Loading...
Logo TinLit
Read Story - Love 90 Days
MENU
About Us  

Ara tiba di rumah ketika waktu sudah menunjukkan lewat tengah malam. Rumah sepi. Ara baru ingat jika hari ini Papa dan Mama pergi ke luar kota untuk menghadiri pernikahan salah seorang kerabatnya. Sedangkan kedua kakaknya kemungkinan besar pergi memancing, entah kapan akan pulang. Tanpa menghidupkan lampu ruang tamu, Ara langsung menuju ke kamarnya dan bersiap untuk mandi. Tubuhnya lengket oleh bekas keringat, seluruh badannya pegal tak keruan, pun dengan hatinya yang masih kacau balau.

Setelah mandi Ara kembali ke kamarnya dan langsung meringkuk di atas tempat tidur. Beberapa kali Ara mendapati layar ponselnya menyala, entah karena ada telepon masuk, pesan, atau notifikasi lainnya. Namun semua itu dibiarkannya begitu saja, Ara sudah terlalu capek walau sekadar untuk memeriksa pemberitahuan terbaru di ponselnya.

Dalam kesendiriannya, Ara merasa sesak. Terlebih ketika mengingat Iago. Apa yang terjadi padanya hari ini, serta semua yang didengarnya tadi membuat dunianya terguncang. Ara seakan mati langkah, tak tahu apa yang akan dilakukan.

Rasa sakit di dada Ara perlahan timbul. Luka yang sudah berhasil dia kubur dalam-dalam, kini menyembul kembali ke permukaan. Selain Vika dan Monic, tak ada yang tahu tentang luka yang telah membuatnya keluar dari tim cheer. Ara selalu berusaha untuk terlihat ceria seolah semuanya baik-baik saja. Ara juga tetap bersikap baik pada orang yang telah merenggut apa yang semula ada di genggamannya.

Namun sekarang, bisakah dia tetap seperti itu?

Entahlah. Ara sendiri juga tidak tahu jawabannya.

Kini yang Ara tahu hatinya ngilu, perasaannya kecewa, dan pikirannya kacau. Diam-diam Ara bertanya, jika saja tidak ada Kak Lisa, apakah dirinya akan menyambut pengakuan sayang Iago dengan senang hati?

Lagi-lagi Ara juga tak tahu jawabannya.

*

 

Malam minggu yang mencekam menjadi alasan bagi Ara memilih menghabiskan hari Minggunya dengan berdiam diri di rumah. Orangtuanya baru pulang sekira pukul delapan malam, sedangkan kedua kakaknya baru tiba di rumah pada Senin dini hari.

Kepala Ara terasa berat. Memikirkan banyak hal benar-benar membuatnya lelah, ditambah lagi dua malam ini dirinya kurang tidur. Vika dan Monic beberapa kali menanyakan soal dirinya dan Daniel. Ara hanya memberikan jawaban singkat, mengatakan jika Daniel bukanlah cowok yang sedang dia cari. Ara tahu, sikapnya ini akan terasa janggal bagi kedua sahabatnya. Meski begitu kali ini Ara tidak bisa menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Semua ini terlalu ... rumit!

Bahkan jika diceritakan, belum tentu kedua sahabatnya itu akan mengerti.

“Kamu sakit?” tanya Mama ketika Ara baru saja bergabung di meja makan untuk sarapan bersama. Mama menyipit, mengamati Ara. “Kok wajah kamu agak pucat?”

“Kurang tidur, Ma. Dua hari kemarin Ara marathon drakor,” jawab Ara berkilah.

“Ya ampun!”

“Hehe.” Ara berusaha untuk tetap terlihat jenaka, tak ingin keluarganya tahu masalah apa yang tengah dia hadapi.

“Kalau kamu nggak enak badan, mending istirahat aja,” saran Papa.

Namun Ara menggeleng. “Nanti ada ulangan.”

“Oh.... Ya sudah, terserah kamu. Lain kali kalau nonton jangan sampai lupa waktu,” kata Papa.

Ara mengangguk. “Habisnya nanggung banget, Pa. Ara nggak bakalan bisa tidur kalau belum tamat.”

“Dasar kamu!” Papa menggeleng-geleng. Heran. Namun mencoba untuk maklum. Anak zaman sekarang memang sudah jauh berbeda dari zamannya dulu.

Ara menggigit sandwich-nya, mengunyahnya perlahan, kemudian menelannya dengan susah payah. Tidak ada yang salah dengan sandwich buatan Mama, hanya saja saat ini nafsu makan Ara seperti menghilang entah ke mana. Tak berselang lama, ponsel Ara bergetar. Ada sebuah pesan WhatsApp dari Monic.

 

Gue sama Vika udah di depan rumah lo nih....

 

“Ma, Pa, Ara berangkat dulu ya,” pamit Ara dengan mulut masih penuh dengan sandwich.

“Nggak dihabisin dulu?” tanya Mama.

“Nggak, Ma. Vika sama Monic udah di depan.”

“Hati-hati di jalan ya.”

Ara menyambar botol air mineral dari atas meja makan dan membawanya. “Iya, Ma.” Dan kemudian dia berjalan meninggalkan ruang makan.

