Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love 90 Days
MENU
About Us  

Ara masih tidur ketika Mama mengguncang-guncang tubuhnya, memaksanya bangun.

“Ya ampun! Ini anak gadis kenapa jam segini masih molor aja sih?!” omel Mama.

Terganggu dengan suara berisik Mama, Ara menutupi telinganya dengan bantal.

“Ara....” Mama menarik bantalnya. “Ayo dong, bangun. Ini udah siang.”

“Nanggung, Ma. Ara mau tidur sampai sore sekalian, ngelanjutin kencan sama June Oppa.”

Mama menyipit. “June Oppa siapa? Itu, si Hendra udah nungguin kamu di bawah.”

Mendengar Mama menyebut nama Hendra, kantuk Ara seketika lenyap. Dia menepuk dahinya keras-keras. “Ya ampun, Ma. Ara lupa kalau hari ini mau nonton sama Hendra.” Ara mencelat dari tempat tidurnya sembari berteriak pada Mama, “Hendra-nya suruh nungguin bentar, Ma.”

“Iya, kamunya juga jangan lama-lama.”

Dinginnya air yang memuncrat dari shower membuat seluruh syaraf-syaraf Ara terbangun. Ara sempat menimbang-nimbang apakah akan mencuci rambut sekalian, tapi berhubung itu akan memakan waktu lama, dia memutuskan untuk tidak melakukannya.

Usai mandi, Ara mengacak-acak lemari bajunya, mencari pakaian yang sekiranya cocok untuk dikenakan. Ini memang bukan kencan, tapi mulai hari ini Ara akan mencoba untuk membuka hatinya untuk Hendra. Lagi pula tak ada salahnya dengan tampil beda, siapa tahu itu akan memperbaiki mood-nya yang berantakan.

Dalam dua hari Ara banyak memikirkan ini dan itu, mempertimbangkan segalanya, termasuk jatuh cinta pada Hendra. Seperti kata Iago, harusnya ini mudah, karena Hendra sudah terlebih dulu jatuh cinta padanya. Tugasnya hanya tinggal membuka hati agar Hendra bisa masuk.

Ara menarik napas kuat-kuat. “Gue cuma tinggal jatuh cinta sama Hendra,” gumamnya pada pantulan dirinya di cermin. “Itu sederhana. Gue pasti bisa. Gue nggak bakal mati.”

“Araaa....” Mama lagi-lagi meneriakinya. “Jangan lama-lama, kasihan Hendra nunggu sampai ubanan.”

“Tinggal disemir hitam aja, Ma. Gitu aja kok repot,” balasnya lalu cekikikan sendiri.

Setelah semuanya siap, Ara keluar dari kamar dan menemui Hendra yang sudah bergabung dengan Papa dan kedua kakaknya bermain kartu. Dari semua teman-teman cowoknya, Hendra adalah yang paling akrab dengan keluarga Ara. Status Hendra sebagai teman baik Dion membuat kedua kakaknya tidak memiliki pandangan sinis terhadap Hendra.

“Kalian mau ke mana?” Kak Marvel mengangkat sebelah alisnya. “Nge-date, ya?”

“Nonton film horor,” jawab Hendra. “Mau ikutan?”

Kak Marvel bergidik sendiri. “Ogah! Gue anti sama yang gitu-gituan.”

Ara mencebik. “Alah, bilang aja kalau Kak Marvel takut. Kakak kan parnoan sama yang mistis-mistis gitu,” ejeknya.

Semua yang ada di situ tertawa, kecuali Kak Marvel yang malah memasang tampang cemberut.

“Ya udah, karena Ara udah siap, kami berdua pergi dulu ya,” pamit Hendra.

“Yuk! Yuk!” Ara tak sabaran. “Pa, Ma, Kak, kami pergi dulu ya....”

“Hati-hati ya. Pulangnya jangan malam-malam,” pesan Mama.

“Oke siap, Ma.”

Hendra membukakan pintu mobil untuk Ara. Namun saat dia hendak masuk, cowok itu mencegahnya. “Ra, lo cantik banget hari ini,” pujinya.

