Flash!
Sekali lagi, Artemis menghilang di tengah kegelapan—padahal ini masih siang hari. Namun, seakan dunia tunduk padanya, langit menggelap oleh kehadirannya.
“Panglima, di kananmu!” teriakan Yeriko menggema, memperingatkan sang Panglima. Tapi itu terlambat.
Ctar!
Petir menghantam tubuh Panglima dengan keras. Aku melihat bagaimana tubuhnya tersentak, kulitnya menghitam seketika oleh sengatan listrik yang begitu kuat. Amarah Artemis tampak meledak dalam setiap gerakannya, dan tawanya yang menghina semakin menjauh bersamaan dengan kecepatannya yang terus meningkat.
“Aku tidak menyangka kau bisa menahan sambaran petir sebesar itu,” suara Artemis terdengar tajam dari atas. Ketika ia berhenti, tubuhnya melayang sempurna di atas kami. Dia terlihat seperti dewa petir, penuh kuasa. Kilat mengelilingi tubuhnya, dan mata birunya berkilauan dengan listrik statis, menatap kami seolah-olah dia bermain-main dengan nasib kami. Tangannya terangkat, dan dengan suara yang penuh wibawa, dia mengucapkan kalimat perintah.
“Electricity: Lightning Needle!”
Aku hanya bisa menatap dengan ngeri saat ribuan jarum listrik padat terbentuk di udara, mengelilingi Panglima dan Yeriko. Artemis melayang bebas, angin berputar-putar di sekitarnya, tampak sangat mematikan. Jantungku berdetak kencang, tubuhku menegang. Ini bukan pertarungan yang bisa dimenangkan dengan mudah.
“Mari kita lihat sekuat apa kau, Panglima, dalam melindungi rajamu.”
Whoos! Whoos! Whoos!
Ribuan jarum listrik serentak melesat ke arah mereka. Hatiku hampir berhenti. Namun, sebelum jarum-jarum itu menembus tubuh Yeriko, sebuah teriakan keras terdengar.
“Size manipulation: Giant Body!”
Bum! Ctar!
Panglima tiba-tiba membesar. Tubuhnya mengembang berkali-kali lipat, seolah menjadi tameng hidup bagi Yeriko. Namun aku bisa melihat dengan jelas bagaimana ribuan jarum listrik menghantam punggung Panglima, membakar kulitnya yang tebal, menyebabkan erangan kesakitan keluar dari mulutnya.
Ctar! Ctar! Ctar!
Serangan petir datang bertubi-tubi, membakar pakaiannya hingga berlubang dan menghitamkan kulitnya. Aku bisa melihat dia menggertakkan giginya, menahan rasa sakit yang tak terbayangkan.
“Huh-huh...” Napasnya berat, tersengal-sengal. “Tuan, pergilah. Aku tak yakin bisa menahan ini lebih lama.”
Yeriko menolak, suaranya tegas, meskipun situasi semakin genting. “Tidak, biarkan aku ikut melawan.”
Aku bisa merasakan ketegangan di antara mereka, namun Panglima tahu, jika Yeriko mati, segalanya akan berakhir. “Maaf, Tuan. Aku mohon, pergilah, atau setidaknya menjauh sedikit.”
Yeriko diam, tetapi kesunyian itu tak bertahan lama. Kilatan petir kembali menyambar, dan kali ini, aku bisa mendengar Artemis berseru.
“Hei, kalian! Jangan terlalu banyak drama. Penjahat tidak akan menunggu lama.”
Flash! Bum!
Pukulan telak dari Artemis menghantam punggung Panglima yang masih melindungi Yeriko. Aku merasakan tanah bergetar oleh dampaknya. Panglima mengerang kesakitan, suaranya parau. Tubuh raksasanya hampir tumbang oleh kekuatan serangan Artemis.
“Maaf, Tuan. Pergilah. Aku akan melawan dengan sisa tenaga terakhirku,” desis Panglima, menatap Yeriko yang berdiri di belakangnya. Mereka saling bertukar pandang, seolah-olah sudah ada pemahaman tanpa perlu kata-kata. Ini adalah pertarungan satu lawan satu yang menentukan segalanya.
