Malamnya, Ara tidak bisa berkonsentrasi. PR akuntansi yang sejak tadi dia kerjakan tidak juga balance pada bagian neracanya. Ara sudah menelitinya lagi dari awal, bahkan mencari angka-angka yang kemungkinan salah tulis sehingga menghasilkan jumlah yang berbeda. Namun kali ini hasil yang ada seakan mengkhianati usahanya, semua yang dilakukan sia-sia.
Capek berpikir, Ara menjatuhkan punggungnya pada sandaran kursi dan memejamkan mata, berniat beristirahat sejenak. Tanpa permisi, tiba-tiba saja sosok Iago melintas di benaknya.
Setiap kali berhadap-hadapan langsung, Ara tidak pernah memperhatikan cowok sinting itu. Rasa muaknya lebih besar, jauh melampaui rasa penasarannya. Jujur saja apa yang Iago ceritakan tadi sedikit banyak sudah menarik keluar rasa penasaran yang selama ini entah bersembunyi di mana. Cowok yang dia kira baik-baik saja, mempunyai segalanya, termasuk hidup yang sempurna, rupanya memiliki permasalahan hidup yang lumayan ribet.
Ada rasa yang mengusik hati Ara. Kebenciannya pada Iago yang menumpuk, sedikit demi sedikit melumer, kemudian berubah menjadi rasa simpati.
“Nggak. Gue nggak boleh terpengaruh sama dia. Hidup gue lebih penting. Gue harus tetep fokus buat cari cowok itu,” tegas Ara mengingatkan diri sendiri.
Ara masih hendak kembali mengutak-atik PR akuntansinya saat layar ponselnya menyala, menandakan bila ada pemberitahuan baru pada Instagram-nya.
Ara menyambar benda berwarna putih itu dan membuka aplikasi Instagram-nya. Rupanya itu adalah Alan yang memberikan like pada beberapa unggahan foto terakhirnya. Ara tersenyum lega, hubungannya dengan Alan sudah tidak ada masalah.
Iseng-iseng, Ara mengetikkan nama Iago pada kolom pencarian hingga muncul beberapa akun dengan nama Iago. Paling atas adalah akun @imiago_vk dengan foto profil cowok ber-hoodie putih yang berpose membelakangi kamera, tangan kanannya memegang stik drum.
Ara menekannya, berharap akun Instagram cowok itu tidak diprivat. Syukurnya, kali ini semesta merestui Ara. Akun cowok itu bisa dengan bebas dilihat oleh siapa saja tanpa perlu mem-follow terlebih dahulu.
Hanya ada tiga foto. Foto pertama adalah foto yang sama dengan foto profilnya, foto kedua adalah foto langit yang sedang cerah, sedangkan foto ketiga adalah foto sekerumun orang yang sepertinya sedang menonton konser musik.
Tunggu! Foto terakhir sepertinya tidak asing.
Ara membuka foto tersebut dan melihat kapan foto itu diunggah. Tanggal 3 Januari. Jangan-jangan itu adalah foto festival musik di SMA Nusantara waktu itu? Kedua mata Ara terbelalak saat membaca caption yang dituliskan Iago: Can you help me?
Lama, Ara tercenung menatap foto minim cahaya tersebut. Saat ini dirinya seperti tergulung di dalam asap tebal. Iago sudah mengatakan alasan kenapa dia meminta Ara untuk menjadi pacarnya. Well, bukan pacar sungguhan pastinya. Hanya saja ... Ara merasa jika Iago belum sepenuhnya terbuka.
“Ck.... Kenapa gue malah mikirin dia sih?” rutuk Ara, mengomel sendiri.
Ara melempar ponselnya ke atas tempat tidur dan kembali menekuri neracanya.
Apa pun yang terjadi, gue harus mengabaikan cowok sinting itu.