Soal cowok yang memujinya cantik, itu sudah sering mampir ke telinga Ara. Nyaris saja Ara menyahuti dengan selorohan seperti biasanya, tapi tidak jadi karena dia sudah bertekad untuk membuka hatinya untuk Hendra.

“Makasih,” balas Ara sambil tersenyum.

Hendra ikut tersenyum. “Jadi ... kita langsung nonton aja nih? Atau mau ke mana dulu?”

“Kita nonton dulu aja, nanti habis nonton kita bisa atur lagi.”

“Oke.”

*

 

“Eh, ada dua film nih!” Ara menarik lengan kaus Hendra, mengarahkannya pada poster film horor yang sedang dipajang.

Hendra memperhatikan kedua poster tersebut sambil bersedekap. “Terus lo mau nonton yang mana?” tanyanya.

Mata Ara berbinar. “Gimana kalau dua-duanya?”

“Ide bagus.” Hendra meraih tangan Ara, menggandengnya untuk membeli tiket.

Ara memperhatikan tangan Hendra yang menggenggamnya erat. Dulu-dulu saat Hendra menggandeng tangannya rasanya tidak seperti ini, tapi kali ini genggaman Hendra terasa lebih protektif. Tanpa sadar Ara teringat pada Iago. Cowok yang akan Ara coba untuk cintai adalah Hendra, tapi kenapa malah sosok Iago yang berdesak-desakan memenuhi kepalanya?

Ara menggeleng cepat, berharap sosok Iago keluar dari kepalanya.

“Eh, satunya gue aja yang bayar,” cegah Ara pada Hendra saat cowok itu hendak membayar tiket mereka.

“Lo jangan jatuhin harga diri gue dong, Ra. Masa malah cewek sih yang bayarin?” Hendra jelas-jelas tidak setuju.

“Oke deh. Makasih ya traktirannya. Sering-sering aja gue ditraktir.”

Hendra menunduk sedikit, mendekatkan bibirnya ke telinga Ara. “Makanya, jadi pacar gue dong, gue pasti rajin traktir lo.”

Ara memutar mata, kemudian mencebik. Sebenarnya, Ara hanya tak tahu bagaimana harus merespons sinyal-sinyal yang diberikan oleh Hendra. Ara takut respons yang diberikan nantinya malah menyinggung atau menyakiti perasaan Hendra.

Setelahnya, tak ada hal berarti yang terjadi. Baik Ara maupun Hendra sama-sama menikmati film yang diputar. Tak ada adegan Ara yang ketakutan atau Hendra yang curi-curi kesempatan untuk memeluk Ara, keduanya benar-benar fokus menonton. Menjelang akhir film kedua yang mereka tonton, Ara sempat mengumpat pelan karena terkejut oleh kemunculan sosok pocong yang tiba-tiba.

“Tumben-tumbenan lo kaget?” tanya Hendra, heran, biasanya Ara tidak pernah bereaksi seperti itu karena sudah terbiasa dengan jump scare yang mendominasi hampir di semua film horor.

“Gue nggak takut sama demit apa pun, kecuali jumping candy. Beneran deh, gue nggak banget sama demit yang satu itu.”

Hendra terbahak. “Lah, kalau lo takut kan bisa peluk gue.”

“Ck, modusin gue lo ternyata.” Ara mendorong tubuh Hendra. “Lo kan tahu gue paling takut sama si jumping candy, mana mukanya item gitu....”

Hendra tertawa. “Lagian lo juga cari masalah sendiri sih. Udah tahu takut sama pocong, tapi nekat nonton film itu. Jelas-jelas posternya ada gambar pocong gede.”

“Gue pengin menghilangkan rasa takut gue sama pocong, makanya gue tetep nonton meski takut. Cuma setan satu itu yang belum gue taklukin.”

“Kalau di dunia nyata, lo paling takut sama apa?”

“Kematian,” jawab Ara spontan.

Dahi Hendra mengerut dalam. “Kita ini masih muda, Ra. Hidup kita masih panjang, jangan mikir soal kematian dulu. Masih jauh.”

