untuk ditemui saja mereka selalu berusaha mengelak. Malah yang lebih menjengkelkan, banyak wakil rakyat yang akhirnya justru jadi pengkianat masyarakat. Tidak pernah menggubris aspirasi dan keluh kesah rakyat, tahu-tahu malah menyikat habis uang anggaran yang seharusnya untuk rakyat!
Akh! Sundari menepis angannya. Kemudian ia menuju meja guru, duduk di kursi dan membuka-buka buku data kelasnya.
“Bu, Panggi makan di kelas!” Tiba-tiba terdengar laporan dari salah satu murid perempuannya.
Sundari menoleh ke arah Panggi. Ternyata benar. Dia terlihat sedang mengunyah sesuatu. Bahkan mulutnya terlihat penuh.
“Panggi, di dalam kelas tidak boleh makan, ya. Kalau kamu makan di dalam kelas, semua teman harus diberi, termasuk Bu Guru.” Sundari berkata demikian agar Panggi berhenti makan dan menyimpan makanannya. Tetapi dugaannya meleset. Tiba-tiba Panggi malah berdiri dan berjalan ke arahnya.
“Kalau Bu Guru mau, nih dimakan,” kata Panggi sambil menyodorkan kue yang dibawanya ke mulut Sundari.
Untung Sundari segera menghindar. Sehingga kue itu tak sampai menyentuh bibirnya. Sundari segera berdiri. Hampir saja tangannya terulur hendak menepis tangan Panggi. Tapi tidak jadi. Rupanya ia masih bisa mengendalikan emosinya dengan sempurna.
“Panggi! Ayo duduk! Kamu tidak boleh nakal. Apa yang kamu lakukan tadi, adalah perbuatan yang tidak sopan pada Bu Guru. Sekali lagi kamu berbuat seperti itu, maka kamu akan Bu Guru hukum. Coba lihat teman-temanmu, mereka duduk dengan baik kan? Tidak ada yang berulah seperti kamu!”
“Bu Guru jangan ngomong saja, nih cepat dimakan. Tadi katanya minta!” kata Panggi lagi sambil berusaha menyodorkan kue ke tangan Sundari.
Duh! Sundari tidak tahan diperlakukan seperti ini. Meskipun oleh anak kecil. Segera ia berlari keruang guru. Ia hempaskan pantatnya yang seksi di kursi. Ia tutup wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia menangis!
Melihat tingkahnya yang tampak aneh di mata Kepala Sekolah, lelaki yang sebagian besar rambutnya sudah beruban itu menghampirinya sembari bertanya.
“Ada permasalahan apa, Bu Ndari?”
Sundari mendongak. Dengan selembar tissue ia hapus air matanya. Tapi ia tetap diam, tak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya dengan lemah. Setelah itu ia menunduk lagi sambil menutup mukanya dengan telapak tangan. Dari derap sepatu yang ia dengar, ia bisa merasakan kehadiran beberapa rekan guru di dekatnya.
“Ada apa Bu Ndari?” Bu Wigati juga buka suara sebagai bentuk perhatian dan kepedulian sebagai rekan kerja.
Sundari belum buka suara. Tapi ia yakin, mungkin teman-temannya pada bingung karena tak tahu apa yang menimpa dirinya di kelas.
“Ya sudah kalau Bu Ndari belum bisa mengatakan permasalahan yang Ibu hadapi sekarang. Tak apa. Kapan pun Bu Ndari butuhkan, kami semua siap membantu,” kata Kepala Sekolah lagi dengan suara lebih lembut.
Tapi Sundari belum juga bereaksi. Tampaknya ia belum bisa menata hatinya yang baru saja teracak-acak oleh sikap Panggi yang di luar batas kewajaran.
“Tapi sekarang yang jelas, Bu Ndari sedang ditunggu seorang tamu. Tampaknya seorang wali murid.” Lanjut Kepala Sekolah.