*
Seperti yang sudah Iago katakan kemarin, bahwa dia akan terus mengganggu Ara hingga cewek itu bersedia membantunya. Benar saja, Iago sudah ada di depan kelas Ara, bersedekap dengan punggung bersandar pada dinding. Di kedua telinganya terpasang AirPods. Matanya terpejam, tampak begitu menikmati lagu yang tengah didengarkannya. Perhatian Ara beralih pada telunjuk Iago yang mengetuk-ngetuk lengannya sendiri.
Entah kenapa, Iago yang saat ini ada di hadapannya terlihat berbeda dengan Iago yang dia lihat kemarin-kemarin. Meski begitu Ara tetap mengeraskan hati untuk tidak menanggapinya.
Ara melewati Iago begitu saja seolah tak melihat. Namun baru dua langkah, Ara merasa ada seseorang yang mencekal tangannya. Sontak Ara mendengus, dia tak perlu menoleh untuk tahu siapa gerangan yang menyambar tangannya.
Perlahan Ara menoleh. “Sekeras apa pun usaha lo, gue nggak bakal mau bantu,” ujarnya datar.
Iago melepas AirPods-nya. “Lo bilang apa barusan?”
Ara memutar mata, memasang tampang muak. “Sekeras apa pun usaha lo, gue nggak bakal mau bantu,” ulangnya, berusaha keras menahan emosi.
“Lo boleh bilang gitu setelah lo bener-bener kenal gue,” balas Iago cepat.
Ara mengerjap, mencoba memahami maksud cowok yang sudah kembali mengenakan hoodie putihnya lagi. “Lo nggak punya pakaian lain?”
“Ha?”
“Lo selalu pakai hoodie putih.”
Namun yang diajak bicara malah tersenyum, itu adalah senyum pertama Iago yang dilihat oleh Ara. Celakanya lagi ketika melihat senyum itu, dada Ara berdesir. Ada rasa tak biasa yang menghampirinya.
“Nah, hoodie putih.” Iago berpaling ke arah lain sebelum melanjutkan, “Ya, gue suka pakai hoodie dan warna favorit gue putih.”
Ara memilih diam karena bingung harus seperti apa menanggapi informasi ini.
“Lo itu masih kenal gue luarnya aja, belum dalamnya,” imbuh Iago, menatap Ara lurus-lurus.
Ara berpaling untuk menghindari sorotan tajam yang berasal dari mata cokelat gelap Iago. “Buat apa?” tanyanya mengambang.
“Lo harus kenal gue lebih dulu, baru lo putusin mau nolongin gue atau nggak.”
“Nggak, Go.” Ara kembali menatap Iago. “Gue sendiri masih kebingungan nolong diri gue sendiri—”
“Gue bakalan nolong lo juga, Ra.”
Ara mendesah frustrasi. “Lo nggak ngerti.”
“Selama kita nggak saling kenal, kita nggak bakalan bisa saling ngerti.”
Kalimat itu sedikit menyentak Ara. “Go, dengerin gue baik-baik.... Kalau lo minta tolong ke gue di saat yang tepat, mungkin gue bakal mau sekalipun gue benci setengah mampus sama lo. Tapi sayangnya lo minta tolong di saat yang salah, di saat gue sendiri sedang berjuang buat hidup.”
Kening Iago mengernyit, tatapannya berubah teduh. “Lo ... sakit?” tanyanya ragu-ragu.
“Bukan, Go.” Ara tertawa sumbang. “Udahlah, lo nggak bakal ngerti,” ujarnya, lalu melepaskan paksa tangannya dari cengkeraman Iago.
“Beri gue waktu satu minggu.”
“Go, please.... Waktu gue nggak sebanyak itu.”
“Tiga hari. Gimana kalau tiga hari?”
“Go—”
“Gue bakal biarin lo kenal gue. Gue bakal tunjukin apa yang pengin lo lihat, gue juga bakal ngejawab semua pertanyaan lo.... Ra, tolongin gue.”
“Lo kenapa sampai segininya sih?”
“Karena gue butuh lo.”
Ara menatap sebentar cowok di hadapannya. “Bentaran deh, gue pikirin dulu. Sumpah pusing banget gue ngadepin lo,” ujarnya sembrono agar Iago cepat pergi.