“Kita kan nggak tahu kapan kita akan mati, Hen.”

“Gue tahu, tapi setidaknya jangan mikir ke arah sana. Nggak ada gunanya. Lo cuma perlu ngejalanin hidup lo sebaik mungkin, banyak-banyak berbuat baik biar ke depannya nggak menyesal.”

Ara merenungkan setiap kata yang terucap dari mulut Hendra. Ada benarnya juga sih, Hendra hanya tidak tahu apa yang tengah Ara perjuangkan saat ini. “Gue setuju, kita harus berusaha hidup sebaik mungkin,” gumam Ara.

“Duh, kenapa topiknya jadi beneran bikin merinding gini sih?” Hendra menggaruk tengkuknya. “Lo mau makan nggak?”

“Nggak lo, nggak Iago, kalau jalan selalu ngajakin gue makan,” respons Ara, tanpa sadar menyentil perasaan Hendra yang belakangan ini kelewat sensitif jika mendengar nama Iago disebut.

“Lo sama Iago sering jalan?”

“Nggak juga. Gue sama Iago lebih dominan bertengkarnya.”

“Iya. Kalian berdua kayak kucing sama tikus.”

Ara mengangkat bahu. “Ya begitulah.”

“Lo pengin makan apa?” Hendra mengalihkan topik, telinganya keberatan mendengar nama Iago.

“Gimana kalau hot pot?” usul Ara.

“Boleh. Yuk!”

*

 

“Ra, gue boleh tanya sesuatu sama lo nggak? Tolong lo beneran jawab dengan jujur,” kata Hendra di sela-sela acara makan mereka.

Ara menelan daging yang dikunyahnya, kemudian minum seteguk. “Soal gue dan Iago?” tembak Ara langsung. Sebenarnya Ara sudah menangkap sinyal keberatan Hendra saat dirinya menyebut nama Iago.

Hendra mengangguk. “Gue tahu kalau pertanyaan ini udah berulang kali gue tanyakan—”

“Gue masih utang satu hal sama Iago,” potong Ara.

Hendra menyipit. “Lo utang duit sama dia?”

“Nggak, bukan duit. Lebih tepatnya ... utang budi.” Ara menunduk dan terkekeh kecil. “Berkat dia, gue jadi mikir keras untuk buka hati gue buat lo.”

Hendra seketika menatap Ara penuh antusias. “Yang bener, Ra?”

Ara mengangguk. “Tapi ... lo nggak keberatan kan kalau untuk sementara hubungan kita tetep kayak gini? Gue butuh kepastian dari hati gue dulu sebelum ngasih lo kepastian.”

“Nggak masalah,” respons Hendra cepat. “Gue nggak mau bikin lo ngerasa nggak nyaman,” lanjutnya, mengerti benar apa yang Ara maksudkan.

Ara mengangkat kepala, menatap lurus-lurus sosok di hadapannya. “Selama ini gue pikir gue nggak butuh cinta dari orang lain. Gue ngerasa hidup gue sudah dikelilingi oleh banyak cinta. Tapi lama-kelamaan gue ngerasa ada yang kosong di hati gue.”

Hendra menyimak dengan serius. Saking seriusnya dia tidak sadar ketika menu tambahan yang dipesan mereka datang. Itu membuat Ara tertawa kecil, belum pernah dia melihat Hendra seserius ini, bahkan ketika cowok itu sedang memimpin rapat OSIS.

“Tapi kenapa lo mau coba pacaran sama gue?” Hendra balas menatapnya setelah pramusaji yang mengantarkan pesanan mereka pergi. “Kenapa nggak cowok lain? Banyak dari mereka yang naksir lo.”

Ara nyengir. “Karena gue pengin bales perasaan lo biar nggak mubazir.” Lalu dia tertawa. Namun tawanya surut ketika mendapati Hendra tidak menangkap humornya. “Ehm, itu tadi emang bener sih, tapi gue milih lo karena gue kenal lo. Gue nggak mau pengalaman pertama gue malah pacaran sama playboy atau cowok nggak bener.”