Dengan gerakan cepat, Panglima memutar tubuhnya, siap melawan dengan kekuatannya yang tersisa. Namun, sebelum ada kesempatan bagi Panglima untuk menyerang, Yeriko mulai bergerak.
“Hiyaaaa!”
Bum! Adu jotos dimulai. Tubuh Yeriko bergerak secepat kilat, jauh lebih cepat dari sebelumnya. Dia begitu cepat, hingga bayangannya tampak memanjang dan mengelilingi Panglima, membuat Artemis kebingungan.
Flash!
Setiap gerakan Yeriko terlihat seperti kilatan cahaya. Aku hampir tidak bisa mengikuti gerakannya dengan mata telanjang. Tubuhnya berputar-putar, memusingkan Panglima yang mencoba menemukan dari mana pukulan berikutnya akan datang.
“Dari mana dia?” gumam Panglima, matanya berputar mencari Yeriko. Namun, kecepatan Yeriko berada di luar nalar.
Bum! Bum!
Dua pukulan lagi menghantam tubuh raksasa Panglima. Tubuhnya terhuyung, hampir jatuh. Aku bisa merasakan ketegangan yang semakin meningkat.
“Masih belum, hiyaaaa!” Yeriko berteriak, matanya penuh semangat, sementara tubuhnya bergetar karena intensitas pertarungan. Panglima, dengan tubuh raksasanya, mencoba menghadapi pukulan demi pukulan yang datang bertubi-tubi.
Flash! Bum! Bum!
Pukulan keempat dan kelima menghantam kaki Panglima dengan keras, membuatnya tersungkur. Tubuh besar itu jatuh dengan suara gemuruh, seolah bumi ikut merasakan deritanya. Aku bisa mendengar erangan marah Panglima, wajahnya memerah, dan keringat sebesar tetesan air hujan mengalir deras dari tubuhnya.
“Masih belum!” teriaknya, menggertakkan giginya, berusaha bangkit meskipun kekuatannya mulai terkuras.
Namun, Artemis tak berhenti. Bum! Bum! Bum! Pukulan keenam, ketujuh, dan kedelapan langsung menghantam wajah besar Panglima, membuat darah segar memancar dari pelipisnya. Aku merasakan getaran setiap kali pukulan itu mendarat, seolah ikut menembus tubuhku. Mata Panglima setengah tertutup, tapi dia belum menyerah.
“Hiyaaaak!”
Panglima melayangkan pukulan besar dengan seluruh tenaganya, namun lagi-lagi pukulannya hanya menghantam udara kosong. Yeriko bergerak terlalu cepat untuk ditangkap oleh mata biasa.
Bum! Bum! Bum! Pukulan kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas mengarah ke jantung Panglima, Artemis tampak tak sabar untuk segera mengakhiri pertarungan. Aku bisa melihat kepedihan dan perjuangan di wajah Panglima, tapi kekuatan Artemis seperti tidak terbendung.
“Kau akan berakhir, Panglima,” Artemis berkata dengan nada dingin. Petir besar menyelimuti kepalan tangannya, bersiap menghantam langsung jantung Panglima.
Panglima, meskipun terluka parah, melihat celah itu. “Aku melihatnya!” teriaknya dengan sisa tenaga. Pukulan raksasanya dilayangkan untuk menghadapi pukulan petir Artemis.
“Hiyaaaaaaa!”
Bum! Ctar!
Kedua pukulan bertabrakan, menciptakan gelombang kejut yang sangat besar, menghancurkan awan dan mencabik tanah di sekitar mereka. Aku bisa merasakan tekanan angin yang mengoyak pakaianku, tapi mataku tetap terpaku pada pertempuran di depan.
Namun, pukulan raksasa Panglima tak bisa menghentikan kekuatan petir Artemis. Aku melihat dengan ngeri saat kepalan tangan Panglima mulai retak dan hancur di depan mataku. Serangan itu terus menembus, hingga akhirnya, pukulan petir itu berhasil melubangi tubuh Panglima, tepat di area jantung.
