“Hah?” Vika melotot tak percaya ketika Ara menceritakan mengenai Iago yang memintanya menjadi pacarnya. “Lo nggak bercandain gue, kan?”
Ara menarik masing-masing sudut bibirnya ke belakang. “Umur gue udah tinggal hitungan hari, Vi. Kurang kerjaan banget kalau gue bercandain lo.”
Pintu kamar Vika terbuka dan Monic menerobos masuk. “Gimana? Gimana? Duh, kenapa ceritanya nggak nunggu gue dulu?”
“Keburu penasaran,” sahut Vika.
“Ceritain lagi dong, Ra.” Monic merengek pada Ara sembari mengguncang-guncangkan tubuh Ara yang terduduk lesu.
“Iago nembak gue,” terang Ara singkat.
Saking terkejutnya, Monic sampai melompat dari tempat tidur. “Maksud lo Prince Iago, kan? Lo serius?” Dia mengerjap-ngerjapkan matanya, masih tak percaya.
“Nggak. Gue bercanda,” balas Ara sekenanya, tenaganya sudah habis terkuras untuk menghadapi cowok sinting tadi.
“Kenapa Iago nembak lo? Tuh anak nggak bener-bener naksir sama lo kan, Ra?” Rasa penasaran Monic masih berada di ubun-ubun.
“Gue juga nggak ngerti, Mon. Yang pasti, gue sama sekali nggak respek sama Iago, meskipun dia cowok … perfect.” Ara terpaksa berbohong. Tak tahu kenapa Ara ingin menyimpan sendiri alasan Iago yang memintanya untuk menjadi pacarnya.
Ara menjatuhkan diri di kasur kemudian memeluk guling. Berani sumpah, ramalan mengenai hidupnya saja sudah membuat hari-harinya kacau. Belum lagi dia harus mencari cowok yang dimaksud agar bisa terus hidup. Lalu, cowok yang sama sekali tidak diprediksi mendadak hadir dalam hidupnya, muncul begitu saja dan meminta tolong padanya.
Ara terpekur, mengingat-ingat kembali apa kaitan dirinya dengan cowok sinting itu. Selama ini dirinya dan Iago sama sekali tidak memiliki benang merah. Mereka berdua hanya sekadar saling tahu tanpa pernah bertegur sapa. Ara tergolong supel, mudah berteman dengan siapa saja, dari kalangan mana saja. Sedangkan Iago adalah sosok terjauh yang sama sekali tak ingin digapai Ara, meski hanya untuk sekadar berteman.
Ara dan Iago ... seperti hidup dalam dunia yang berbeda. Ara dengan kesenangannya menikmati masa-masa SMA, Iago dengan seluruh keseriusannya untuk mempersiapkan diri menjadi pengganti ayahnya kelak.
“Normalnya cewek bakal kegirangan setengah mati waktu ditembak sama Iago,” celetuk Vika.
“Sampai sekarang gue nggak ngerti apa istimewanya si sinting itu selain dia kaya, punya segalanya, bisa segalanya...” respons Ara tak bersemangat. “Tuh anak udah nuduh gue nguping, ngancam, terus tiba-tiba muncul gitu aja kayak demit sekolah, mana tadi pakai nembak gue segala.”
Vika dan Monic saling lempar pandang. Ada sesuatu yang terlewat, sesuatu yang tidak diceritakan Ara pada mereka.
“Nguping?” Sebelah alis Monic terangkat.
Ara mendesah panjang. “Sori, gue lupa cerita. Waktu di festival musik itu, gue dituduh nguping obrolan dia di telepon, padahal gue baru aja keluar dari kamar mandi.”
“Terus dia ngancam lo buat nggak bilang sama siapa-siapa...?” sambung Monic setengah bertanya.
“Ya gitu deh.”
“Dan lo nggak cerita ke gue sama Monic?” todong Vika.
“Waktu itu yang gue inget cuma ramalannya Madam Maris. Kejadian lainnya gue lupa.”
“Terus, rencana lo sekarang apa?”
“Gue nggak tahu,” jawab Ara lemah. “Yang gue tahu, hari ini gue udah gagal,” lanjutnya dengan suara yang kian menghilang.
“Alan ... udah nggak suka lagi sama lo?” tanya Monic hati-hati.