Tak ada tanggapan dari Hendra. Cowok itu fokus menyimak, menanti-nantikan kelanjutan kalimat Ara.

“Gue nggak tahu ke depannya hubungan kita bakal kayak apa, bisa terus lanjut sampai kita menikah atau cuma semusim aja.” Ara mengambil jeda. “Tapi yang gue tahu pasti, lo itu cowok baik. Jadi semisal hubungan kita nggak berakhir dengan baik, gue berharap lo masih mau jadi temen baik gue.”

Hendra tersenyum samar. “Gue nggak nyangka lo mikir sejauh itu.”

Ara mengangkat bahu. “Tapi untuk sekarang, gue pengin hubungan kita seperti ini dulu.”

“Gue ngerti.” Hendra manggut-manggut. “Nanti habis makan kita main ya.”

“Main apaan?”

“Gue pengin ngasih boneka gede buat calon cewek gue.”

Ara tersenyum geli. Dia dan Hendra selalu seperti ini, berbagi keseruan dan tawa tanpa pernah melangkah melewati garis pertemanan. Sekarang, ketika Ara memutuskan untuk melangkahi garis itu, apakah dirinya dan Hendra akan bisa terus seperti ini?

Sehabis makan, mereka menuju ke area permainan. Sudah puluhan kali mencoba, namun Hendra selalu gagal untuk mencapit boneka yang ada di dalam boks kaca. Sementara Ara yang berdiri di belakangnya terus menyemangati cowok itu.

“Anjrit! Kenapa susah banget sih?!” rutuk Hendra seraya menarik-narik rambut spike-nya.

“Udah, nggak usah maksa.” Ara mencoba menghiburnya.

“Gue pengin dapetin boneka Eyore itu buat lo. Kan lo suka sama Eyore.”

Cowok itu hendak menggesekkan kartu lagi, tapi Ara buru-buru mencegahnya. “Eh, udah, Hen.... Lo udah habis banyak.”

“Biarin.” Hendra memaksa. Dia menggesekkan kartu dan memencet tombol start. “Kali ini, percaya sama gue.”

Ara mengangguk pasrah dan mundur selangkah untuk memberi Hendra ruang.

Mata Ara bergerak, mengikuti gerakan pencapit yang bergerak perlahan. Tepat di atas boneka Eyore, pencapit itu turun dan menjepit boneka berwarna biru tersebut sebelum kembali naik.

Pencapit itu bergeser, membuat boneka yang dijepitnya bergoyang-goyang dan nyaris terlepas. Di tempatnya berdiri Ara harap-harap cemas, berdoa semoga saja boneka itu tidak jatuh sebelum sampai di atas lubang. Saat hampir mencapai lubang, boneka itu terlepas.

“Yah....” Ara dan Hendra mendesah bersamaan.

Tapi berhubung posisi jatuhnya boneka berada di atas boneka lain yang bentuknya lancip, boneka Eyore yang Ara idam-idamkan itu terguling dan masuk ke lubang.

Kekecewaan mereka dengan cepat berganti dengan teriakan kemenangan.

“Yeyyy!!!” Ara melompat-lompat kegirangan menyambut Hendra yang di tangannya sudah memegang boneka Eyore berukuran lumayan besar. Ketika boneka itu pindah ke tangannya, Ara langsung memeluknya gemas. “Ahhh, gue gemes banget. Ya ampun, akhirnya gue bisa meluk lo.”

Hendra menggaruk belakang kepalanya. “Rasanya gue pengin banget tukeran posisi sama si biru itu.”

“Yeee.... Modus doang lo!”

“Gue cuma modusin lo doang, nggak ada yang lain.”

Ara menjulurkan lidahnya. “Tapi makasih ya. Harusnya daripada lo buang-buang duit buat ambilin ini di sini, lo mendingan beliin gue aja.”

“Kalau beli nggak seru, nggak ada tantangannya.”

“Iya juga sih,” sahut Ara sependapat.

Hendra meraih sebelah tangan Ara yang tidak memeluk boneka, kemudian menggenggamnya. “Ra, makasih ya. Hari ini ... gue seneng banget. Gue nggak keberatan kok kalau kita kayak gini terus. Asal lo jangan menjauh dari gue.”

