Loading...
Logo TinLit
Read Story - Surat untuk Tahun 2001
MENU
About Us  

Desember, tahun 2001

Ludwi berlarian kecil, menjelang senja dan ia tahu harus bergegas. Sepucuk surat tergenggam di jemari tangannya yang kecil. Ludwi baru saja menemani Paman Bento ke kedai kopi langganan, pemilik kedai adalah teman masa kecil Paman Bento. Kedai langganan ini berubah semakin megah. Pada pintu kedai tertulis nama “Kafe Gerimis” menggunakan sebuah papan kayu berhias lampu warna-warni kecil seperti yang biasa ia lilitkan pada pohon natal.

Alas sepatu Ludwi usang tergerus aspal jalanan, tetapi ia bersemangat untuk menemukan sesosok makhluk sesuai pesan dalam surat yang diterimanya sore ini.

Tidak masuk akal. Itulah hal pertama yang terlintas dalam kepalanya. Surat itu muncul begitu saja keluar dari kotak pos merah ketika iseng berjalan berputar-putar di halaman kafe karena bosan.

Dirinya sampai terjerembab saking kagetnya. Untunglah kesadaran cepat menguasai. Ludwi membuka surat tanpa amplop itu, sebuah kertas yang dilipat membentuk amplop. Semula ia bingung dengan bentuk tulisan pada kertas tersebut, namun akhirnya disadari rangkaian huruf yang bisa ia baca berada di sisi baliknya.

Sabar menunggu Paman Bento mengakhiri kunjungan pertemanan sekaligus menikmati sesapan terakhir cangkir kopinya, Ludwi akhirnya bernapas lega. Paman Bento memanggilnya dengan megetuk-ngetukkan tongkat kayu yang membantunya berjalan.

Ludwi tampak gusar, gelisah tak menentu. Tak sabar ingin menunaikan misi yang tertulis dalam surat. Saat seperti inilah kebiasaan menggelengkan kepala yang dideritanya muncul. Terlalu bersemangat dan gelisah memicu kondisi ‘istimewa’ pada dirinya.

Sesampainya di depan pagar rumah, Paman Bento berpesan, “Ludwi, malam ini akan ada gerhana bulan, langit akan lebih gelap dari biasanya, pulanglah ke rumahmu dengan hati-hati, terima kasih untuk hari ini, ya!”

Ludwi mengangguk mengiyakan. Rumahnya yang berada dua blok dari rumah Paman Bento tidak akan beranjak kemana-mana, tetapi berpetualang dalam misi rahasia yang telanjur direncanakan dalam hatinya tak dapat ditolak lagi.

Benar apa yang Paman Bento katakan. Setelah dua jam menelusuri gang-gang sempit, tiba-tiba Ludwi merasakan kegelapan yang pekat. Langit yang sudah mendung sedari sore, ditambah pencahayaan lampu jalanan yang remang-remang membuat penglihatannya tak begitu baik.

Oh, apakah gerhana bulan tengah berlangsung? Gawat, aku belum juga menemukan kucing hitam seperti pesan dalam surat. Aku pernah melihatnya sekali, kucing hitam yang bertengger di  atas kotak pos merah dengan anggun. Aku pasti dapat mengenalinya dari wujud ekornya yang mirip ekor rubah, gumam Ludwi dalam hati.

Bayang sekelebat dengan wujud halus bulu yang nyata menyentuh betis kaki anak lelaki berusia sembilan tahun tersebut. Ludwi merasa semacam bulu lebat menyapu kulitnya.

“Benar, itu kucing hitam yang kucari-cari!” soraknya gembira. Ludwi mulai melakukan pengejaran. Kucing hitam tak memedulikan panggilannya, berlarian ke sana ke mari, berlompatan di atas tong sampah dengan lincah. Sesekali Ludwi terpaksa membetulkan tong-tong sampah yang jatuh menggelinding.

Seperti mengejar maling, guman Ludwi membatin.

Kucing hitam mulai berlarian di jalan raya. Ludwi berteriak-teriak memanggil tetapi percuma. Sampai akhirnya kucing itu berdiam di tengah jalan tepat perempatan lampu merah, duduk diam dengan anggun, seolah menantang mobil-mobil yang menunggu lampu hijau menyala.