Sesaat sebelum Ara membuka gerbang, ada keraguan yang menggelayutinya. Untuk kali pertama dalam hidupnya, Ara ingin menghindar dari kedua sahabatnya. Vika dan Monic pasti akan menanyainya habis-habisan, sementara pada saat ini Ara masih belum ingin menjelaskan apa-apa. Semua yang terjadi masih terlalu sulit untuk diterima. Namun rasa-rasanya menghindari Vika dan Monic juga tidak mungkin.

Ara memejamkan mata sejenak dan menarik sebuah napas panjang. “Gue pasti bisa ngelewatin ini semua,” gumam Ara pada dirinya sendiri.

Seperti yang sudah diperkirakan Ara, Vika dan Monic langsung menodongnya dengan serentetan pertanyaan selama mereka dalam perjalanan menuju sekolah, sampai-sampai Ara sendiri bingung harus menjawab yang mana terlebih dahulu.

“Aduh, gue sama Daniel beneran nggak cocok,” ucap Ara memulai.

“Tapi dia terang-terangan bilang suka sama lo, Ra,” kata Monic.

Ara mengangguk. “Hati gue bilang kalau Daniel bukan cowok yang gue cari.” Kali ini, Ara terpaksa berbohong. Kejadian malam minggu itu tidak mungkin dia beberkan kepada Vika dan Monic. Jika saja kedua sahabatnya tahu, mereka pasti akan menyalahkan diri sendiri karena telah memaksa Ara untuk menerima ajakan Daniel. Padahal Ara tahu, kedua sahabatnya tidak bermaksud buruk.

“Terus siapa dong cowok yang sebenarnya lo cari?” Vika penasaran. “Iago?”

Mendengar nama itu disebut, suasana hati Ara langsung berantakan. Jika ada orang yang paling tidak ingin dia temui, maka orang itu adalah Iago. Cowok itu memang sudah menolongnya, tapi tetap saja hati Ara masih berat untuk menerima Iago.

“Tuh anak mati dimakan T-Rex gue juga nggak bakal peduli,” respons Ara dengan nada jengkel.

Vika dan Monic yang duduk di depan otomatis saling pandang, belum benar-benar menangkap maksud dari kalimat yang dilontarkan Ara. Yang pasti kedua sahabat Ara itu tahu jika hingga detik ini hubungannya dengan Iago masih belum membaik.

Tiba di sekolah, Vika memarkirkan mobilnya di tempat biasa. Baru saja Ara membuka pintu, dia langsung dihampiri oleh Iago yang sudah menunggu sejak tadi.

“Ra....” Iago mencekal lengan Ara yang berusaha untuk mengabaikannya.

“Lepasin!” ketus Ara.

“Lo kenapa nggak angkat telepon gue?” tanya Iago.

Ara diam dan menarik napas panjang untuk meredam emosinya, baru setelah itu dia berani untuk menatap Iago. Ada beberapa bercak biru keunguan di wajah cowok itu. Ara memekik lirih, bayangan ketika Iago menahan pukulan demi melindunginya otomatis melintas di benaknya. Sejenak, hati Ara sempat luluh, detik berikutnya dia segera menepisnya.

“Lepasin gue,” desis Ara.

Alih-alih melepaskan, Iago malah memeluk Ara. “Gue khawatir sama lo.”

“Lo gila, ya?!” sentak Ara seraya mendorong tubuh Iago menjauh.

“Ra—”

“Mulai detik ini, gue minta lo angkat kaki dari hidup gue.” Ara menelan ludah, lantas melanjutkan, “Jangan muncul lagi di hadapan gue. Jangan manggil nama gue lagi. Dan yang terpenting jangan pernah berharap gue mau bantuin lo.”

“Kalau gue menolak?”

Ara tak menjawab.

“Gue menolak,” lanjut Iago. “Dan lo juga nggak punya alasan buat ngusir gue dari hidup lo....”

“Gue nggak butuh lo!” sentak Ara emosi. “Kehadiran lo di hidup gue malah bikin semuanya makin kacau. Lebih baik kita jalan sendiri-sendiri. Lo dengan masalah lo, gue dengan masalah gue.”

Jujur saja, dalam hati Ara juga berat mengatakan hal itu. Namun Ara merasa perlu memutuskan benang merah antara dirinya dan Iago, lebih baik mereka berjalan sendiri-sendiri, menyelesaikan masalah mereka masing-masing.

“Mungkin lo pikir hubungan kita adalah simbiosis mutualisme yang bisa saling membantu, saling menguntungkan.... Tapi kenyataannya, hubungan kita ini nggak ada bedanya dengan matahari dan bulan. Ketika mereka bertemu, akan terjadi gerhana yang bisa mengganggu kehidupan.” Ara menarik paksa lengannya dari Iago hingga terlepas. “Jadi gue pikir, lebih baik kita berdua nggak usah berhubungan lagi,” tutup Ara.

“Kalau gue nggak mau?”

