Loading...
Logo TinLit
Read Story - KLIPING 2
MENU
About Us  

Purnama bertahta. Menampilkan wajah cerah bulat sempurna. Binar cahaya keemasannya mencumbui wajah bumi yang begitu asri. Pucuk dedaunan jadi mengkilat karena sinar rembulan yang mesra menjilat.

Mbah Sentul dengan pakaian kebesarannya, baju lurik dan celana kombor hitam lengkap dengan udeng menghias kepala, berdiri angker di tengah kerumunan warga yang duduk bersila mengitari tanah gundukan bekas makam. Semua kepala tertunduk ke bumi. Membiarkan lidah rembulan menjilati ubun-ubun yang jengah lantaran belum mendapat satu solusi atas masalah yang sedang dihadapi.

Sesuai arahan dari Mbah Sentul, Saeni duduk di barisan depan dengan posisi menghadap kiblat. Bibir tebalnya tak henti merapal mantra yang telah diajarkan Mbah Sentul secara singkat.

“Dulur-Dulur semua, perlu kalian ketahui bahwa sebelum kalian semua berkumpul di tempat ini tadi, tepat jam tujuh lebih tujuh menit tujuh detik, Saeni sudah saya perintahkan untuk menabur bunga di tempat ini sambil berkeliling tujuh kali. Mengapa harus serba tujuh?”

Sambil bertanya Mbah Sentul mengedarkan pandangan. Tak seorang pun yang berani menjawab. Jangankan menjawab, mendongakkan kepala saja tak ada yang berani. Aroma rendaman bunga bercampur minyak wangi lebih mendominasi. Hening. Semua terdiam menunggu wejangan. Hembusan angin malam yang bertiup perlahan menambah suasana terasa kian mencekam. Hanya nyanyian jengkerik yang terdengar di sela helaan napas jiwa-jiwa yang terkapar.

“Karena dalam bahasa Jawa, tujuh itu adalah pitu dari kata pitulungan atau pertolongan. Jadi kita semua berkumpul di sini tak lain untuk meminta pertolongan dari Gusti Allah atas raibnya makam Bung Karno yang sekaligus menjadi hari raibnya sumber penghasilan kalian.

Malam ini merupakan malam ke tujuh hilangnya makam Bung Karno. Sudah tak terhitung berapa banyak kerugian yang kalian tanggung. Sementara para wakil rakyat juga tak mampu memberi solusi yang baik untuk mengatasi masalah ini. Kalian tahu mengapa?” Kembali Mbah Sentul mengedarkan pandangannya yang waskita.

Semua kepala menunduk semakin dalam. Aroma kembang telon dan minyak Japaron yang menusuk hidung, membawa angan semua warga melayang pelan. Perlahan tapi pasti, pikiran dan hati semua orang yang hadir di tempat itu terasa lebih ringan. Meski jalan keluar belum lagi ditemukan.

“Karena sebenarnya makam Bung Karno itu tidak hilang secara nyata.”

“Hah! Mak … maksud Mbah Sentul apa?” Hanya Saeni yang berani mengeluarkan kata hatinya. Serta merta semua mata terarah pada lelaki kurus itu. Tapi Saeni tak peduli. Matanya terpusat ke Mbah Sentul yang rambutnya melambai-lambai dipermainkan angin malam.

“Dalam mata batin saya makam Bung Karno itu tidaklah hilang. Makam itu tetap ada di sini. Hanya saja mata telanjang kalian yang tak mampu melihatnya. Hal itu terjadi karena mata batin kalian tertutupi oleh kepentingan-kepentingan duniawi yang hanya bersifat sesaat. Begitu makam Bung Karno hilang dan tak terlihat, kalian sedih, bingung, kecewa, bahkan berputus asa karena merasa kehilangan sumber pendapatan. Di mata kalian, keberadaan makam Bung Karno ini tak lebih hanyalah tempat mengais rejeki. Di pikiran kalian makam Bung Karno ini sebatas akar yang membuat Blitar kawentar dan ramai dikunjungi wisatawan dari berbagai daerah bahkan dari manca negara. Tak pernah sekali pun kalian sadar bahwa di mata dan hati kalian, arti penting yang sesungguhnya dari makam Bung Karno ini sudah lama hilang.”

Mendengar pernyataan kritis dari bibir Mbah Sentul yang kesehariannya bersifat pendiam itu, semua warga jadi saling pandang. Ibarat sebutir peluru, tudingan yang dilontarkan Mbah Sentul tepat membidik ke hati bagian ulu. Seperti sebilah sembilu, sentilan Mbah Sentul menyayat hati yang selama ini beku.

“Sekarang pertanyaannya, apakah kalian semua ingin makam Bung Karno kembali ke tempat ini?” Mbah Sentul bertanya seraya mengedarkan pandangannya.

Bagai paduan suara, semua kompak menjawab.

“Iyaaa Mbaaah!”

Sejenak Mbah Sentul manggut-manggut seraya mengusap kumis tebalnya. Kepalanya tengadah ke langit. Matanya menatap bulan purnama yang timbul tenggelam di balik awan yang berarak pelan.

