Perasaan kesalku masih memuncak, cemburu membuncah tanpa peringatan, meledak begitu hebat dalam dada yang bergemuruh. Pandanganku sayu menatap poster Min Yoongi, ragu dengan apa yang barusan aku rasakan. Mengapa ada perasaan tersingkir menyaksikan keakraban bos dan senior. Jika aku cemburu pada siapa kecemburuan ini aku tujukan? Lalu ketika aku berlari ke depan poster Min Yoongi yang tertempel di dinding, aku baru menyadari bahwa yang membuatku kesal adalah perasaan tersingkir yang sama seperti bagaimana ayah menyingkirkan kami dari kehidupannya. Aku takut, kehilangan senior dan bos dalam duniaku sekarang.
“Salli, tunggu!” seruan Tuan Neil mengagetkanku yang melamun. Terbesit ide untuk pura-pura tidak mendengar, melangkah pergi.
“Salli, bawa ini!”
Langkahku terhenti, Tuan Neil memanggil kembali. Aku baru saja bersiap mengambil langkah pulang akhirnya mematuhi perintah Tuan Neil untuk menunggu sejenak, benar saja ia bergegas menyusul dengan membawa bungkusan. Rupanya sebungkus roti untuk adik kecilku Tian.
“Terima kasih Tuan Neil,” ucapku antusias. Mataku berbinar menyentuh bungkusan roti, hangat dan empuk.
“Sun yang membuat, ia menyuruhku membawakan untukmu.” Tuan Neil berbicara sambil menunjuk ke arah kafe yang telah tutup.
Aku melirik kafe yang berganti lampu kuning. Redup, samar dengan dua manusia yang mengganggu pikiranku berada di dalamnya. Apa yang harus kulakukan kini, biasanya senior-lah yang datang menyusulkan roti untuk Tian dan juga mengantarku berjalan hingga halte atau bahkan kadang ia ngotot mengantarku sampai rumah. Apa yang mereka berdua bahas, sungguh asyik sampai larut malam begini.
Huuft ….
Tanpa sadar aku mengembuskan napas berat. Tuan Neil sekonyong-konyong berkata ..
“Baiklah Salli, malam ini aku yang akan mengantarmu pulang!” ucapnya tanpa permisi.
Tentu saja aku langsung menolak, rasanya akan canggung sekali bersama Tuan Neil. Namun ia meyakinkanku hanya ingin melihatku aman mendapatkan bus malam.
Jadilah aku berjalan bersisian dengan Tuan Neil, toko kelontong sepanjang jalan juga mulai menutup tokonya. Kegiatan jual beli di daerah ini memang akan terhenti pukul sembilan malam. Cuaca malam ini lumayan mendung tanpa pantulan cahaya bulan sabit yang seharusnya menghiasi angkasa.
Angin bulan November biasanya membawa kesejukan. Kali ini berbeda. Ada hari di mana hujan turun begitu lebat dan ada hari di mana seharian mendung tapi tak jua turun hujan, seperti saat ini gerah dan membuat berkeringat. Kendati cuaca tidak begitu mendung.
Aku tak banyak bicara, maklum rasanya sungkan, bahkan Tuan Neil lebih tua dari ayahku. Tuan Neil yang berjalan santai dengan menyilangkan tangan ke belakang sesekali menceritakan tentang kisah deretan pertokoan itu di masa lampau. Pada saat itupun aku baru tahu jika Tuan Neil bekerja di Kafe Gerimis sejak usianya dua puluh tahun, itu artinya lebih dari tiga puluh tahun. Waauuw…, sebuah loyalitas tinggi. Sejak muda hingga kini ia sudah memiliki cucu tak sekalipun terlintas di pikirannya untuk mengadu nasib sendiri, membuat kedai kopi dengan kopi racikannya itu, bukankah sebagian besar rasa kopi yang tercipta pada Kafe Gerimis adalah buatannya?!
Tuan Neil benar-benar orang yang terpercaya. Ia juga yang mendidik bos meneruskan bisnis kopi peninggalan kakeknya. Menurut Tuan Neil, dulu bos ingin menyerah dan menutup kafenya. Tetapi Tuan Neil langsung berkata ‘Silakan Moon kau tutup saja kafe ini! bila kau ingin aku dan keluargaku mati kelaparan!’ sungguh kata-kata 'lebay' berlebihan namun berhasil mencegah Moon meneruskan niatnya.
Beberapa orang yang kami lewati menyapa Tuan Neil, ia cukup disegani rupanya. Bila berjalan dengan senior, ia akan terus berceloteh sambil menebar senyuman ke segala penjuru hingga setiap orang akan lebih dulu ia sapa sebelum orang itu menyadari keberadaan kami.