Tamu! Mendengar ada tamu yang menunggunya, Sundari segera menata wajah. Mencoba mengembalikan emosinya dalam keadaan normal. Ia tak mau terlihat lemah.
“Di mana tamunya, Pak?” tanya Sundari kepada Kepala Sekolahnya dengan suara lirih.
“Di ruang tamu, Bu.”
Sundari pun melangkah dengan keyakinan yang masih setengah dikuasainya.
***
Astaga! Bagai mendengar petir di siang hari, wajah Sundari yang baru saja di upayakan bisa kelihatan lebih cerah, mendadak jadi pucat pasi ketika mengetahui wajah tamu yang telah menunggunya. Mas Faisal! Ya, Faisal! Lelaki anggota Dewan yang telah menjadi pejabat pengkianat rakyat, yang dengan tanpa hati tega mengkorupsi uang anggaran yang seharusnya digunakan untuk membangun jalan di desanya. Dan yang lebih menyakitkan, dalam melakukan aksi korupsinya, orang ini juga mencatut nama ayah Sundari yang kala itu sebagai bendahara komisi 3 hingga masuk penjara, dan akhirnya meninggal karena beban pikiran yang teramat menyiksa.
Akh! Betulkah yang ada dihadapannya kini adalah Faisal yang ia kenal dulu itu? Pikir Sundari semakin bimbang. Tampaknya lelaki yang dulu telah banyak mengukir kenangan indah dalam hidupnya itu sudah banyak berubah. Badannya menjadi kurus. Kerempeng malah! Sudah banyak uban di kepalanya. Hanya kumisnya yang masih tetap seperti dulu, masih terawat rapi.
Oh! Ingat kumis itu, Sundari jadi ingat rasa geli yang mendera pipi dan lehernya tiap kali lelaki itu menciumi dirinya. Ciuman yang sering mereka lakukan tiap mereka bertemu. Ciuman yang tetap saja terasa indah dan mesra walau dilakukan dengan sembunyi- sembunyi agar tidak diketahui orang tuanya.
Ciuman yang kini dirasa memporakporandakan ketenangan hatinya. Sehingga tanpa terasa mulutnya hanya bisa berdesis lirih.
“Mas Faisal ….”
“Sundari …,” sambut Faisal sambil berdiri dan berjalan kearah Sundari.
Perlahan Faisal mengulurkan tangan. Ketika Sundari menyambut uluran tangan itu, Faisal langsung menggenggam tangan Sundari erat-erat. Seakan enggan untuk melepaskan. Sundari segera menarik tangannya, sungkan dilihat teman-teman. Dan juga takut terbawa perasaannya yang mendadak jadi tidak karuan.
“Silakan duduk Mas, apa kabar?” tanya Sundari setelah mati-matian berusaha mengendalikan diri dari rasa emosi.
“Baik,” jawab Faisal singkat.
“Jadi kau yang ngajar kelas satu dan jadi wali kelasnya Panggi?”
Sundari hanya mengangguk pelan.
“Ya,” jawabnya hampir tak kedengaran.
Sejenak mereka terdiam. Pertemuan tak terduga itu menghanyutkan mereka pada kenangan di masa silam. Ada begitu banyak saat-saat indah yang pernah mereka jalani bersama. Yang kalau boleh jujur, sampai detik ini masih sering terlintas dalam pikiran mereka. Setelah beberapa saat lamanya mereka berdiam diri, akhirnya Faisal yang mengalah untuk memulai pembicaraan lagi.
“Sekarang anakmu berapa, Ndari?”
“Banyak Mas. Satu kelas. Semuanya ada 22 anak. Mas Faisal sendiri berapa anaknya sekarang?” balik tanya Sundari tanpa senyuman.
“Banyak juga.”
“Berapa?”
“Tiga puluh dua.”
Hah! Sundari terperangah. Dari cerita Faisal akhirnya ia tahu bahwa yang dimaksud Faisal adalah anak asuh yang dimilikinya. Dan Panggi adalah salah satunya. Yang membedakan Panggi dengan anak asuh lainnya adalah bahwa Panggi sebenarnya adalah darah daging Faisal dari pacarnya yang meninggal setelah melahirkan anak dari hasil hubungan gelapnya itu. Dan sampai sekarang ternyata Faisal belum pernah menikah seperti halnya Sundari. Entah karena nasib, atau kekuatan cinta yang pernah mereka miliki.
“Kebanyakan anak asuhku aku temukan di Rumah Sakit. Mereka ditinggalkan begitu saja oleh ibu yang melahirkannya. Dengan berbagai alasan tentu saja. Tapi yang terbanyak karena orang tuanya tak mampu membayar biaya persalinan. Sehingga mereka tak pernah tahu siapa orang tuanya. Akhirnya ya akulah yang mereka anggap orang tuanya.
Dan Panggi jadi anak asuhku yang paling kecil. Aku anggap anak asuh karena aku sendiri tidak yakin apa benar dia anak kandungku. Tapi itu tidak penting bagiku. Yang terpenting bagiku sekarang, aku ingin mencurahkan segenap kasih sayangku dengan sepenuh hati kepada semua anak-anak asuhku. Mereka aku anggap anak-anak yang lahir dari rahimmu. Agar cintaku padamu tetap abadi, Sundari.”
Hah! Sundari terhenyak. Meski selama ini ia berusaha mempertebal rasa kebencian pada Faisal, tapi kini ketika ia berada di depan lelaki yang telah dianggapnya sebagai pejabat pengkianat rakyat, hatinya terasa hampir luluh. Apalagi setelah mendengar kata-kata bernada cinta yang baru saja diucapkan Faisal langsung di depannya.
Kemudian Sundari teringat saat terakhir pertemuannya dengan Faisal. Ketika itu ia menjenguk ayahnya di tahanan. Faisal juga sedang ada di sana. Walau ia tahu benar bahwa ayahnya jadi narapidana karena ulah Faisal menggelapkan dana pembangunan jalan desa, tapi dari sorot mata lelaki itu Sundari tetap saja menemukan keteduhan yang kerap kali membuatnya merasa rindu.
Predikat pejabat pengkianat rakyat yang kala itu disandang oleh Faisal, memaksa dirinya untuk menjauh dari rasa cinta yang dimilikinya. Lebih baik ia dibenci seorang Faisal daripada dibenci orang sekampung halaman. Di matanya Faisal bukan sekadar pejabat pengkianat rakyat yang telah menyeret ayahnya ke penjara, tapi Faisal juga dagjal yang telah menebarkan kesengsaraan rakyat desa. Jalan desa yang sangat diharap warga untuk dapat meningkatkan perekonomian mereka, nyatanya harus kandas, tidak terealisasi karena dana yang tersedia disikat habis oleh Faisal dan kroni-kroninya. Ia benar-benar tak menyangka jika Faisal yang berstatus Sarjana Hukum itu ternyata justru mempermainkan hukm yang seharusnya ditaatinya.
Diplomasi dan janji-janji yang pernah Faisal ucapkan di depan orang-orang kampung, ternyata hanya bualan orang linglung. Faisal telah mengkebiri demokrasi demi kepentingan pribadinya. Semangat reformasi yang selama ini dia gembar-gemborkan manakala dia akan menjadi pejabat, ternyata hanya isolasi untuk membungkam mulut rakyat agar tidak berteriak menyuarakan aspirasi. Faisal telah memilih jalannya sendiri. Dia lebih suka menjadi tikus-tikus berdasi, ketimbang pelaku birokrasi yang menjunjung tinggi nilai demokrasi.
Dan kini lima belas tahun setelah kejadian itu, Sundari justru bertemu lagi dengan Faisal sang pejabat pengkianat rakyat yang sudah teramat sangat coba ia benci.