“Panglimaaa!” teriakan ngeri dari kapten Lilyfa memecah udara, diikuti oleh jeritan Riko dan Stark. Yeriko, yang berada di dekatnya, hanya berdiri terpaku. Aku sendiri tak mampu berteriak. Air mata sudah mengalir deras, membasahi tanah yang tandus di bawah kakiku.
Buk!
Tubuh raksasa Panglima jatuh ke tanah dengan suara yang menghancurkan harapan kami. Tubuh besarnya perlahan menyusut, menyisakan lubang besar yang menganga di dadanya. Kematian terasa begitu nyata di hadapanku.
“Sudah tamat, Yeriko,” suara dingin Artemis menggema, penuh dengan kepuasan. “Jangan bergerak, Yeriko. Satu langkah saja, dan aku akan menghabisimu dalam satu serangan.”
Tapi Yeriko tidak peduli. Dengan langkah penuh keberanian, dia berjalan mendekati mayat Panglima yang penuh luka dan darah. Aku bisa merasakan kesedihan dan kemarahan bercampur di dalam dirinya, tapi dia tetap berdiri teguh.
“Yeriko, jangan satu langkah pun atau—,” Artemis memperingatkan lagi, suaranya mulai memuncak.
“Atau apa?” Yeriko berhenti sejenak, pandangannya kosong menatap Artemis yang masih melayang di udara. Kata-katanya terdengar dingin, hampir tidak berperasaan.
“Akan ku bunuh kalian semua.”
“Ouh.” Yeriko menjawab singkat, seolah-olah ancaman itu tak berarti baginya.
“Apa maksudmu, ouh? Kau meremehkan peringatanku!” Artemis menjerit, marah. Aura mencekamnya semakin terasa, angin di sekitarnya berputar cepat, menunjukkan betapa besar kekuatan yang dia miliki.
Namun, Yeriko tak terpengaruh. “Artemis, gunakan logikamu. Lihatlah dirimu sekarang, kau lebih buruk dari penjahat kalangan bawah yang membunuh keluargamu.”
Kata-kata itu memukul keras. Wajah Artemis tampak terkejut, seolah-olah kebenaran telah menghantamnya.
“Tidak ada gunanya kau menghabisi kami di sini,” lanjut Yeriko. “Aku tahu pasukan hukum sudah kalah di garis perbatasan.”
“Ha-ha-ha!” Artemis kembali tertawa, tawanya penuh kejahatan. “Lihatlah, pemimpin yang kalian agungkan sekarang tampak pasrah. Kau lebih pantas disebut sampah daripada barang berharga!”
Artemis turun perlahan dari langit, sikapnya penuh kemenangan. Tawa jahatnya menggema ketika dia berjalan mendekat, matanya penuh penghinaan.
“Yeriko, Yeriko... lihat dirimu sekarang,” ucap Artemis, namun kali ini Yeriko tak memberinya kesempatan.
“Tidak.” Yeriko memotong kata-katanya, membuat Artemis terlihat semakin jengkel. “Justru kau yang harus sadar atas perbuatanmu. Kau hanya dimanfaatkan oleh orang-orang kaya yang kau anggap temanmu. Kota ini tidak akan baik-baik saja jika kau terus seperti ini.”
Artemis mengepalkan tangannya, wajahnya semakin gelap. Setiap langkahnya mengeluarkan letupan aura yang lebih kuat, sementara mata birunya bersinar lebih terang, penuh dengan kemarahan yang tak terbendung.
“Kau ini... menjengkelkan ya.”
Flash!
Artemis muncul di depan Yeriko dengan kecepatan yang mustahil kuikuti, tangannya menggenggam kepala Yeriko erat, mengangkat tubuhnya seolah ia hanya sekadar boneka. Aku melihat wajah Yeriko yang berlumuran darah, matanya mulai sayu namun penuh amarah yang tertahan.
