Seminggu lebih berlalu. Ara masih diam di tempat, sama sekali belum mengambil langkah maju. Benaknya terus-terusan bertanya, ‘cowok kekurangan cinta’ itu cowok yang seperti apa? Apakah berbeda dengan cowok normal pada umumnya?
“Ra, ngelamun aja lo?!” tegur Vika dengan suara keras, sebab dia sudah menegur Ara sebanyak tiga kali dan semuanya diabaikan begitu saja.
Sotak lamunan Ara buyar. “E-eh?”
“Ah-eh ah-eh.” Vika melempar tisu yang diremasnya ke wajah Ara. “Lo mikirin apa? Belakangan ini jadi suka ngelamun. Kasihan tuh, siomay-nya dianggurin.” Wajah Vika berubah menjadi memelas, menatap siomay di piring Ara yang masih utuh.
“Ya ampun, Vika.... Bisa-bisanya lo masih tanya Ara mikirin apa, udah jelas Ara itu lagi mikirin cowok,” sahut Monic cepat, kemudian menoleh pada Ara yang masih setengah bengong, “Iya kan, Ra?”
Ara mengangguk sekali. Dia memang tengah memikirkan soal itu.
“Aduh!” Vika menepuk dahinya sendiri, lalu melipat tangannya di atas meja dan menegakkan punggung. “Ra, gue kasih tahu ya, yang namanya masalah itu beres karena diselesaikan, bukan cuma dipikirin doang.”
“Iya sih,” Ara terlihat berpikir sejenak, “tapi masalahnya, Vi, Mon, gue nggak tahu harus gimana. Katanya kalian mau bantuin gue, tapi mana? Buntu nih gue.”
Tak ada yang menjawab. Vika dan Monic sama-sama bungkam. Jujur ini membuat Ara kesal. Bukankah mereka berdua sudah berjanji akan membantunya?
Ara mendesah pelan. Masalahnya dia merasa tidak tahu-menahu tentang cowok dan tetek bengek-nya. Di mata Ara hanya ada dua jenis cowok. Pertama: cowok abnormal, misalnya Dion. Tipe cowok semacam ini rata-rata urat malunya sudah putus, kelakuannya ajaib, dan berisiknya minta ampun. Lalu kedua: cowok normal, seperti Hendra yang berkelakuan sopan dan enak untuk dijadikan teman.
Kedengaranya konyol, tapi memang sedangkal itulah pengetahuan Ara soal cowok.
Sesosok cowok ber-hoodie putih melintas di samping kanannya. Cowok itu sama sekali tidak menoleh, kelihatan sangat tidak acuh dengan sekitarnya. Padahal hampir semua pasang mata yang ada di kantin ini mengarah padanya.
Dengusan kasar lolos begitu saja dari hidung Ara. Cowok itu membuat Ara menambah satu lagi tipe cowok. Cowok sinting. Menurut Ara gelar tersebut cocok untuk cowok ber-hoodie putih itu.
“Tuh anak berasa jadi Lee Min-ho kali, ya?” celetuk Monic.
“Siapa?” Vika otomatis penasaran.
“Tuh,” Monic mengarahkan dagunya pada cowok ber-hoodie putih tersebut, “si Prince.” Cowok jangkung itu tengah membungkuk untuk mengambil minuman kaleng dari vending machine, kemudian berlalu begitu saja meninggalkan kantin.
“Kok kalian malah perhatiin cowok sinting itu sih?” protes Ara, sebal melihat kedua sahabatnya malah beralih fokus pada Prince.
“Kami berdua nggak perhatiin Iago, Ra. Dia aja yang penampilannya selalu menarik perhatian,” balas Monic.
“Yup! Betul sekaleee...” timpal Vika yang otomatis membuat Ara cemberut.
“Terus gue gimana dong? Gue, sahabat kalian ini terancam nggak bisa ngerayaain ulang tahun yang ke-17.” Ara mulai uring-uringan. “Kalian fokus bantuin gue dong.”
“Iya.... Iya....”
Vika dan Monic tampak sama-sama berpikir.
“Waktu gue cuma sembilan puluh hari dan udah berkurang,” lanjut Ara pesimis.
“Gue rasa cowok itu ada di sekolah ini, Ra,” ujar Monic yakin.
Ara dan Vika sama-sama melayangkan pandangan meminta penjelasan.
“Madam Maris bilang kalau cowok itu dekat sama lo, tapi kalian nggak pernah saling bersinggungan. Sedangkan kebanyakan waktu lo habiskan di sekolah. Jadi di mana lagi cowok itu kalau bukan di sekolah kita?” Monic menjelaskan, mencoba meyakinkan Ara dan Vika melalui antusiasme sorot matanya. “Lo juga nggak ikutan les atau kegiatan macam-macam. Lingkup pergaulan lo cuma di sekolah aja, kan?”
Vika manggut-manggut mengerti. “Oke, bisa diterima. Terus masalahnya, cowok yang mana? Di sekolah kita banyak cowok. Nggak mungkin kan, kita nyuruh Ara PDKT ke mereka satu-satu.”
Ara geli sendiri membayangkan bila dia harus mendekati cowok-cowok demi menemukan si ‘cowok kekurangan cinta’. Padahal selama ini dia dikenal dengan prinsipnya yang tidak ingin pacaran.
Vika dan Monic berpikir lagi.