“Kena kau! Kau tak bisa lari lagi, heh!” seru Ludwi yang berhasil menangkap kucing hitam dengan ke dua tangannya. Ludwi mengangkat kucing itu melihatnya saksama, betapa terkejutnya Ludwi pada apa yag terlihat. Kucing hitam menunjukkan smirk di bibirnya. Apakah seekor kucing dapat melakukan hal itu? pikir Ludwi keheranan.

Belum sempat Ludwi beranjak dari tengah jalan itu dengan menggendong kucing hitam dalam pelukannya, tiba-tiba suara benturan keras juga roda berdecit beruntun menghampiri gendang telinganya.

Ckiiiit …

Biiim …biiim ….

Bunyi rem mendadak dan klakson kendaraan menggema di mana-mana. Malam itu, menjadi mimpi buruk tak terlupakan bagi Ludwi. Kabut gelap menyelimuti pandangannya sebelum akhirnya ia jatuh pingsan di tengah jalan. Sayup-sayup ia mendengar suara tawa misterius yang berasal dari sosok kucing hitam yang terlepas dari pelukannya dan berlari pergi.

Fu …fu … fu …

Dalam kondisi lemas saat itu, bukan hanya suara tawa kucing hitam, melainkan teriakan samar orang-orang yang mengungkapkan ada korban jiwa dalam kecelakaan beruntun yang disebabkan oleh dirinya itu. Ya, seketika ingatan Ludwi beberapa menit lalu kembali. Sorot lampu truk yang hampir saja menghantam tubuh kecilnya yang berada di tengah jalan justru menghantam sebuah mobil di mana akhirnya ke tiga penumpang dalam mobil tersebut tewas seketika.

Orang-orang mengangkat tubuh Ludwi yang tergeletak di tengah jalan. Meninggalkan secarik kertas yang jatuh tercecer dari kantung mantel Ludwi. Sebuah kertas surat yang ditulis dibalik formulir beasiswa ferris―dari Universitas Ferris, Yokohama, Kanagawa, Jepang―bertuliskan huruf kanji yang datang dari masa depan dan ditemukan Ludwi tanpa sengaja, serta menyuruhnya melaksanakan misi untuk menangkap kucing hitam untuk dimasukkan kembali ke dalam kotak pos merah. Tulisan dalam surat itu berbunyi―

Kepada seseorang yang menemukan suratku.

Bila kau bertemu seekor kucing hitam yang berkeliaran di dekat kotak pos merah, tempat kau menemukan suratku. Tangkaplah kucing hitam itu, dia bukanlah kucing biasa, dia dapat tertawa dan dapat mengubah nasibmu. Segera masukkan kembali ke dalam kotak pos merah.

Dari Salli, 1 januari 2024

***

 

Kedai Miyasha, tahun 1969

Anak perempuan berusia sepuluh tahun itu terus menunduk, tatapannya membentur kerikil di ujung sepatunya. Dia tidak bermain sendiri, seekor kucing hitam setia menemaninya. Sesekali Miya―nama anak kecil itu―memeluk dan menciumi kening kucing hitam, tapi terkadang juga ia melepaskan kesal dan memukul kucing hitam yang bingung dengan perubahan sikap Miya yang serba tiba-tiba.

Miya bersikap demikian, bukannya tak sayang pada kucing hitam, tetapi dalam pikirannya sesak dengan pertengkaran kedua orang tuanya yang membuatnya muak.

“Kau sendirian?” tanya seorang pria mendekati Miya sambil mengembuskan asap-asap cigarette dari sela bibirnya ke udara.

Miya mendongak pada paman tersebut, ia mengenalnya sebagai kawan dari kedua orang tuanya. Tatapan Miya tajam mengarah pada paman itu.

Membungkamkan suara, Miya tidak peduli dengan kalimat sapaan yang didengar. Terlebih paman itu sering menyuruhnya tutup mulut.

“Miya, kau tidak bisa bicara, ya!” seru pria tersebut naik pitam.

“Huuh, merepotkan, bukankah kau yang menyuruhku selalu diam??” ungkap Miya menggebu.

Pria itu melotot, kemudian setelah ia menyadari sesuatu, akhirnya tertawa terbahak.

“Kau mendendam, heh, bocah!” seru pria itu masih dengan seringai tawanya yang culas.

Miya tidak menjawab, hatinya menjadi kesal, tangannya sibuk menarik-narik ekor kucing hitam agar tidak pergi meninggalkannya. Kucing itu mengeong, berusaha melepaskan diri, kemudian justru melingkar di pangkuan Miya yang terduduk di tanah, pasrah.

Pria itu mendengus melihat Miya hanya diam tak membalas komentarnya. Biasanya anak ini pandai berdebat, pikirnya membatin, apa sekarang hobinya hanya merenung di pojok halaman ini? pikir pria itu lagi.

Pria tersebut mengamati paras gadis kecil itu dengan rasa tak suka, sungguh perpaduan wajah yang membuatku muak, bisik batinnya masih penuh luka.

“Ayo, ikut aku ke dalam kedai, ibumu pasti khawatir bila kau terus melarikan diri dari makan siangmu,” ujar pria itu lagi.

Miya menggeleng, membuang muka, duduk menekuk lutut sambil memeluk kucing.

“Ya, sudahlah, bila tak mau. Melekatlah kau dengan tanah itu!” umpat sang pria sambil mematikan cigarette, menginjaknya dengan ujung sepatu. Kemudian ia berbalik pergi menuju arah pintu kedai.

“Huuh, di sana pasti seorang wanita telah menantimu dan ingin berdua denganmu saja,” gumam Miya lirih.

Bukan salah Miya, bila kini lebih memilih menghindari makan siang. Teriakan-teriakan kasar ayahnya pada ibunya membuat Miya muak, terlebih hal itu dilandasi akibat rasa cemburu ayah Miya pada pria yang tadi berbicara dengan Miya.

Tentu saja, kecemburuan ayah Miya beralasan. Ibu Miya teramat bahagia jika bersama pria tadi. Pernah Miya memergoki mereka tengah berpelukan―pria tadi dan ibunya―dan selalunya pria itu menyuruh Miya untuk diam. Saat Miya mencoba memprotes tindakan ibunya bersama pria itu, ibunya justru menangis sejadi-jadinya. Ibu Miya berkata bahwa menikahi ayah Miya adalah suatu kesalahan.

“Jadi, apa kau menyesal melahirkanku, Ibu?” tanya Miya waktu itu.

Sayangnya, ibu Miya tidak menjawab, hal itu membuat hati Miya hancur. Tanpa ibu Miya sadari sebenarnya Miya pernah menguping, pembicaraan dua orang dewasa yang ternyata merupakan mantan kekasih itu. Ibu Miya dan pria tadi, adalah mantan kekasih yang harus terpisah karena ayah Miya yang juga merupakan kawan baik dari pria tadi, melamar ibu Miya dengan semua harta kekayaannya. Ibu Miya tergiur lantas meninggalkan kekasihnya, tapi kemudian ia menyesali pernikahannya.

“Sungguh kekayaan tak bisa membeli cinta,” itulah kalimat yang keluar dari bibir ibu Miya sambil menangis di pelukan pria tadi.

Tak cukup di situ, pria tadi mencoba menghibur dengan memeluk pinggang mantan kekasihnya itu erat, “Sudah terjadi, nasi telah menjadi bubur, dan aku pun telah berkeluarga.”

Percakapan di antara mereka selalu menghantui benak Miya. Kenyataan pahit bahwa ayah dan ibunya tidak saling mencintai, dan yang lebih menyakitkan lagi kawan baik dari ayahnya itulah orang yang dicintai ibunya. Pria itu adalah pria yang sama dengan pria yang sering menegurnya, juga pria yang sama yang memotret foto keluarga yang selalu ada di saku baju Miya seperti sekarang ini.

Miya masih berdiam diri, di bawah pohon halaman kedai. Langit menjelang senja. Miya sibuk berbicara sediri dengan kucing hitam, yang terkantuk-kantuk mendengar segala ungkapan isi hati Miya. Kemarahan yang tak berani Miya tunjukkan di hadapan kedua orang tuanya,

Posisi duduk Miya tidak berubah, bahkan ketika mobil ayahnya memasuki halaman kafe. Miya mengamati, ayahnya yang sebentar memasuki kedai lantas cepat keluar kembali dengan wajah amarah. Huuh, apa pria pembuat kopi itu berulah lagi, ya? tanya Miya dalam hati.