“Baik tapi dengan satu syarat.”

“Apapun syaratnya akan kami penuhi Mbah asalkan makam Bung Karno akan kembali ada di sini,” kata Saeni mewakili suara warga.

“Baik, syarat ini gampang-gampang susah. Gampang karena tak memerlukan biaya dan tenaga. Susah karena hanya bisa dilakukan oleh kalian yang mau berpikir secara tulus. Bukan sekadar abang-abang lambe.”

“Maksudnya bagaimana Mbah?” Kali ini sosok lelaki yang dikenal sebagai ketua juru parkir area makam memberanikan diri bersuara.

“Satu hal yang harus kalian lakukan, bahwa kalian mulai detik ini harus bisa membuka hati dari pemikiran-pemikiran yang salah. Selama ini kalian merasa kehilangan makam hanya karena kalian merasa kehilangan sumber pendapatan. Hal itu adalah salah besar. Buang jauh-jauh pemikiran semacam itu. Kalian tahu, yang menjadi akar kawentarnya kota Blitar bukanlah semata karena adanya makam Bung Karno, tapi ada hal lain yang jauh lebih penting dari hal itu, yakni hasil pemikiran Bung Karno yang telah dituangkan dalam Pancasila.

Ironisnya, nilai-nilai Pancasila yang sudah semakin luntur dari kehidupan kalian justru tidak pernah kalian sesali. Jangankan bersedih, memikirkan saja kalian tak pernah. Gaya hidup orang manca telah mempengaruhi pola pikir kalian, sehingga kehidupan sehari-hari kalian semakin jauh dari nilai-nilai luhur Pancasila. Padahal Pancasila itu adalah dasar negara kita. Pancasila sekaligus juga sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia termasuk kalian semua. Kenapa kalian tidak pernah merasa sedih atas luntur dan hilangnya nilai luhur Pancasila seperti rasa sedih yang kalian alami saat raibnya makam Bung Karno, hah?”

Ada gurat kecewa yang membayang di wajah keriput Mbah Sentul. Sesepuh itu menyadari benar bahwa ekonomi liberal yang telah menjajah warganya menjadi pemicu utama atas tumbuhnya sikap egois dan apatis yang sekarang makin menggila. Sampai kapan republik ini mampu bertahan untuk tetap berdiri jika Pancasila yang jadi pondasi dasar negara makin dirobohkan keberadaan dan fungsinya? Miris hati Mbah Sentul memikirkannya.

“Nah sekarang sanggupkah kalian semua mulai detik ini berjanji pada diri kalian sendiri untuk menggali, menanamkan, dan mengamalkan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari sebagai syarat akan kembalinya makam Bung Karno di tlatah Blitar ini?” 

Serentak mereka semua berteriak.

“Sangguuup!”

“Baik, sekarang marilah kita semua bersila dan bersedekap sambil memusatkan pikiran pada Yang Maha Kuasa. Kita mohon ampunan atas segala salah dan kilaf yang selama telah menggadaikan Pancasila pada pengaruh-pengaruh manca, sehingga kita mudah dipecah belah dan termakan issu-issu tidak benar yang mengedepankan emosi di atas kata hati. Pejamkan mata dan fokuskan hati dengan janji untuk kembali menjadi anak-anak Pertiwi yang Pancasilais. Semoga dengan niat tulus kita semua ini, Gusti Allah akan berkenan membukakan pintu hati kita agar dapat melihat secara nyata adanya makam Bung Karno yang seminggu ini lenyap dari pandangan kita yang banyak salah. Berdoalah! Memohonlah! Memohonlaaah …!”

Layaknya kidung dari langit yang ditembangkan saat lingsir wengi, kata-kata yang meluncur dari bibir sesepuh itu mengalun terbawa embusan angin yang bertiup semilir. Mata semua warga yang semula terpejam secara dipaksakan, perlahan mengatup semakin rapat dengan sendirinya. Doa dan janji yang terucap dari dasar hati, menyatu dan membumbung tinggi menggapai rembulan yang masih setia memberi penerangan.

Bibir Mbah Sentul yang tiada henti komat-kamit merapal mantra, melipatgandakan kekuatan batinnya sehingga tanpa sadar tubuhnya yang sedang duduk bersila perlahan mulai terangkat dan berputar. Dari ubun-ubunnya mengepul asap putih yang makin lama makin memendar setelah bertiup melingkar dan menjamah semua kepala yang makin tertunduk memimpikan nirwana.

Tepat ketika posisi rembulan berada di atas ubun-ubun semua warga, tubuh Mbah Sentul yang melayang ringan mulai melesat meninggalkan tempatya berada,

Wuusss!

 

                                                ****

 

Byar! Serentak semua mata warga terbuka sewaktu terdengar kokok ayam jantan yang bersuka cita menyamput datangnya pagi. Seolah tersadar dari tidur panjangnya, semua bangun dan menatap ke sekelilingnya. Mereka heran bukan kepalang! Mereka yang semalam duduk melingkar di tanah berumput kering, kini telah mendapati dirinya duduk mengitari makam Bung Karno di atas pelataran berkeramik mengkilat.