“Gimana kalau dengan cowok yang pernah naksir sama lo?” usul Vika.
Mendengarnya, Ara hanya bisa nyengir. “Tapi mereka kan nggak cuma satu, Vi.”
“Lo sih, deketnya sama siapa saja, tapi nggak ada satu pun yang dipacarin,” cibir Vika.
“Duh, susah juga ya.” Monic menggaruk kepalanya, kemudian dia diam dan memutar otak. “Nah, kalau dimulai dari cowok yang pernah nembak lo gimana?”
Ara ternganga. “Hah?”
“Masuk akal juga tuh.” Vika sependapat. “Gue mikirnya orang yang dimaksud itu adalah cowok yang punya perasaan sama lo.”
“Yang jelas dong, Vi,” pinta Ara. “Gagal paham gue.”
Vika berdeham, lalu mulai menjelaskan, “Ibaratnya kayak dua buah gelas. Lo adalah gelas yang terisi penuh, sedangkan cowok yang lo cari itu adalah gelas yang kosong. Jadi kemungkinan besar cowok yang sedang lo cari adalah cowok yang mengharapkan cinta dari lo.”
Ara mencerna kalimat panjang Vika. Memang masuk akal sih, tapi....
“Yang pernah nembak gue kan nggak cuma satu dua orang, Vi. Masa gue harus PDKT ke mereka satu-satu buat cari yang klik?”
Vika mendesah panjang. “Duh rewel banget sih ini anak?! Lo mau mati aja?”
“Nggak!”
“Makanya ... gue juga lagi mikir keras buat lo nih. Awas aja sampai otak gue aus gara-gara dipakai mikir ginian.”
“Kita bikin daftarnya aja dulu,” usul Monic.
Kening Ara mengerut. “Daftar apaan?”
“Cowok yang pernah nembak lo.”
“Tapi, Mon....”
“Lo mau mati?” Vika memperingatkan.
Ara menggeleng.
Monic mulai menyebutkan nama-nama cowok yang pernah menyatakan perasaannya pada Ara. Alan kapten tim basket, Jefrey dari klub drama, Richard si kutu buku, Daniel dari tim futsal, dan Kak Ardan mantan ketua OSIS.
Vika melotot mendengar barisan nama-nama cowok itu, dia menggeleng-geleng. “Total lima cowok dan semuanya lo tolak.”
“Gue kan memang nggak pengin pacaran dulu, Vi.”
“Dan sekarang lo kena karmanya karena lo harus pacaran,” imbuh Monic.
Ara bersedekap, setengahnya kesal pada Vika dan Monic yang sedari tadi terkesan menyalahkannya. Dia butuh bantuan, bukannya malah dihakimi!
“Kayaknya ada yang kurang deh.” Vika mengingat-ingat sekali lagi daftar yang diucapkan oleh Monic tadi, keningnya mengernyit dalam tanda tengah berpikir keras. “Ah, Hendra! Masukin dia ke daftar.”
“Hendra kan nggak pernah nembak gue, Vi,” tolak Ara tak setuju.
“Ya ampun, Ra, dilihat dari sudut mana pun, Hendra itu jelas-jelas naksir berat sama lo.”
Memang, meski tidak pernah secara resmi menyatakan perasaan, sikap Hendra pada Ara berbeda. Cowok itu terlalu baik dan terkesan selalu ada untuknya. Sama-sama tergabung dalam OSIS membuat Ara dan Hendra sering bertemu serta bekerja bersama, mungkin itulah yang membuat mereka dekat. Namun, Ara tidak memiliki perasaan apa-apa terhadap Hendra. Dirinya dan Hendra memang sama-sama fans klub Real Madrid, juga sama-sama gemar menonton film horor. Oh ayolah, seperti itu saja sudah cukup. Ara tidak ingin memiliki hubungan lebih dengan cowok itu.
Ara menyatukan kedua tangannya seperti sedang berdoa. “Jangan Hendra plisss.”
“Malah gue mikirnya cowok yang dimaksud itu adalah Hendra,” sahut Vika.
“Nggak mungkin,” tolak Ara. “Kata Madam Maris gue dan cowok itu nggak pernah bersinggungan. Jadi mana mungkin Hendra? Dia kan sering sama-sama gue.”
Namun sepertinya Monic memiliki pemikiran yang sama dengan Vika. “Mungkin maksudnya nggak bersinggungan itu bukan secara fisik, tapi perasaan. Dibilang kayak gitu karena lo nggak pernah membuka hati buat menerima perasaan Hendra.”
Ara mengibaskan kepalanya. “Aduh, ribet banget sih. Pusing gue.”
Vika memutar mata. “Ini anak di kelas pinter tapi kalau urusan beginian telmi banget,” rutuk Vika sambil menyentil dahi Ara. “Maksudnya itu perasaan lo yang nggak pernah bersinggungan, Ra. Gimana perasaan kalian bisa bersinggungan kalau baru dideketin aja lo udah langsung pasang garis polisi?”
“Oh....”
“Jadi, Ra, lo secepatnya udah harus PDKT ke cowok-cowok itu,” kata Vika. “Pertama Alan.”
“Mampus,” umpat Ara frustrasi.
Monic menatapnya, manik mata sahabatnya itu berkilat tajam. “Lo harus ketemu sama cowok itu kalau lo nggak mau mati.”
Mampus! Mampus gue!
*