Mata cowok itu memancarkan ketulusan. Auranya menenangkan, bukan aura posesif yang membuat Ara tertekan. Sedikit banyak itu menggoyahkan hati Ara, juga keputusannya. Rasa-rasanya jahat sekali jika menggunakan cowok sebaik ini sebagai alat agar dia bisa terbebas dari kematian.

“Gue akan tetep coba buat balas perasaan lo,” balas Ara sambil mengumbar senyum.

*

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Pesona Hujan
1165      641     2     
Romance
Tes, tes, tes . Rintik hujan kala senja, menuntun langkah menuju takdir yang sesungguhnya. Rintik hujan yang menjadi saksi, aku, kamu, cinta, dan luka, saling bersinggungan dibawah naungan langit kelabu. Kamu dan aku, Pluviophile dalam belenggu pesona hujan, membawa takdir dalam kisah cinta yang tak pernah terduga.
IDENTITAS
737      507     3     
Short Story
Sosoknya sangat kuat, positif dan merupakan tipeku. Tapi, aku tak bisa membiarkannya masuk dan mengambilku. Aku masih tidak rela menjangkaunya dan membiarkan dirinya mengendalikanku.
Kisah di Langit Bandung
2030      923     0     
Romance
Tentang perjalanan seorang lelaki bernama Bayu, yang lagi-lagi dipertemukan dengan masa lalunya, disaat ia sudah bertaut dengan kisah yang akan menjadi masa depannya. Tanpa disangka, pertemuan mereka yang tak disengaja kala itu, membuka lagi cerita baru. Entah kesalahan atau bukan, langit Bandung menjadi saksinya.
Letter From Who?
514      362     1     
Short Story
Semua ini berawal dari gadis bernama Aria yang mendapat surat dari orang yang tidak ia ketahui. Semua ini juga menjawab pertanyaan yang selama ini Aria tanyakan.
Peran Pengganti; Lintang Bumi
1921      891     10     
Romance
Sudah banyak cerita perjodohan di dunia ini. Ada sebagian yang akhirnya saling jatuh cinta, sebagian lagi berpisah dengan alasan tidak adanya cinta yang tumbuh di antara mereka. Begitu juga dengan Achala Annandhita, dijodohkan dengan Jibran Lintang Darmawan, seorang pria yang hanya menganggap pernikahannya sebagai peran pengganti. Dikhianati secara terang-terangan, dipaksa menandatangani su...
Bimbang (Segera Terbit / Open PO)
6839      2271     1     
Romance
Namanya Elisa saat ini ia sedang menempuh pendidikan S1 Ekonomi di salah satu perguruan tinggi di Bandung Dia merupakan anak terakhir dari tiga bersaudara dalam keluarganya Tetapi walaupun dia anak terakhir dia bukan tipe anak yang manja trust me Dia cukup mandiri dalam mengurus dirinya dan kehidupannya sendiri mungkin karena sudah terbiasa jauh dari orang tua dan keluarganya sejak kecil juga ja...
Trip
1019      534     1     
Fantasy
Sebuah liburan idealnya dengan bersantai, bersenang-senang. Lalu apa yang sedang aku lakukan sekarang? Berlari dan ketakutan. Apa itu juga bagian dari liburan?
Kesetiaan
477      346     0     
Short Story
Cerita tersebut menceritakan tentang kesetiaan perasaan seorang gadis pada sahabat kecilnya
Chrisola
1271      765     3     
Romance
Ola dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia, warga sekolah sudah dibuat geger duluan. Pasalnya, ia berhasil menyingkirkan seorang Etma. "Semua karena Papa!" Ola mencuci tangannya lalu membasuh...
Pantang Menyerah
317      261     0     
Short Story
Rena hanya ingin mengikuti lomba menulis cerpen tetapi banyak sekali tantangannya, untuk itu dia tidak akan menyerah, ia pasti akan berhasil melewati semua tantangan itu dengan kegigihan yang kuat dan pantang menyerah