Ara menggeleng. “Bukan gitu. Alan masih suka sama gue, cuma rasa sukanya udah nggak sebesar dulu lagi. Dan ... dia nggak mau berharap banyak. Dia ingin semuanya berjalan apa adanya.”
Terdengar pekikan pelan yang berasal dari Monic. Dilihat dari ekspresinya, cewek itu terlihat kecewa. “Gue pikir Alan adalah cowok yang lo cari,” gumamnya. “Padahal lo cocok banget sama Alan. Lo anggota tim cheer, Alan kapten tim basket.”
“Ara kan udah keluar dari tim cheer, Mon,” koreksi Vika.
Ara menghela napas. “Anggap aja tadi itu gue nemenin Alan sebagai wujud permintaan maaf karena gue pernah bikin malu dia di depan orang banyak,” ujarnya lesu.
Tak dapat dimungkiri, Ara sempat menaruh harap pada Alan. Cowok itu baik dan layak untuk dicintai. Namun ketika Alan mengakui bila rasa sukanya pada Ara sudah tidak sebesar dulu, Ara menciut. Rupanya rasa cinta bisa dengan mudah berubah. Jadi, apa sih istimewanya cinta?
Selama beberapa saat, tak ada yang bersuara. Vika dan Monic hanya diam menatap Ara yang juga diam. Sedangkan Ara merasa bila dirinya baru saja tertimpa tanah longsor—mendadak dan bertubi-tubi. Waktunya semakin berkurang, lalu Alan yang sempat membuatnya berharap rupanya hanya ingin berteman saja, ditambah lagi dengan kehadiran Iago yang tahu-tahu memintanya menjadi pacarnya. Ara menarik napas dalam-dalam, menahannya sesaat sebelum mengembuskannya keluar melalui mulut. Sebentar saja, dia ingin bernapas lega.
“Lo belum gagal, Ra,” hibur Monic. “Lo cuma perlu berusaha lebih keras lagi.”
Vika buru-buru mengangguk.
“Tapi gue nggak tahu si cowok kekurangan cinta itu sekarang ada di mana, dengan siapa, dan sedang berbuat apa,” respons Ara putus asa.
Vika mencubit pipi Ara, merasa gemas karena bisa-bisanya sahabatnya itu berseloroh ketika membicarakan hal serius semacam ini.
“Eh, lutut lo kenapa?” tanya Monic, telunjuknya menekan plester yang menutupi luka Ara.
Spontan Ara menepis tangan Monic. “Aw! Jangan ditekan keras-keras juga kali, Mon. Sakit, tauk!”
“Sori....”
“Tadi gue keserempet motor pas nemenin Alan. Ada anak ngegas aja, padahal di sana udah ada tulisan kalau masuk halaman sekolah, mesin motor harus dimatikan,” cerocos Ara emosi. Dia masih kesal bila mengingat kejadian tadi.
“Itu tandanya Alan bukan cowok yang lo cari!” vonis Vika bersemangat yang langsung mendapat tatapan dari kedua sahabatnya. “Buktinya Ara langsung kena sial pas jalan sama Alan,” jelasnya.
Monic manggut-manggut, langsung mengerti. Sementara Ara masih terdiam. Antara percaya dan tidak, logikanya seperti diacak-acak. Seumur-umur Ara tidak pernah bersinggungan dengan hal semacam ini, tapi sekalinya bersinggungan, semuanya terasa seperti sebuah halusinasi yang menjelma nyata.
Rupanya, hal di luar nalar itu memang benar-benar ada.
“Jadi besok kita jalanin plan B,” lanjut Vika.
“Plan B?” tanya Ara dan Monic bebarengan.
Vika mengangguk. “Yup! Lo harus ngedeketin Jefrey.”
Sontak Ara tertunduk lesu. Waktu mendekati Alan rasanya memang tidak sesulit yang dibayangkan. Dia dan Alan pernah menjadi teman sekelas, jadi sedikit banyak Ara tahu karakter Alan. Sementara dengan Jefrey, dia sama sekali tidak kenal. Jefrey mengutarakan perasaannya sewaktu mereka berpapasan di depan ruang serba guna pada saat pergantian kelas. Bahkan kalau diingat-ingat lagi, Ara juga belum memberikan jawaban pada cowok pemalu tersebut. Sebab setelah mengutarakan perasaannya, cowok itu malah berjalan mundur dan pergi tanpa pernah menemui Ara lagi.
Ara menggaruk kepalanya. “Duh, gue harus gimana buat ngedeketin Jefrey?”
“Samperin aja langsung. Yakin kok kalau dia nggak bakalan nolak lo,” jawab Vika terdengar yakin.
“Tapi....”
“Nggak pakai tapi-tapian!” tegas Vika. “Kalau lo nggak mau mati, lo harus berusaha sekeras mungkin, termasuk mengambil berbagai macam peluang yang ada.”
Monic yang sedari tadi diam akhirnya bersuara, “Gue tahu ini susah buat lo, Ra. Tapi gue rasa nggak ada salahnya lo mencoba.”
“Oke! Kalau gitu, besok kita langsung jalanin plan B.” Vika sangat berapi-api.
Ara melengguh, kemudian menjatuhkan diri di kasur dan memeluk bantal. Benaknya penuh dengan pertanyaan yang dia sendiri pun tak tahu di mana harus menemukan jawabannya.
Kenapa semesta menuntutnya seperti ini?
Namun meski pikiran dan hati Ara enggan dengan ide tersebut, mau tak mau plan B harus tetap berjalan.
*
Iago membuang napas kasar. Tubuh dan pikirannya begitu lelah. Namun, ketika dia melihat Ara turun dari taksi online dan masuk ke dalam rumah, beban di pundaknya sedikit berkurang. Iago meringis, bahkan dari kejauhan wajah kesal cewek itu terlihat sangat jelas.
Setelah beberapa detik menatap pagar berwarna putih yang baru saja ditutup oleh Ara, Iago menghidupkan mesin mobilnya dan pergi.
Sepanjang perjalanan, Iago berpikir, bagaimana bisa dia mengikuti Ara? Sejak cewek itu keluar dari kafe, lalu ke rumah temannya, hingga pulang ke rumahnya sendiri? Terus terang Iago sendiri juga bingung. Entahlah, Iago tahu-tahu seperti memiliki sebuah tanggung jawab—merasa harus memastikan Ara sampai Ara di rumah dengan selamat. Di hadapan Alan tadi, Iago sudah berjanji untuk mengantar pulang, hanya saja dia tahu jika Ara pasti menolak. Jadi yang dilakukannya ialah diam-diam membuntuti cewek tersebut.
Sampai di rumah, Iago disambut oleh seseorang yang sangat tidak ingin dilihatnya. Hati dan pikirannya yang sudah agak tenang, kembali bergemuruh penuh emosi.
“Gue denger tadi lo nembak Ara,” cecar cewek berambut panjang sepinggang yang tadi sempat berargumen dengannya di sekolah.
Iago menyeringai. Tak heran bila cewek di hadapannya ini tahu soal itu, sama seperti Daniel, informannya cukup banyak.
“Gue nggak tahu apa yang ada di kepala lo, tapi gue pastiin kalau gue bakal gagalin apa pun itu rencana lo. Termasuk ... pacaran sama Ara,” lanjutnya kemudian terbahak. “Arabella emang cantik, gue akui itu. Tapi ... astaga, Iago! Dia itu nggak selevel dengan kita. Setidaknya kalau lo cari pengganti gue, cari yang selevel dong!”
Kedua tangan Iago mengepal menahan geram. Jika saja yang di hadapannya itu cowok, Iago pasti sudah meninju wajahnya.
“Gue capek,” ungkap Iago setelah sekian menit tidak merespons.
“Mau lo pacaran sama siapa pun, itu nggak mengubah kenyataan kalau gue ini tunangan lo! Bokap lo udah terlanjur suka sama gue.”
“Kalau gitu lo jadi pacar bokap gue aja,” balas Iago cepat.
“Iago!”
Tanpa menggubris apa-apa, Iago meninggalkan cewek yang dulu sempat menjadi bagian dari hari-harinya itu di ruang tamu. Apa yang sudah terjadi tidak dapat dikoreksi, apalagi dihapus. Rencananya menjadikan Ara pacar hari ini memang gagal, namun Iago masih memiliki beberapa rencana lagi untuk mendekati Ara.
Besok, saatnya plan B!
*