Senior pun amat terkenal di daerah ini, beberapa bibi penjual kudapan sering membaginya kudapan enak, terkadang mereka justru asyik mengobrol di pinggir jalan karena membicarakan resep kue. Senior pernah mengatakan resep kue buatannya hampir seluruhnya ia pelajari dari bibi-bibi tetangga lalu memodifikasi sendiri, dari beberapa percobaan sampai akhirnya menjadi resep yang bebar-benar enak. Lain halnya dengan Moon yang konon katanya banyak belajar saat ia tinggal di jepang.
Entah kenapa aku lantas membandingakn keduanya bos dan senior, bos tak pernah berinteraksi dengan tetangga-tetangga pemilik deretan toko kelontong itu, namun sekalinya bos menunjukkan dirinya, parasnya yang tampan dan tak biasa, selalu membuat orang-orang terpesona dan menghentikan kegiatannya, mungkin untuk itulah bos hanya memakai wajahnya untuk memikat pelanggan datang ke kafenya saja. Hmm, sebuah trik jitu yang nyatanya berhasil. Tidak semua pelanggan kafe datang karena ingin menikmati kopi, beberapa orang terutama wanita memang lebih banyak yang penasaran ingin melihat Moon dari dekat.
“Oh ya Tuan Neil, ada pertanyaan yang mengusik penasaranku, bagaimana ceritanya senior dapat diasuh oleh Kakek Gerimis di masa lampau?”
“ Ya .., kalau aku tak salah ingat sewaktu Sun berusia enam tahun, seseorang yang baik hati membawanya ke kafe, pada saat itu bertepatan dengan tragedi meninggalnya orang tua Moon.”
“Tragedi apa itu?” tanyaku semakin penasaran.
“Kecelakaan lalu lintas, orang tua Moon beserta sopirnya meninggal seketika. Ayah Sun adalah sopir dalam kecelakaan tersebut.”
Keterangan Tuan Neil membuat langkahku terhenti. Bagaimana mungkin takdir mereka terikat sebab peristiwa kelam. Sebuah trauma yang pasti ingin dilupakan keduanya.
“Apa bocah enam tahun bisa mengingat semua hal menyakitkan itu Tuan Neil?”
“Tentu saja, Sun mengingat dengan jelas, hari terakhir ayahnya berpamitan dan tak kembali lagi. Sun menangis hampir sehari semalam dalam kamar sewa yang sempit, sebelum akhirnya salah satu pemuda yang bekerja sebagai anggota band di Kafe Gerimis menyadari bahwa sopir tersebut memiliki seorang anak lelaki, lalu dia mencari dan menemukannya.
Sungguh cerita luar biasa yang baru kudengar. Bahkan aku tak pernah berani mengira latar belakang senior yang tersenyum seperti matahari ternyata sesedih itu.
“Hari pertama Sun datang, kami semua sedang berduka. Lalu Sun melihat sosok anak lelaki tampan yang selalu termenung menatap bulan.”
“Itu pasti Moon.”
“Yap, benar sekali. Moon melihat bocah polos berusia enam tahun tersebut dan berkata ‘Ada yang lebih kasihan daripada aku.’ Lantas Moon mengusap kepala Moon dengan tulus, sejak saat itulah Sun mengikuti kemanapun Moon pergi.”
Mata Tuan Neil berkaca-kaca, ia menggali cerita masa lalu itu begitu keras.
“Aah, bagaimana keadaan pemuda baik yang mengantarkan senior itu ya?” Mataku menerawang.
“Entahlah, kecelakaan itu terjadi pada tanggal tiga puluh Desember tahun 2001, tepat gerhana bulan. Keesokan harinya, pada malam pergantian tahun ia datang membawa Sun, setelahnya aku tak pernah melihatnya lagi. Pemuda itu hanya bekerja sebagai pemusik, sedangkan masa-masa setelah tragedi yaitu pada tahun 2002, hampir tidak pernah ada musik kembali.”
“Kecuali nyanyian gerimis yang di nyanyikan pemilik kafe.” ujar Tuan Neil lagi.
Oh jadi begitu, asal muasal nyanyian gerimis yang menyayat hati. Kakek Gerimis menciptakan nyanyian itu ketika berkabung. Dalam hati aku menyimpulkan sendiri.
Masih banyak kisah senior dan bos yang ingin kudengar dari Tuan Neil, sayangnya kami telah tiba di halte dan aku pun harus beranjak pergi meninggalkan Tuan Neil setelah kemunculan bus terakhir.
***
Bersambung