Tak urung mereka pada mengucek-ucek matanya lantaran merasa tak percaya. Bahkan ada yang mencubiti dirinya sendiri untuk memastikan kalau apa yang ada di hadapannya bukanlah sekedar mimpi.

Makam Bung Karno beserta semua bangunan yang mengelilinginya kembali hadir nyata di hadapan mereka.

“Alhamdulillah ya Allah ….”

Serentak mereka bersujud syukur dengan kidmat. Bahkan istri Saeni dan beberapa wanita lain sempat menitikkan air mata bahagia. Tak lama berselang adzan Subuh pun berkumandang. Serempak mereka bergegas menuju musolla yang ada di pojok barat area makam.

Sambil terus mengucapkan syukur alhamdulilah, dengan tertib mereka berwudu. Hari ini mereka memulai babak baru. Mengawali hari dengan shalat Subuh berjamaah sebagai bentuk pengamalan Pancasila sila yang pertama.

Sekarang mereka sadar bahwa Pancasila yang merupakan hasil pengendapan pikiran dari Bung Karno adalah akar sejati yang membuat kota Blitar jadi kawentar di seantero negeri. Akar kawentar itu harus bisa terus menjalar ke urat nadi setiap putra-putri Pertiwi. Sebab hanya dengan pelaksanaan dan pengamalan nilai-nilai Pancasila secara murni, keadilan dan kemakmuran yang menjadi cita-cita kemerdekaan akan dapat tercapai.

Saeni yang pagi itu untuk pertamakalinya didaulat jadi imam jamaah Subuh, selesai pelaksanaan shalat, dzikir, dan berdoa tak lupa ia sampaikan satu pesan dari Bung Karno. Jasmerah. Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sebab sejarahlah yang mengantar kita bisa sampai ke era sekarang ini.

Usai berjamaah shalat Subuh, saat matahari sudah mulai menampakkan senyum cerahnya, warga sepakat untuk berkunjung ke kediaman Mbah Sentul guna mengucapkan terima kasih atas wejangannya yang telah menyadarkan warga untuk nguri-uri nilai luhur Pancasila yang telah diwariskan oleh Bung Karno.

Dengan dipandu oleh Saeni, mereka berbondong-bondong menuju ke rumah Mbah Sentul. Namun alangkah terkejutnya mereka, terutama Saeni, saat tiba di tempat yang ditujunya. Di bawah pohon beringin besar dan rindang yang diyakini Saeni sebagai lokasi rumah Mbah Sentul, sudah tak terlihat lagi adanya rumah Joglo yang tempo hari ia datangi. Yang ada tinggallah sebuah kuburan kuno berukuran besar yang dikelilingi oleh semak belukar.

“Aku yakin, di sinilah rumah Mbah Sentul yang pernah kudatangi waktu itu,” ujar Saeni coba meyakinkan warga.

Semua saling pandang. Bingung dan heran. Setelah mereka membaca nama yang tertera pada nisan tua di hadapannya barulah mereka menyadari siapa sejatinya Mbah Sentul itu. Ya, tak salah lagi. Beliau adalah sesepuh desa yang telah wafat lebih dari seratus tahun yang lalu.

Dalam pertarungan melawan kerasnya kehidupan, manusia kerap dihadapkan pada perkara-perkara yang ambigu. Terkadang, apa yang mereka yakini sebagai hitam atau putih serba tak jelas. Hidup tidak dapat dipandang hanya dari dua warna itu. Ada sisi lain yang berada di antara dan terselip dalam keduanya. Tidak sepenuhnya terang dan tidak pula kelam. Mereka menamainya: abu-abu kehidupan. Kehidupan yang kerap diwarnai oleh perilaku abang-abang lambe. Menawarkan hal yang sebenarnya tak ingin diberikan. Hanya sekadar pemanis bibir.

Dengan anugerah akal dan pikiran yang dimiliki, orang kerap melupakan tanggung jawabnya sebagai kolifah di muka bumi. Perilaku biadab bertopeng adab. Berlagak pahlawan tanpa peduli datangnya kesiangan. Kebiasaan abang-abang lambe dimanifestikan sebagai kelihaian bersilat lidah tanpa tulang.

Jasmerah, Jangan Sekali-kali Melupakan Sejarah yang pernah ditanamkan oleh Bung Karno di haribaan Pertiwi, tinggal sebatas slogan tanpa ada bukti. Manusia terlalu pandai bermuka manis di balik topeng paling sadis. Kesadaran itu baru akan tumbuh ketika hidup didera nestapa paling miris.

Akh!

Serta merta mereka bersimpuh dan memanjatkan doa untuk arwah Mbah Sentul yang telah menuntun mereka pada keterbukaan jiwa. Lantas semua sepakat akan terus menjaga akar kawentar dengan ikhlas, seperti ikhlasnya Mbah Sentul saat harus raib sebelum warga mengucapkan rasa terima kasih.

Jauh di alam lainnya, Mbah Sentul tersenyum bahagia. 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags