Sometimes in your darkest dreams you will feel the haunting pain
Silent tears of your hidden fears come to haunt you once again
Potongan lirik lagu milik band metal DragonForce itu terngiang di telinga Iago sedari pagi tadi. Harusnya menjelang ulang tahunnya, dia bahagia. Namun yang dirasakan Iago malah sebaliknya. Ulang tahunnya datang seperti sebuah lubang hitam yang terus mendekat, bersiap menelan dan menghancurkan mimpi-mimpinya.
Dulu, Iago pernah merasa jika hidupnya baik-baik saja. Walau keluarganya tidak sesempurna yang diberitakan oleh media, Iago memiliki seseorang yang kala itu mengalihkan dunianya, membuatnya tidak terlalu menghiraukan masa depan yang sudah dirancang oleh Papi untuknya. Sampai akhirnya seseorang yang sudah menjadi pusat dunianya itu tiba-tiba berbalik menghancurkannya. Detik itu juga Iago tidak mau lagi menggantungkan dunianya pada orang lain, dia ingin hidup dalam dunianya sendiri—dunia di mana tidak ada sedikit pun campur tangan dari orang lain.
Andai saja Papi tidak sepenuhnya berkuasa atas segalanya, posisi Iago pasti tidak akan sesulit ini. Meminta tolong pada Ara adalah satu-satunya jalan yang Iago punya. Sayang, hingga detik ini usahanya mendekati cewek itu sama sekali belum menemui titik terang.
Ara selalu bilang kalau dia harus berjuang untuk hidup, tapi dia juga tidak sedang sakit. Lantas apa?
Niatnya mendekati Ara untuk meminta tolong malah berujung pada rasa penasaran.
Bel tanda istirahat pertama sudah berbunyi sejak sepuluh menit yang lalu, teman-teman sekelasnya juga sudah berhamburan menuju kantin—walau ada beberapa yang memilih tinggal di kelas karena malas berdesak-desakan, biasanya mereka akan ke kantin saat istirahat kedua, di mana kantin sudah tidak berjubel seperti saat istirahat pertama. Dengan malas Iago merapikan mejanya, memasukkan buku pelajaran yang sudah lewat ke dalam tas, akan tetapi perhatiannya teralihkan oleh ribut-ribut kecil di pintu kelas.
“Hueee, tumben Ara ke sini sendirian,” celetuk salah seorang temannya.
“Lo cari gue?” Itu adalah suara Hendra.
“Monic mana?” tanya Brian.
Iago menajamkan pendengarannya. “Monic masih di kelas sama Vika,” jawab Ara pada Brian.
“Lo ... cari gue?” Hendra mengulangi pertanyaannya.
“Ng-nggak.” Suara cewek itu terdengar ragu-ragu. “Gue cari ... Iago.”
Mendengar namanya disebut, Iago sontak menoleh ke arah pintu. Saat itulah tatapannya berserobok dengan sepasang mata cokelat milik Ara. Sedetik, waktu terasa berhenti berputar. Ada perasaan ganjil yang merambati dada Iago, terlebih ketika melihat cewek itu berjalan ke arahnya.
“Nanti, lo anterin gue pulang ya,” pinta Ara yang lebih terdengar seperti sebuah perintah.
“Dari kemarin lusa gue juga udah nawarin diri buat nganterin lo pulang,” balas Iago cepat.
“Tapi gue yang nggak mau lo anterin.”
Kening Iago mengernyit dalam. Sebenarnya, ke mana arah obrolan Ara?
“Gue rasa kita butuh bicara—”
Iago sontak berdiri, kedua tangannya memegang masing-masing bahu Ara. “Jadi lo mau nolongin gue?” tanyanya dengan binar mata penuh harap.
Sayang, cewek di hadapannya itu menggeleng perlahan, lalu menyingkirkan tangannya dengan gerakan sesopan mungkin. “Gue cuma mau semuanya jelas. Setidaknya gue pengin lo terima kenyataan kalau gue nggak mau dan nggak akan pernah mau nolongin lo.”
Binar di mata Iago memudar, berganti dengan kekecewaan yang mau tak mau harus ditelannya. “Oke. Kalau itu mau lo. Gue tunggu di parkiran. Gue penasaran hal apa yang belum jelas di antara kita.”
Kita. Kata itu sedikit menyentak Ara. Rasanya ... terdengar ganjil di telinganya. “Oke. Sampai ketemu nanti pulang sekolah,” pamitnya setelah sekian detik terpaku.
Iago tak membalas, sorot matanya menajam, mengikuti sosok Ara yang serasa sudah lepas dari genggamannya. Segaris senyum datar muncul di wajah Iago, jujur dia kecewa. Tidak benar-benar kecewa sih, rasanya lebih mirip ketika gagal mendapatkan nilai terbaik saat ujian akhir semester. Seperti inikah perasaan cowok-cowok yang pernah ditolak oleh Ara?
Nggak, gue nggak mau nyerah. Gue harus bisa dapetin lo, sumpah Iago dalam hati. Dan pada detik berikutnya, Iago yang masih berdiri termangu itu mulai bertanya-tanya pada dirinya sendiri. Semua yang dilakukannya ini murni karena dia butuh pertolongan Ara atau karena dia mulai ... tertarik pada Ara?
Iago menggeleng ganjil. Kayaknya gue emang udah mulai sinting.
*
“Ra, tungguin dong!” Monic dan Vika menarik tangan Ara yang terlihat terburu-buru menuju tempat parkir.
“Lo ada urusan apa sama Iago?” todong Vika.
“Lo nerima Iago jadi pacar lo, ya?” desak Monic.
Ara merasakan kepalanya berdenyut. Namun, mana mungkin dia bisa menghindar dari kedua sahabatnya?
“Nanti, gue pasti bakal cerita soal gue sama Iago,” sahut Ara, berharap kedua sahabatnya itu mau mengerti.
Vika langsung melontarkan ketidaksetujuannya, “Nggak bisa gitu dong, Ra! Lo kenapa malah ke-distract sama Iago sih?”
“Apa karena dia ganteng? Kaya?” Monic juga sama keberatannya dengan Vika.
“Bukaaan.” Ara bingung hendak memulainya dari mana. “Gue cuma ngerasa ada yang salah sama Iago.”
“Ya ampun, Ara....” Vika protes lagi.
“Ada sesuatu yang bikin gue penasaran.”
“Penasaran? Soal apa?”
“Daniel.”
Vika dan Monic saling pandang.
Ara menarik napas dalam-dalam. “Setidaknya biarkan gue cari tahu soal Daniel dari Iago. Si sinting itu pasti punya alasan kenapa ngelarang gue deket sama Daniel.”
Vika dan Monic diam, tampak mempertimbangkan alasan Ara.
“Ara, Iago ngomong gitu karena dia mau lo jadi pacarnya. Jadi mana mungkin dia biarin Daniel ngedeketin lo?” Rupanya Monic tidak sependapat.
“Nah! Lo mikir dong, Ra!” timpal Vika kesal. “Lagian kenapa sih Iago bersikeras minta lo jadi pacarnya?”
Ara mendengus. “Mana gue tahu, Vi.” Lagi-lagi dia terpaksa berbohong. Alasan Iago berkaitan dengan masalah keluarganya, itu yang membuat Ara enggan membuka mulut. Sebenci-bencinya Ara kepada Iago, hati nuraninya masih berfungsi dengan baik. “Tapi yang pasti, Iago bukan cowok yang gue cari. Karena,” Ara sedikit ragu, “ sekalipun dia beneran naksir sama gue, rasa benci gue sama Iago udah terlanjur mendarah daging. Gue benci Iago, lebih dari gue benci siapa pun.”
Kalimat terakhir yang diucapkan oleh Ara otomatis membungkam Vika dan Monic. Ara tidak berbohong, rasa benci itu masih berakar di dalam hatinya—hanya saja, sekarang sudah tidak sekokoh dulu lagi. Ara tidak tahu apa yang akan terjadi nanti. Apakah dia akan memberi kesempatan pada Daniel atau dia malah akan membantu Iago.
Kata nanti memang seperti lubang hitam. Gelap dan penuh teka-teki. Bisa jadi lubang hitam itu adalah sebuah terowongan yang berujung pada cahaya, tapi tidak mustahil juga lubang hitam itu adalah sebuah jurang yang gelap tanpa dasar.
Monic memegang pundak Ara, meremasnya perlahan. “Oke. Gue hargai keputusan lo.”
“Mon...” Vika kelihatan masih keberatan.
“Vi, percaya deh, Ara tahu yang terbaik buat dirinya sendiri,” tutur Monic bijaksana. “Sebagai sahabat kita berdua udah berusaha, malahan kalau lo inget, selalu kita yang mati-matian mikir. Mungkin sekarang Ara punya pemikiran lain, jadi nggak ada salahnya kita biarin Ara dulu.”
“Terus kalau Ara malah mati gimana? Ini soal nyawa, Mon. Jangan dibuat main-main!”
“E-eh! Kok malah kalian yang ribut sih?!” serobot Ara yang semakin pusing melihat kedua sahabatnya berdebat sendiri.
“Kami berdua ribut gara-gara lo!” sentak Vika emosi.
“Vi, kali ini kita biarin Ara. Pantau aja perkembangannya. Kalau kita ngerasa ada yang nggak beres, baru kita yang bikin keputusan buat dia.”
Cewek berambut ikal itu tampak berpikir, berusaha menerima gagasan Monic. “Oke,” putusnya setelah beberapa saat bergelut dengan pikirannya sendiri. Kemudian, dia berpaling pada Ara, “Kalau ada apa-apa, gue adalah orang pertama yang berhak tahu. Gue ... beneran nggak pengin lo kenapa-kenapa, Ra....”
“Gue ngerti, Vi. Lo sebenernya khawatir banget sama gue.” Ara tersenyum. “Dan gue janji, kalau ada apa-apa, lo adalah orang pertama yang gue kasih tahu.”
Sesudahnya Ara pun berlalu, berjalan ke arah sosok yang di kejauhan sudah menantinya. Di antara banyak lubang hitam yang ada di hadapannya, Ara sudah memilih salah satu.
Itu adalah Iago—lubang hitam yang akan membawanya pada cahaya, atau justru malah akan menggulungnya dalam kegelapan.
*