Ara duduk di halte yang terletak di depan sekolah, menunggu ojek online yang baru saja dipesannya. Benaknya masih sibuk mencerna dan entah kenapa semakin dipikirkan, rasanya Ara malah ingin menangis. Selama ini hidupnya baik-baik saja, masalah berat yang dihadapi Ara hanya sebatas bertengkar dengan sahabatnya, mendapat nilai jelek ketika ulangan, atau dimarahi oleh Mama karena pulang terlalu larut tanpa telebih dulu memberi kabar. Jadi wajar saja jika apa yang tengah dihadapinya sekarang membuat dadanya terasa seperti terhimpit.
Desahan pasrah meluncur dari bibir Ara, yang diinginkannya sekarang ialah segera sampai di rumah dan tidur. Untuk kesekian kalinya Ara berharap ketika terbangun nanti, semua keruwetan yang terjadi dalam hidupnya ini hanya sebatas mimpi buruk. Namun rupanya pemikiran tersebut tidak terlalu bisa menghibur, karena dari kejauhan Ara melihat mimpi buruk itu berjalan tergesa-gesa ke arahnya.
“Ra....”
Dengan cekatan Ara berdiri, hendak meninggalkan halte. Berani sumpah dia begitu malas berurusan dengan cowok yang menjadi salah satu dari sekian banyak mimpi buruknya. Namun yang namanya mimpi buruk tetap saja menerobos masuk sekalipun kita sudah bersikeras untuk mendorongnya pergi.
“Kenapa lo main kabur aja sih?” Iago memegang pundak Ara untuk menahannya pergi.
“Kabur?” Ara tersenyum miring, sembari menyingkirkan tangan Iago dengan hati-hati. “Gue nggak kabur. Gue cuma ngerasa nggak ada urusan aja sama Daniel, apalagi sama lo.”
“Lo emang nggak perlu dan jangan sampai berurusan sama Daniel. Tapi,” Iago menatap Ara lurus-lurus, “lo harus bantuin gue.”
Ara menggeleng lemah, rasanya sudah terlalu capek. “Gue mending berurusan sama Daniel ketimbang sama lo,” ujarnya datar.
Kali ini ganti Iago yang menyunggingkan senyum miring. “Lo nggak tahu siapa dia sebenarnya.”
“Gue juga nggak tahu siapa lo sebenarnya,” sambar Ara sekenanya.
“Ra—”
“Gue mau pulang,” pangkas Ara. “Itu ojol pesenan gue udah dateng. Dan gue mohon dengan sangat sama lo, plis jangan cari-cari gue lagi.”
Iago sempat tercenung selama beberapa detik. Apa yang dia lakukan ini sangat tidak masuk akal—sama sekali tidak mencerminkan dirinya. Jika saja ada orang lain yang bisa membantunya, Iago juga tidak mau mengemis-ngemis pada Ara seperti ini.
“E-eh, gue aja yang anterin lo pulang,” cegah Iago sewaktu Ara hendak menerima helm dari abang pengemudi ojek.
“Apaan sih?! Kemarin lo juga bilang gitu ke gue. Tapi nyatanya apa? Lo malah ninggalin gue di kafe! Sinting lo!”
Sontak Iago terbelalak. Ternyata apa yang dipikirkannya kemarin meleset. Iago kira Ara benar-benar tidak ingin diantar pulang olehnya.
“Minggir lo!” Ara mendorong tubuh Iago yang menghalang-halanginya mendekat pada ojek yang dia pesan.
“Ra, gue yang bakal anterin lo pulang,” ujar Iago berusaha meyakinkan.
“Nggak!”
Tanpa pikir panjang, Iago mengeluarkan dompet dan menarik dua lembar uang seratus ribuan, kemudian menyodorkannya pada pengemudi ojek. “Bang, cancel aja. Ini gue kasih gantinya.”
“Eh, nggak bisa gitu! Lo nggak bisa seenaknya sendiri!”