“Ndari …,” ujar Faisal membuyarkan lamunan Sundari.
“Ya.” Sundari mendongak dengan lemah.
“Maukah kau jadi Ibu dari anak-anakku?” tanya Faisal penuh harap. Entah harapan palsu atau sepenuh keinginan kalbu.
Sundari tidak dapat segera menjawab pertanyaan Faisal itu. Sundari juga tidak kuasa menatap sorot mata lelaki yang pernah menghuni sebagian ruang hatinya, yang tiba-tiba saja kini muncul kembali di hadapannya. Ia ragu, bisakah pintu hatinya terbuka lagi? Apalagi untuk seorang pejabat yang telah mengkianati kepercayaan rakyat yang dengan penuh harapan telah memilih dirinya sebagai wakil di pemerintah.
“Aku tak bisa menjawabnya sekarang,” sahut Sundari.
“Kenapa?” kejar Faisal tak sabar.
“Perlu pemikiran yang panjang untuk memutuskan hal ini setelah mengingat apa yang telah kau perbuat pada aku, ayahku, dan masyarakat di kampungku.”
“Jadi kau masih mendendam soal itu?”
“Ini bukan soal dendam atau tidak. Tapi ini di sekolahan, jadi bukan tempat yang tepat untuk membicarakan masalah pribadi,” kata Sundari sekedar beralasan.
“Lalu kapan kau bisa jawab?”
“Nanti kita bertemu kalau aku sudah punya waktu,” kata Sundari langsung mengakhiri pertemuan itu. Tanpa permisi ia pun melangkah pergi, menuju ke kelasnya yang dirasakannya semakin menyesakkan tiap kali ia harus bertemu Panggi. Panggi yang kini di ketahuinya sebagai anak dari Faisal sang pejabat pengkianat rakyat. Yang juga telah mengkianati hati dan cintanya.
***
Panggi!
Kini Sundari mulai paham mengapa anak didiknya itu berkelakuan aneh dan cenderung tidak punya tata krama. Barangkali karena uang yang dipakai untuk membesarkannya adalah uang hasil korupsi, maka Panggi tumbuh menjadi anak yang tidak kenal etika. Faisal sendiri telah mengakui bahwa Panggi seharusnya lebih cocok bersekolah di SLB, karena memang daya pikirnya yang rendah dan bahkan tingkahnya terkadang menyerupai anak autis. Mungkin ini adalah karma dari Tuhan. Karena orang tuanya yang berbuat jahat, kini anaknya yang menanggung laknat.
Atau bisa jadi karena semua ini adalah hasil dari sumpah serapah masyarakat yang selama ini telah dizolimi oleh Faisal. Sebagai pejabat yang mengkianati rakyatnya maka tak heran bila masyarakat mendendam dan lantas mendoakan agar pejabat pengkianat rakyat itu mendapat balasan yang setimpal dari Tuhan. Bukankah doa orang yang teraniaya itu akan mudah diijabahi oleh Alloh?
Harusnya para koruptor itu ingat, bahwa pada awal dia menduduki kursi jabatannya, mereka telah disumpah atas nama Tuhan. Jadi kalau di belakang hari ternyata mereka menyelewengkan jabatan dan uang anggaran yang seharusnya dipergunakan untuk masyarakat, sudah pasti murka Tuhan akan menanti. Boleh saja pengadilan dunia tidak dapat menjerat mereka, tapi masih akan ada pengadilan di akhirat. Pengadilan hakiki yang tidak akan pernah bisa mereka suap. Pengadilan yang tidak akan bisa mereka putar balikkan fakta kebenarannya. Pengadilan yang akan jelas-jelas menjanjikan api neraka bagi siapa saja yang bertindak sebagai pejabat pengkianat rakyat.
Akh, Panggi! Di samping kelakuan anaknya yang kelewatan ternyata bapaknya juga seorang yang tidak patut untuk dijadikan teladan. Dan hari ini, tepat di hari yang sama dengan hari kematian ayahnya, Sundari sengaja memenuhi keinginan Faisal untuk bertemu dengannya di suatu tempat. Tempat yang dulu sering mereka gunakan untuk berpacaran secara diam-diam.
“Nah, apa jawabanmu atas pertanyaanku kemarin dulu, Ndari?” tanya Faisal tanpa basa-basi lagi.
“Sebelumnya aku minta maaf, kalau jawabanku ini membuatmu kecewa.”
“Tidak apa-apa. Aku siap mendengarnya, apapun keputusanmu.”
“Terus terang, aku tidak bisa menerimanya.”
“Tapi kenapa? Bukankah kau juga belum menikah?”
“Ya, memang.”
“Atau kau masih belum percaya bahwa aku tetap mencintaimu?”
“Bukan karena cinta.”
“Lalu?”
“Masih pantaskah kau mengharap kepercayaanku, setelah kau hancurkan semua kepercayaan yang pernah aku berikan padamu, dulu?”
“Jadi kau masih belum bisa menerima kenyataan itu, Ndari?”
“Anak mana yang bisa menerima kenyataan bahwa ayahnya yang tak bersalah dijerumuskan ke dalam penjara oleh seorang pejabat pengkianat rakyat, sepertimu?”
“Tapi bukankah waktu itu aku telah berhasil membantu membebaskan ayahmu?”
“Ya, ayahku kemudian memang bebas dari penjara. Tapi ayahku tidak bebas dari tudingan masyarakat sebagai koruptor, yang sebenarnya kaulah pelaku tunggalnya.”
“Oke, oke, aku mengaku bersalah. Kiranya kematian ayahmu telah meninggalkan rasa dendam di hatimu. Tapi harap kau tahu, Ndari. Aku telah bertobat. Sekarang aku gunakan seluruh uangku untuk menghidupi anak asuh. Hingga aku mengesampingkan kepentingan pribadiku untuk memiliki masa depan dengan berumah tangga. Dan alasan utamanya adalah karena aku masih mencintaimu. Apa semua yang kulakukan itu tak ada artinya sama sekali bagimu, Ndari?”
“Sepertinya kau telah salah menilaiku, Faisal.”
“Maksudmu?”
“Kalau sekarang aku tidak mau lagi berhubungan denganmu, itu bukan karena aku memiliki rasa dendam.”
“Kalau demikian apa alasannya?”
“Aku tidak mau mendapat sebutan istri pejabat pengkianat rakyat. Aku malu.”
“Tapi aku sudah bukan pejabat lagi, Ndari.”
“Itu bagimu. Tapi bagi semua masyarakat yang pernah kau dzolomi, sampai kapanpun aku yakin mereka tidak akan bisa memaafkanmu. Apa kau tidak pernah berpikir, betapa susahnya mereka memeras keringat demi untuk menyisihkan sebagian uang guna membayar pajak. Dan setelah hasil tetesan keringat itu terkumpul, kau menggarongnya demi ambisi pribadimu. Jadi andai aku jadi kau, mustinya kau tidak usah lagi menampakkan diri di daerah ini.”
“Jadi kau mengusirku, Ndari?”
“Kalau kau merasa seperti itu, mengapa kau masih duduk di sini?” balik tanya Sundari dengan tatapan mata yang tajam menghujam.
Jujur semua ini sebenarnya adalah sebuah dilema bagi Sundari. Di satu sisi, ia masih memiliki rasa cinta pada Faisal meskipun teramat kecil adanya. Tapi di sisi lain, ia tak mau membuat arwah ayahnya menangis bila melihat putrinya berhubungan kembali dengan pejabat pengkianat rakyat yang telah membikin susah kehidupan keluarganya hingga berakhir dengan kematian ayahnya.
“Ndari, apa yang harus aku lakukan agar kau bisa memaafkan aku?” tanya Faisal masih mencoba bertahan pada keyakinan.