Ayah Miya menyalakan mesin mobil, disusul ibu Miya yang berteriak histeris. Sontak Miya terkejut dan berdiri gemetar, saat ayah Miya berteriak lantang memanggil namanya. Dalam hitungan detik ayah Miya menyeret Miya memasuki mobil, tangan Miya masih memeluk kucing hitam yang berpegangan erat pada kerah baju Miya yang  berenda putih.

Sayup-sayup suara teriakan, tangisan, erangan, pertengkaran kedua orang tua Miya, berisik memenuhi rongga kepala Miya yang membuatnya menjerit-jerit. Mereka bertiga dalam satu mobil, ayah Miya masih dengan kemarahannya, menyetir ugal-ugalan. Miya menutup telinganya, kucing hitam terlepas dari pelukannya. Pada bayang kaca jendela mobil, sosok pria pembuat kopi berteriak memanggil mencoba hentikan mobil. Detik-detik yang amat krusial, entah angin dari mana, saat mobil hendak berbelok sedikit melambat, saat itulah Miya memutuskan mengambil keputusan sulit, yaitu keluar segera dari mobil yang rasanya semakin panas dengan kata makian kedua orang tuanya. Miya sukses bergulung di jalanan beraspal. Terluka parah dan tak ingat apa pun, sampai akhirnya ….

Dua minggu kemudian. Sepulang dari rumah sakit, pria yang dicintai ibunya itu membawanya kembali pulang ke Kedai Miyasha yang membuatnya menjerit-jerit histeris.

“Paman, aku tak mau pulang!!! teriak Miya berulang kali.

Beberapa orang lainnya memegangi tangannya. Mencoba melerai amarah Miya. Miya terus menangis sesenggukan. Sampai akhirnya beberapa orang dewasa yang mengerumuninya bersepakat untuk membawa Miya ke sebuah panti asuhan.

Miya sedikit tenang, kendati tinggal di panti asuhan justru lebih nyaman, ia banyak menghabiskan waktu merenungi sebuah foto. Lambat laun kesehatan Miya membaik. Kondisinya menjadi tidak baik kembali ketika seseorang yang dibencinya, tapi sangat dicintai ibunya itu, datang menjenguk.

Pria itu memang rutin menjenguknya setiap malam minggu, terkadang datang bersama anak dan istrinya yang semakin membuat Miya muak.

“Aku tak mau bertemu!” teriak Miya, entah yang ke berapa kali. Ibu panti hanya mengelus dada dengan respon Miya yang masih dipenuhi amarah.

“Mereka orang baik, Miya. Mereka donatur tetap yayasan panti asuhan ini,” ujar ibu panti menasihati.

“Mereka hanya merasa bersalah!” ucap Miya ketus.

“Paman baik itu sering menanyakan kabarmu, ia juga yang memenuhi semua kebutuhanmu,” ujar ibu panti lagi.

“Huuft, bila ia orang baik, tentunya ia tidak merenggut keluargaku … Ayah, Ibu dan kucing hitam kesayanganku, huu … huuu …,” tangis Miya tergugu.

Kecelakaan mobil merenggut tiga nyawa dalam mobil tersebut, andai saja dulu Miya tidak nekat turun dari mobil, pastilah kini ia turut menjadi korban.

Terkadang saat menangis sendirian di dalam kamar panti itulah, Miya menangkap siluet kucing hitam peliharaannya dulu. Selanjutnya Miya tampak berbicara sendiri penuh derai air mata, sebuah foto di tangannya menjadi luapan kesedihan.

Seorang teman baik, yang juga anak dari ibu panti yang menjabat saat itu … menghiburnya dan menemani agar Miya tidak sendirian.

“Setelah dewasa aku akan pergi dari panti ini,” ujar Miya berapi-api.

“Ke mana pun kau pergi, aku akan mendukungmu,” ucap teman itu tersenyum.

“Berjanjilah, kau tak akan mencari keberadaanku, aku hanya tak mau lagi berkaitan dengan pria itu juga kedai Miyasha.” tukas Miya.

Teman baik itu mengangguk. Miya memberikan selembar foto pada teman baiknya itu.

“Aku tak mau melihat ini lagi, simpanlah!” pinta Miya serius.

“Aku akan memasang di dinding ruang kerjaku ketika tiba saatnya aku menjabat sebagai ibu panti di panti asuhan ini,” ucap teman Miya sambil tersenyum.

Teman baik Miya itu menjadi saksi, masa remaja yang dilalui Miya, saat jatuh cinta dan akhirnya memutuskan pergi dari pintu panti. Miya bersikeras tak ingin hidup dari uang paman yang mengelola kedai kopi. Teman baik itu juga tahu, bahwa Miya akan tertawa sekeras-kerasnya ketika mendengar kabar duka dari keluarga paman pembuat kopi tersebut. Bertahun-tahun Miya tersiksa akibat dirinya tak dapat mengontrol emosi saat kabar duka itu datang menghampiri. Setelah tertawa sepuasnya, ia akan menangis sejadi-jadinya.

Teman baik itu akhirnya menyerah saat pagi menjelang dan ia tak melihat Miya lagi di kasurnya.

Paman pembuat kopi masih rutin berkunjung walaupun ia tahu Miya telah pergi. Dengan tulus memberikan bantuan yang tidak sedikit, baik harta maupun tenaga. Lalu seseorang akan melihatnya duduk tepekur meratapi kehilangan saat memandang kerumunan anak-anak panti yang tengah bermain. Bukan rahasia lagi, kalau paman pembuat kopi berturut-turut kehilangan istri dan anak-anaknya. Bahkan dicap gila oleh sebagian warga kota.

Waktu berlalu dengan amat cepat, suatu waktu … datang seorang anak remaja berusia empat belas tahun yang mengaku anak dari Miya. Ia datang seorang diri dan mengatakan bahwa ibunyalah yang menyuruhnya datang ke panti. Ibunya hanya mengantarkan sampai pintu gerbang saja tanpa mau bertemu lagi dengan teman lamanya. Tanpa banyak bertanya teman baik Miya yang telah menjadi ibu panti, menerima kedatangannya. Wajah Luna, nama gadis itu, sangat mirip dengan Miya. Tak perlu diragukan lagi, ini memang anak Miya.

Paman pembuat kopi senang sekali mendengar kabar bahwa Luna anak dari Miya tinggal di panti. Ia memberikan banyak uang untuk keperluan Luna tanpa diketahui oleh Luna. “Biarlah ini menjadi rahasia kita,” ujar paman pembuat kopi yang saat itu sudah semakin tua kepada ibu panti.

Paman pembuat kopi tak pernah menyapa Luna dari dekat. Ia melihatnya dari kejauhan. Sementara kabar Miya seperti tertelan mesin waktu. Sama sekali tak ada kabar setelah kabar perceraiannya.

Tahun berganti tahun, pada tahun 2001, setelah lulus SMA. Luna sering mengunjungi sebuah kafe, di sana ia bertemu seseorang yang membuatnya jatuh cinta dan tiga tahun kemudian membentuk keluarga bersamanya. Kafe yang Luna kunjungi itu adalah kedai kopi milik Miya yang telah berganti nama. Sesuai dengan nama si pembuat kopi yaitu, “Gerimis”.

Sehari sebelum si pembuat kopi menutup mata untuk selama-lamanya. Ia kembali datang ke panti asuhan, mencari jejak Miya. Namun, jawaban ibu panti sama, karena ia pun benar-benar tak tahu ke mana perginya Miya. Sorot mata pembuat kopi yang telah renta seperti menyimpan kepedihan. Ia memang menanggung rasa bersalah sepanjang hayatnya. Rasa kehilangan yang bertubi membuatnya rapuh dan tak pernah merasa bahagia. Ibu panti yang iba pun menceritakan bahwa anak Miya yang bernama Luna pernah bekerja di Kafe Gerimis di tahun 2001 lalu.  Alangkah terkejutnya si pembuat kopi, lalu ia bergumam sendiri, “Akh, seharusnya mata tuaku ini mengenalinya.”

Ia mengernyitkan dahi, berpikir dan kemudian terkekeh, “Oh, jadi itu maksud dari nyanyian gerimis yang menyebutkan tahun 2001, kini aku bisa pergi dengan tenang.”

Semua akan kembali kepada jalan takdirnya masing-masing, meskipun berliku. Pilihan menjadi baik atau jahat adalah pilihan manusia, tetapi Tuhan akan mengembalikan semua sesuai takarannya, pada tempatnya masing-masing.

End

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Gloomy
589      390     0     
Short Story
Ketika itu, ada cerita tentang prajurit surga. Kisah soal penghianatan dari sosok ksatria Tuhan.
Luka Adia
786      482     0     
Romance
Cewek mungil manis yang polos, belum mengetahui apa itu cinta. Apa itu luka. Yang ia rasakan hanyalah rasa sakit yang begitu menyayat hati dan raganya. Bermula dari kenal dengan laki-laki yang terlihat lugu dan manis, ternyata lebih bangsat didalam. Luka yang ia dapat bertahun-tahun hingga ia mencoba menghapusnya. Namun tak bisa. Ia terlalu bodoh dalam percintaan. Hingga akhirnya, ia terperosok ...
The DARK SWEET
653      479     2     
Romance
°The love triangle of a love story between the mafia, secret agents and the FBI° VELOVE AGNIESZKA GOVYADINOV. Anggota secret agent yang terkenal badas dan tidak terkalahkan. Perempuan dingin dengan segala kelebihan; Taekwondo • Karate • Judo • Boxing. Namun, seperti kebanyakan gadis pada umumnya Velove juga memiliki kelemahan. Masa lalu. Satu kata yang cukup mampu melemahk...
Secarik Puisi, Gadis Senja dan Arti Cinta
1193      796     2     
Short Story
Sebuah kisah yang bermula dari suatu senja hingga menumbuhkan sebuah romansa. Seta dan Shabrina
What If I Die Tomorrow?
416      266     2     
Short Story
Aku tak suka hidup di dunia ini. Semua penuh basa-basi. Mereka selalu menganggap aku kasat mata, merasa aku adalah hal termenakutkan di semesta ini yang harus dijauhi. Rasa tertekan itu, sungguh membuatku ingin cepat-cepat mati. Hingga suatu hari, bayangan hitam dan kemunculan seorang pria tak dikenal yang bisa masuk begitu saja ke apartemenku membuatku pingsan, mengetahui bahwa dia adalah han...
Redup.
646      391     0     
Romance
Lewat setiap canda yang kita tertawakan dan seulas senyum yang kerap dijadikan pahatan. Ada sebuah cerita yang saya pikir perlu kamu dengarkan. Karena barangkali saja, sebuah kehilangan cukup untuk membuat kita sadar untuk tidak menyia-nyiakan si kesayangan.
My Sweety Girl
11230      2543     6     
Romance
Kenarya Alby Bimantara adalah sosok yang akan selalu ada untuk Maisha Biantari. Begitupun sebaliknya. Namun seiring berjalannya waktu salah satu dari keduanya perlahan terlepas. Cinta yang datang pada cowok berparas manis itu membuat Maisha ketakutan. Tentang sepi dan dingin yang sejak beberapa tahun pergi seolah kembali menghampiri. Jika ada jalan untuk mempertahankan Ken di sisinya, maka...
NADA DAN NYAWA
15163      2857     2     
Inspirational
Inspirasi dari 4 pemuda. Mereka berjuang mengejar sebuah impian. Mereka adalah Nathan, Rahman, Vanno dan Rafael. Mereka yang berbeda karakter, umur dan asal. Impian mempertemukan mereka dalam ikatan sebuah persahabatan. Mereka berusaha menundukkan dunia, karena mereka tak ingin tunduk terhadap dunia. Rintangan demi rintangan mereka akan hadapi. Menurut mereka menyerah hanya untuk orang-orang yan...
in Silence
454      323     1     
Romance
Mika memang bukanlah murid SMA biasa pada umumnya. Dulu dia termasuk dalam jajaran murid terpopuler di sekolahnya dan mempunyai geng yang cukup dipandang. Tapi, sekarang keadaan berputar balik, dia menjadi acuh tak acuh. Dirinya pun dijauhi oleh teman seangkatannya karena dia dicap sebagai 'anak aneh'. Satu per satu teman dekatnya menarik diri menjauh. Hingga suatu hari, ada harapan dimana dia bi...
Let Me be a Star for You During the Day
792      367     15     
Inspirational
Asia Hardjono memiliki rencana hidup yang rapi, yakni berprestasi di kampus dan membahagiakan ibunya. Tetapi semuanya mulai berantakan sejak semester pertama, saat ia harus satu kelompok dengan Aria, si paling santai dan penuh kejutan. Bagi Asia, Aria hanyalah pengganggu ritme dan ambisi. Namun semakin lama mereka bekerjasama, semakin banyak sisi Aria yang tidak bisa ia abaikan. Apalagi setelah A...