Sayangnya, si abang ojek tak ambil pusing dan menerima begitu saja lembaran berwarna merah yang disodorkan oleh Iago, setelahnya abang ojek berjaket dominan warna hijau itu menstarter motornya dan pergi.
“Arrrgh! Sumpah, lo itu beneran sinting!” teriak Ara tanpa memedulikan sekitarnya.
Iago menarik napas panjang untuk meredam emosinya. Menghadapi Ara memang membutuhkan berton-ton kesabaran. “Ra, gue anterin pulang, yuk!” Suara Iago kalem.
Ara enggan merespons. Rasa kesalnya pada Iago benar-benar sudah mencapai batasnya. Saking kesalnya, Ara sampai nyaris menangis. Apa yang terjadi hari ini, semuanya, melenceng jauh dari rencananya. Usahanya mendekati Jefrey sama sekali tidak membuahkan hasil. Lalu, Daniel tahu-tahu muncul dan memintanya untuk memberi kesempatan. Sekarang, cowok sinting di hadapannya ini seolah datang untuk memperparah keadaan. Ara tak tahu kenapa cowok sinting itu bersikeras mengejarnya. Dijelaskan dengan logika apa pun, semua itu sama sekali tidak masuk akal.
“Mobil gue masih di parkiran sekolah,” beri tahu Iago. “Lo jalan duluan. Gue di belakang lo.”
Pikiran Ara yang masih waras dengan tegas menolak, tapi batinnya yang sudah lelah menyuruhnya untuk menurut. Karena sepertinya, mendorong Iago menjauh bukanlah cara untuk mengakhiri semua ini.
Iago dan Ara kembali masuk ke sekolah, mereka beriringan menuju tempat parkir. Di belakang Ara, cowok yang kali ini tidak memakai hoodie itu sama sekali tak melepaskan pandangannya. Benar-benar seperti predator yang tengah menggiring mangsa. Dengan satu langkah lebar, Iago bergerak cepat hingga berada di depan Ara, mengadang langkah cewek itu dengan badannya.
Praktis, Ara menabrak tubuhnya—wajah Ara bertumbukan langsung dengan dada Iago.
“Ra, kali ini lo beneran jangan kabur ya.”
“Sebenernya mau lo itu apa?” Ara mendorong tubuh Iago, memukul-mukul dada cowok itu dengan membabi buta. “Salah gue apa ke lo? Kenapa lo gangguin hidup gue terus?”
Iago mencekal kedua tangan Ara agar cewek itu berhenti memukulinya. “Cuma lo yang bisa nolongin gue.”
Ara menyeringai pedih. “Gimana gue bisa nolongin lo sementara gue sendiri juga butuh pertolongan biar gue bisa tetep hidup?”
Iago menatap Ara penuh tanda tanya.
“Lo nggak tahu apa yang gue hadapin, Go. Jadi gue mohon berhenti ganggu gue,” desis Ara berusaha menyabarkan dirinya sendiri.
Keributan kecil itu menarik perhatian beberapa siswa yang masih berada di sekolah. Mereka yang penasaran langsung mendekat dan menonton. Mereka bertambah heboh ketika tahu keributan yang terjadi adalah antara Prince dan cewek yang menjadi most wanted di sekolah ini.
“Sekarang, cepet anterin gue pulang,” lanjut Ara yang mulai risi karena menjadi pusat perhatian.
Iago yang tanggap akan situasi menarik tangan Ara dan memaksanya masuk ke dalam laboratorium kimia, lalu dengan cepat mengunci pintunya dari dalam.
“Lo mau ngapain lagi sih?!” Ara memberontak.
“Gue mau lo dengerin gue ngomong.”
“Tapi—” Ara mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Hanya ada mereka berdua—dia dan Iago di sebuah ruangan beraroma campuran dari berbagai macam zat kimia. “Kenapa harus di sini? Lo mau ngancam gue? Nyiram muka gue pakai asam nitrat kalau gue nolak lo?”