Iago mengangguk. Jika diamati benar-benar ada seraut kekecewaan di wajahnya, akan tetapi Iago dengan cepat memasang wajah datar. “Oke. Gue tunggu jawaban lo.”
Cowok itu sudah siap-siap angkat kaki saat Ara meneriakinya, “Lo tadi dengerin lagu apa?”
“Dawn Over a New World,” jawab Iago.
Setelah cowok itu beranjak, Ara pun berjalan memasuki kelas. Dengan langkah gontai dia menuju mejanya yang terletak di pojok paling belakang. Ara melihat Monic sudah duduk di sana, menodongnya dengan tatapan penuh tanya.
“Lo sama Iago—”
“Jangan tanya apa-apa dulu, plisss. Kepala gue nyut-nyutan,” beri tahu Ara pada Monic.
Monic mengangguk mengerti. “Ra, gue pinjem PR akuntansi lo dong,” rengek Monic. “Gue udah pingsan duluan baca soalnya.”
“Semalam gue ngerjainnya nggak balance. Berasa pengin lemparin tuh buku ke got.” Ara mengeluh sembari mengeluarkan buku tugas miliknya dan memberikannya pada Monic.
Tanpa ba-bi-bu-be-bo cewek berkacamata itu langsung menyalinnya.
Sambil mengamati Monic menyalin PR-nya, Ara bertanya, “Mon, menurut lo, apa gue salah kalau punya keinginan buat nolongin Iago...?”
Monic mengerjap-ngerjapkan matanya. “Hah? Apa? Lo bilang apa barusan?”
“Nggak. Ntar aja deh kita ngobrol lagi, lo fokus nyalin dulu aja.”
Ara menyangga dagu, pikirannya berkabut. Jika semalam dia begitu yakin untuk mengabaikan Iago, barusan cowok itu tiba-tiba muncul dan menggoyahkan keyakinannya. Parahnya lagi Ara terlanjur mengatakan jika dia akan memikirkan permintaan Iago untuk saling mengenal lebih dalam.
Duh, kenapa semuanya jadi tambah ruwet gini sih?
“Dhuarrr!!!” Dion yang baru saja datang berteriak tepat di telinga Ara.
“DIONNN!!!” Ara balas meneriaki cowok jail itu keras-keras, sama sekali tidak memedulikan teman-teman sekelasnya yang terganggu.
Namun yang diteriaki malah menjulurkan lidah dan menelengkan kepala seolah mengejek.
“Ya ampun! Kalian berdua bisa nggak sih, akur sehari aja?” protes Vika, kemudian berpaling kepada Dion. “Ini juga,” Vika menyikut rusuk pacarnya, “udah akil balig tapi kelakuan kayak bocah belum sunat!”
Monic terbahak. Beberapa teman sekelas mereka yang mendengarnya juga ikut-ikutan terbahak. Sontak suasana kelas menjadi riuh, padahal sebelumnya kebanyakan dari mereka sedang fokus menyalin PR akuntansi.
“Beb, jangan ngomong gitu dong. Kan jadi malu,” goda Dion sembari mencubit pipi Vika.
“Malu?!” Ara mengorek telinganya dengan kelingking. “Setahu gue muka lo sama beton nggak ada bedanya.”
“Ckck....” Dion bersedekap dan menggeleng-geleng. “Kenapa hidup gue gini amat ya, punya pacar sama sepupu mulutnya pedes banget kayak cabe.”
Ara mengambil buku paket geografi miliknya dan mengayunkan buku itu ke lengan Dion. “Eh! Mulut lo yang bener, ya!”
“Tuh kan, salah lagi.”
“Woy, kalian berdua udahan dong. Gue nggak bisa konsen nyalin nih, mana tulisan Ara imut-imut banget,” protes Monic yang sedang memperbaiki posisi kacamatanya.
Dion garuk-garuk kepala dengan tampang polos. “Lah? Akuntansi ada PR, ya?”
“Khusus buat lo nggak ada. PR lo nanti diganti sama lari keliling lapangan sepuluh kali,” ujar Vika tanpa dosa. Dia lalu mengeluarkan buku tugas akuntansinya dan mencocokkan jawabannya dengan milik Ara.
“Lo di kelas ngapain aja sih?” sembur Ara pada Dion.
“Emang akuntansi jam keberapa?” Dion malah balas bertanya.
“Jam pertama.”
“Mampusss!” Cowok itu langsung kelimpungan. “Kenapa nggak ada yang ingetin gue sih?!”
Monic mendongak, melemparkan tatapan heran bin tak mengerti. “Kok bisa sih Vika mau sama lo. Gagal paham gue.”
“Gue dipelet sama dia. Ntar kalau peletnya udah hilang, gue pasti balikan lagi sama Tae-hyung Oppa,” sahut Vika enteng.
Ara dan Monic spontan protes bebarengan, “Halu lo ketinggian, Viii....”
Keriuhan itu tak berlangsung lama, karena tak sampai lima menit kemudian bel masuk berbunyi. Secepat kilat semua kembali ke tempat duduk masing-masing sebelum Bu Murni masuk kelas.
Pelajaran hari ini berjalan seperti biasa. Ara tidak benar-benar memperhatikan materi dan malah lebih sering melempar pandangan ke luar jendela. Sejujurnya dia sedang berusaha keras menyatukan kembali keping keyakinannya yang terbelah. Hidupnya lebih penting daripada apa pun, dia harus memperjuangkannya. Lalu ... bagaimana dengan Iago?
Kenapa semakin ke belakang, Ara semakin tidak bisa mengabaikan cowok itu?
Jarum jam terus bergeser ke kanan. Jam pertama, kedua, dan ketiga sudah lewat. Sampai akhirnya bel istirahat pertama berbunyi.
“Ra, lo sariawan?” tegur Vika keheranan. Cewek itu heran melihat Ara yang sedari tadi lebih banyak diam, padahal biasanya sahabatnya itu tergolong murid yang cukup aktif bertanya jika ada materi yang kurang dimengerti.
“Eh?!” Ara gelagapan. “Kenapa, Vi?”
Vika mendengus, “Gue yang seharusnya tanya gitu sama lo.”
“Pasti ada kaitannya sama Iago,” celetuk Monic. Itu bukan tanpa alasan, karena tadi pagi Monic memergoki Iago tengah menunggu Ara di depan kelas.
Ara menarik napas dalam-dalam. “Sebenernya ... ini bukan cuma soal Iago, tapi juga,” Ara menggigit sudut bibirnya, “Daniel.”
“Daniel?!” Vika dan Monic sama-sama terbelalak keheranan.
Ara mengangguk. “Kemarin, waktu gue nyamperin Jefrey, tahu-tahu Daniel muncul terus minta gue buat ngasih dia kesempatan. Daniel bilang, dia masih suka sama gue.”
Tak ada yang merespons. Baik Vika maupun Monic masih tampak belum reda dari rasa terkejutnya.
“Bagus dong, Ra!” seru Vika setelah rasa terkejutnya reda. “Jadi lo nggak perlu susah-susah cari cowok kekurangan cinta itu lagi. Karena,” senyum Vika mengembang, “cowok itu udah dateng sendiri ke lo.”
“Iya sih, Vi,” Monic menggaruk pelipisnya, “tapi gimana dengan yang lainnya? Jefrey, Richard, Kak Ardan, Hendra?”
“Ya udah skip aja,” sahut Vika enteng. “Alan jelas-jelas mundur teratur, lalu Jefrey....” Vika melirik Ara, “tuh anak gimana, Ra?”
Ara mengedikkan bahu. Malas sebetulnya dia membahas soal cowok, rasanya begitu ... capek! Ara tahu jika kedua sahabatnya akan terus mendesak sekalipun dia bungkam, jadi dia memilih menanggapi sekenanya. “Kabur,” tuturnya singkat.
Kerutan keheranan jelas tercetak di dahi kedua sahabatnya, terutama Vika yang selalu ingin tahu.