Ara membuka tutup botol air mineral yang dipegangnya, kemudian menyiramkan isinya ke kepala Iago. “Barangkali kalau kepala lo dingin, lo bakalan bisa mikir lebih baik,” ujar Ara kemudian meninggalkan Iago yang masih mematung.

Semua yang ada di tempat parkir sontak terkejut. Ada yang menutup mulut terperangah mereka dengan tangan, ada pula yang memalingkan muka karena tidak tega. Ayolah, ini Iago! Sang Prince diperlakukan seperti itu tentu saja banyak yang tidak terima, walau begitu mereka juga tidak berani bergerak sejengkal pun.

Iago menebar pandangan, mengamati sekelilingnya. “Semua salah gue. Jangan sampai ada yang salahin Ara,” tegasnya.

Vika dan Monic yang sama sekali tak mengerti langsung mengejar Ara, bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Namun tak secuil pun penjelasan yang keluar dari mulut Ara. Saat ini, Ara hanya ingin ketenangan—tanpa mendengar nama Iago.

“Ra,” panggil Iago.

Ara terus berjalan, sama sekali tak memedulikan cowok ber-hoodie putih yang saat ini tengah menjadi pusat perhatian di tempat parkir.

“Lo perlu tahu, ketika matahari dan bulan bertemu, lalu terjadi gerhana, banyak orang yang ingin melihatnya,” teriak Iago. “Lo itu cuma salah sudut pandang aja!”

Kalimat Iago itu nyaris saja membuat Ara menghentikan langkahnya dan menoleh. Namun Ara berhasil menguatkan hatinya sendiri untuk tetap berjalan. Apa pun yang Iago katakan, dia tidak boleh terpengaruh.

“Sinting!” desis Ara lirih, sehingga hanya dirinya sendiri yang mendengar.

*

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Love: Met That Star (석진에게 별이 찾았다)
587      372     2     
Romance
Kim Na Byul. Perempuan yang berpegang teguh pada kata-kata "Tidak akan pacaran ataupun menikah". Dirinya sudah terlanjur memantapkan hati kalau "cinta" itu hanya sebuah omong kosong belaka. Sudah cukup baginya melihat orang disekitarnya disakiti oleh urusan percintaan. Contohnya ayahnya sendiri yang sering main perempuan, membuat ibunya dan ayahnya berpisah saking depresinya. Belum lagi teman ...
Fallen Blossom
546      351     4     
Short Story
Terkadang, rasa sakit hanyalah rasa sakit. Tidak membuatmu lebih kuat, juga tidak memperbaiki karaktermu. Hanya, terasa sakit.
Jika Aku Bertahan
12272      2569     58     
Romance
Tidak wajar, itu adalah kata-kata yang cocok untuk menggambarkan pertemuan pertama Aya dengan Farel. Ketika depresi mengambil alih kesadarannya, Farel menyelamatkan Aya sebelum gadis itu lompat ke kali. Tapi besoknya secara ajaib lelaki itu pindah ke sekolahnya. Sialnya salah mengenalinya sebagai Lily, sahabat Aya sendiri. Lily mengambil kesempatan itu, dia berpura-pura menjadi Aya yang perna...
DEWDROP
1046      539     4     
Short Story
Aku memang tak mengerti semua tentang dirimu. Sekuat apapun aku mencoba membuatmu melihatku. Aku tahu ini egois ketika aku terus memaksamu berada di sisiku. Aku mungkin tidak bisa terus bertahan jika kau terus membuatku terjatuh dalam kebimbangan. Ketika terkadang kau memberiku harapan setinggi angkasa, saat itu juga kau dapat menghempaskanku hingga ke dasar bumi. Lalu haruskah aku tetap bertahan...
Give Up? No!
450      302     0     
Short Story
you were given this life because you were strong enough to live it.
Sampai Kau Jadi Miliku
1498      722     0     
Romance
Ini cerita tentang para penghuni SMA Citra Buana dalam mengejar apa yang mereka inginkan. Tidak hanya tentang asmara tentunya, namun juga cita-cita, kebanggaan, persahabatan, dan keluarga. Rena terjebak di antara dua pangeran sekolah, Al terjebak dalam kesakitan masa lalu nya, Rama terjebak dalam dirinya yang sekarang, Beny terjebak dalam cinta sepihak, Melly terjebak dalam prinsipnya, Karina ...
Berawal Dari Sosmed
603      438     3     
Short Story
Followback yang merubah semuanya
Bulan
725      426     5     
Short Story
Ketika Bulan mengejar Bintangnya kembali
Hematidrosis
381      253     3     
Short Story
Obat yang telah lama aku temukan kini harus aku jauhi, setidaknya aku pernah merasakan jika ada obat lain selain resep dari pihak medis--Igo. Kini aku merasakan bahwa dunia dan segala isinya tak pernah berpihak pada alur hidupku.
Havana
784      380     2     
Romance
Christine Reine hidup bersama Ayah kandung dan Ibu tirinya di New York. Hari-hari yang dilalui gadis itu sangat sulit. Dia merasa hidupnya tidak berguna. Sampai suatu ketika ia menyelinap kamar kakaknya dan menemukan foto kota Havana. Chris ingin tinggal di sana. New York dan Indonesia mengecewakan dirinya.