Iago mendengus. “Gue nggak ngerti kenapa lo bisa baik ke semua cowok, tapi sama gue nggak bisa,” gumamnya kecewa. “Gue terpaksa, Ra. Andai kata ada orang lain yang bisa bantu gue, gue ogah banget punya urusan sama lo.”
Setelahnya mereka terdiam cukup lama. Suara jarum jam yang berdetik, dengus napas, bahkan detak jantung mereka membaur menjadi satu mengusik keheningan.
“Kenapa gue?” lirih Ara.
“Karena lo benci sama gue.”
Ara mengembus napas pendek. “Go, gue beneran nggak ngerti. Dan sekalipun gue ngerti, gue nggak bisa nolongin lo.”
“Gue nggak mau pacaran sama cewek yang suka sama gue. Karena buntutnya pasti bakal ngerepotin. Sedangkan lo, lo benci banget sama gue. Jadi baik gue ataupun lo nggak bakal kerepotan ketika harus putus.”
“Gue nggak ngerti....”
Iago melompat, menduduki meja yang berada di barisan paling depan. “Sering kali apa yang kita lihat itu bukan kenyataan, Ra.”
Ara makin bingung. “Maksud lo apa sih?”
“Mungkin di mata kalian, hidup gue sempurna. Padahal kenyataannya, hidup gue ini nggak ada bedanya sama mimpi buruk.”
“Dan tanpa lo sadar, lo udah jadi salah satu dari mimpi buruk gue,” dengus Ara.
Iago tak menggubris, melainkan memilih untuk meneruskan ceritanya. “Bokap gue itu nggak seperti yang selama ini kalian tahu. Dia penuh ambisi, semua harus sesuai dengan apa yang dia inginkan. Termasuk hidup dan masa depan anak-anaknya.”
Ara terdiam. Informasi ini baru dan tentu saja tak seperti yang diberitakan. Apakah soal masa depan itu yang membuat Iago terpaksa harus berpacaran? Tapi apa hubungannya antara masa depan dan pacaran?
Duh, kenapa ini anak ribet banget sih?!
“Tapi gue punya cita-cita, gue punya mimpi, dan gue udah punya rencana buat hidup gue sendiri. Gue nggak mau dijodohin sama cewek yang...” ekspresi Iago berubah kecut, “...yang gue nggak suka. Umurnya satu tahun di atas gue.”
“What?” Ara terbelalak. “Tapi siapa pun cewek itu dia pasti lebih segalanya dari gue. Jadi nggak masuk akal aja lo minta gue pura-pura jadi pacar lo.” Ara masih berkeras hati.
Iago menggeleng. “Lo nggak kalah cantik dari dia. Bahkan menurut gue, lo lebih cantik.”
Ara nyengir. “Tapi dia setara sama lo, kan? Yang ke sekolah aja nyetir BMW sendiri. Beda sama gue yang mobil aja masih mau dikreditin sama bokap.”
“You don’t get the point.”
“Gue—”
“Gue pengin tunjukin ke bokap kalau gue punya pilihan sendiri. Bayangin aja, gue masih SMA, Ra! Masa depan gue masih panjang. Gue nggak mau diatur-atur.”
Ara menyilangkan tangannya di depan dada. “Oh, jadi lo mau memberontak dan itu dimulai dengan milih pacar?”
Iago mengedikkan bahu. “Ya. Kurang lebih gitu.”
Ara tersenyum sinis. “Tindakan lo cukup berani. Tapi sori, gue nggak bisa bantuin lo.” Usai mengatakan itu, Ara memutar kunci dan keluar dari ruangan.
“Oke. Sori juga sebelumnya, gue bakalan terus gangguin lo,” balas Iago, sama sekali tak gentar.
Ara pura-pura tidak mendengarnya dan terus berjalan meninggalkan Iago.
*