Tapi jawaban Sundari ternyata justru lebih menyakitkan.
“Jika kau bisa mengembalikan keadaan seperti sebelum kau menjadi pejabat pengkianat rakyat, maka aku bersedia kembali padamu.”
“Maksudmu?”
“Kembalikan kepercayaan rakyat padamu dan pada keluargaku. Kembalikan uang rakyat yang telah kau korupsi itu. Dan yang terpenting lagi, kembalikan kehidupan ayahku seperti dulu.”
“Edan! Itu hal yang mustahil, Ndari!”
“Kalau begitu, aku juga mustahil kembali padamu!”
Faisal terdiam. Kata-kata Sundari benar-benar telah menyudutkannya pada satu keadaan yang menyulitkan. Tak pernah ia menyangka bahwa apa yang pernah ia perbuat beberapa tahun yang lalu itu, meninggalkan bekas luka yang teramat dalam bagi Sundari. Dan mungkin juga bagi seluruh masyarakat desa ini. Perbuatan korupsi yang dilakukannya menimbulkan dendam yang berkepanjangan. Padahal ia mengira setelah habis masa tahanan, ia akan dapat mengembalikan keadaan seperti tak pernah terjadi apa-apa.
Tapi ternyata tidak! Stempel sebagai pejabat pengkianat rakyat, masih tetap saja melekat di pundaknya. Padahal uang hasil korupsinya sudah habis. Kursi sebagai anggota Dewan pun sudah tidak lagi ia duduki. Tapi tudingan sebagai pelaku reformasi yang mengkebiri demokrasi, harus tetap ia miliki sampai akhir hayat nanti.
Merasa tak ada lagi harapan dan peluang untuk bisa meluluhkan hati Sundari, Faisal pun tak berkata-kata lagi. Dia melangkah pergi, meninggalkan segala rasa yang selalu ingin dia raih.
Dan Sundari hanya menatap kepergian Faisal dengan batin yang pedih. Ia tak mau memaksakan untuk memberi sedikit pun ruang di hatinya bagi seorang pejabat pengkianat rakyat yang telah menyengsarakan ayah dan masyarakat di sekitarnya.
***
Senin pagi, sehabis melaksanakan upacara bendera, dengan perasaan yang masih mengganjal tentang Faisal, Sundari melangkah perlahan memasuki ruang kelasnya. Semalam ia sudah berpikir panjang, sebagai guru yang professional ia tak akan mencampurkan urusan pribadi dengan urusan kerja. Jadi meski sekarang ia tahu bahwa Panggi adalah anak seorang pejabat pengkianat rakyat, ia akan tetap membimbingnya sesuai prosedur pendidikan di sekolah. Tak ada yang namanya dosa turunan. Dalam pendidikan hak setiap anak adalah sama. Bahkan jika ada anak yang punya perilaku lain seperti Panggi, adalah tugas seorang guru untuk mendidiknya dengan berbagai cara agar kelak anak itu dapat tumbuh menjadi manusia yang lebih baik dari bapaknya. Tak ada dalil yang mengatakan bahwa anak seorang penjahat akan jadi penjahat. Malah sebaliknya banyak terjadi anak seorang pejabat tapi kelakuannya malah bejat.
Dengan penuh keyakinan itu, begitu masuk kelas Sundari langsung mengedarkan pandangan mencari murid istimewanya yang bernama Panggi. Tapi ia kecewa. Murid yang di carinya ternyata tidak ada. Baru setelah Kepala Sekolah menemuinya di kelas, Sundari tahu bahwa Panggi telah pindah sekolah atas kemauan bapaknya.
Sundari tertegun. Ia tak tahu musti sedih ataukah gembira. Tapi yang jelas kepindahan Panggi membuatnya merasa agak tenang. Sebab dengan begitu ia tak akan lagi pernah bertemu dengan seorang pejabat pengkianat rakyat. Yang memang sudah sepantasnya tidak berada di tengah masyarakat!