“Jefrey pergi sewaktu Daniel nyamperin gue,” terang Ara.
“Wah, parah tuh anak,” anggap Vika.
Monic manggut-manggut setuju. “Harusnya kalau Jefrey suka beneran sama lo, dia bakalan ngelakuin segala cara buat dapetin lo. Bukannya malah ngibrit waktu ada cowok lain yang juga deketin lo.”
Kali ini Ara hanya menganggapinya dengan senyum samar. Jefrey dan Daniel, jelas-jelas mereka berdua sosok yang sangat bertolak belakang. Baik dari status sosial maupun kepopuleran. Daniel anak konglomerat, Jefrey dari keluarga biasa. Daniel kapten tim futsal, Jefrey cowok pemalu dari klub drama. Ara ingat, kemarin Jefrey tampak bersemangat ketika melihatnya. Jelas, Jefrey masih menyukainya—walau entah sebesar apa rasa sukanya. Namun tetap saja, jika disandingkan dengan Daniel, Jefrey seperti tidak ada apa-apanya. Padahal menurut Ara Jefrey adalah cowok baik, sayangnya terlalu pemalu.
“Fix, lo nggak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, Ra,” kata Vika. “Daniel—”
“Iago ngelarang gue berurusan sama Daniel, Vi!” sela Ara, gemas karena sahabatnya itu terlalu antusias, sampai-sampai mengabaikan perasaannya yang galau setengah mati. Terlalu banyak hal yang harus dipertimbangkan masak-masak, termasuk membiarkan Daniel mendekat. Sekalipun Ara selalu menolak pemikiran Iago, entah kenapa kali ini hatinya sependapat dengan cowok sinting itu.
“Iago lagi!” dengus Vika.
“Gue nggak tahu Daniel dan Iago ada urusan apa. Satu hal yang pasti, mereka itu seperti musuhan,” sambung Ara tanpa menggubris protes Vika. “Waktu Daniel ngobrol sama gue, Iago tiba-tiba muncul. Si sinting itu bilang kalau udah memperingatkan Daniel buat nggak berurusan sama gue. Pusing gue....”
Sebetulnya Ara ingin melanjutkan cerita soal apa yang didengarnya dari Iago kemarin. Namun Ara mengurungkannya sebab dia tahu masalah Iago bukanlah masalah yang layak dia bagi-bagikan, termasuk pada kedua sahabatnya sendiri. Masalah keluarga itu sifatnya begitu sensitif. Jujur cerita Iago kemarin agak mengikis hati Ara yang mulanya sekeras karang. Ara juga menghargai cowok itu dengan menyimpan rapat-rapat cerita mengenai kebobrokan keluarga dan hidupnya yang selama ini terlihat sempurna.
Meski sedikit, Ara mulai bersimpati pada Iago.
“Abaikan Iago.” Kali ini Monic yang bersuara. “Gue rasa nggak ada salahnya lo biarin Daniel deketin lo. Inget, lo harus ambil semua peluang yang lo punya, sekecil dan sejanggal apa pun itu.” Lalu Monic mengelus bahu Ara yang sejak tadi terkulai.
“Gue nggak suka sama Daniel,” gumam Ara pelan.
Monic meremas bahu Ara. “Rasa suka itu bisa timbul karena terbiasa, Ra.”
Ara tersenyum mengambang. “Gitu, ya...?”
Pikiran Ara kembali bergelut. Mungkin tak ada salahnya dia membiarkan Daniel mendekatinya, tapi lagi-lagi peringatan Iago mengusiknya. Belum lagi cowok sinting itu akan kembali megejar-ngejarnya seolah tidak menerima kata tidak.
“Oh iya, gue mau kelarin urusan kecil gue sama Iago,” kata Ara. “Gue ... ke kelas 11 IPA-1 dulu ya,” ucap Ara pada Vika dan Monic, lalu meninggalkan keduanya yang bertanya-tanya sebenarnya ada apa antara dirinya dan Iago.
*