“Lihatlah, perbedaan kekuatan ini,” Artemis berkata dengan nada angkuh. “Kau bahkan tidak punya teknik bertarung yang layak. Cih!” Wajahnya penuh penghinaan, seakan Yeriko tak lebih dari serpihan debu yang menempel di sepatunya.
Aku menggeram keras, menahan kemarahan yang mendidih di dadaku. Rasanya sulit melihat pemimpin yang selama ini kami hormati diperlakukan seperti itu. Yeriko mungkin tak sempurna, tapi dia selalu menjadi pelindung bagi kami, terutama rakyat kecil yang sering diabaikan. Aku tidak bisa membiarkan ini terus terjadi.
“Turunkan sekarang!” suara tegas kapten Lilyfa memecah ketegangan. Dia maju, langkahnya mantap meski tubuhnya masih terluka. Tatapannya dingin dan tajam, penuh keyakinan.
Artemis tersenyum sinis, menahan tawa. “Hah? Berapa lama lagi cerita ini akan berlangsung? Pertarungan ini terlalu membosankan.”
“Sampai kau kalah,” jawab kapten Lilyfa dengan tenang, namun jelas, kemarahan terpendam di balik suaranya.
Artemis tertawa kecil, kemudian dengan tidak acuh melepaskan Yeriko, membiarkannya jatuh ke tanah seperti seonggok sampah. “Baiklah, kalau begitu. Aku tunda dulu eksekusi ini.”
Bug!
Tubuh Yeriko terhempas ke tanah, napasnya terengah-engah, tapi dia masih bertahan, meski hanya dengan sisa kekuatannya.
Flash!
Kapten Lilyfa tak mau membuang waktu. Katana di tangannya bersinar dalam cahaya suram saat ia melancarkan serangan dari atas. Artemis bergerak gesit, menghindari serangan itu dengan mudah dan membalas dengan tendangan kaki kanan yang cepat.
Tendangan itu hampir menghantam kapten, namun Lilyfa bereaksi tepat waktu, mengelak dengan lincah. Gerakan mereka begitu cepat, namun aku bisa merasakan setiap gesekan udara saat serangan bertukar.
Bum!
Tiba-tiba, pukulan keras Artemis menghantam perut kapten Lilyfa, suara tulang yang retak terdengar jelas. Darah muncrat dari mulutnya. Aku bisa melihat rasa sakit yang jelas di wajahnya, tapi dia tetap bertahan, tidak menyerah.
Belum sempat Lilyfa mengatur napas, Artemis melancarkan tendangan keras dari atas, mengarah ke kepalanya. Lilyfa mengangkat kedua tangannya untuk menangkis, satu tangan masih memegang pedang, namun dampak tendangan itu membuat tubuhnya terhempas kembali.
Flash!
Artemis menghilang dari pandangan. Lilyfa menoleh ke kanan dan kiri, mencoba mencari di mana musuhnya, tetapi tidak ada waktu untuk berpikir.
Ctar!
Petir menyambar tanah kosong, hanya beberapa inci dari tempat Lilyfa berdiri. Dia berhasil menghindar dengan cepat, tapi aku bisa melihat tubuhnya mulai goyah. Serangan berikutnya tak menunggu lama.
Ctar! Ctar!
Dua petir berturut-turut melesat, dan meskipun Lilyfa berhasil menghindari keduanya, tubuhnya akhirnya tersungkur ke tanah, terengah-engah. Sebelum dia bisa bangkit, Flash! Artemis muncul di depannya, pukulannya sudah siap menghantam.
Bum! Ctar!
Lilyfa terkena pukulan langsung, tubuhnya terhempas jauh, tapi Artemis tak berhenti. Pukulan demi pukulan terus menghujani tubuh kapten yang sudah tak berdaya.
Bum! Bum! Bum!
Aku bisa mendengar tulang kapten Lilyfa retak, melihat darah mengalir dari mulut dan lukanya. Tubuhnya mulai hangus terbakar oleh petir yang menyelimuti Artemis, seakan-akan dia menikmati penderitaan lawannya.
Bum!
Pukulan terakhir menghantam Lilyfa dengan keras, tubuhnya terlempar beberapa meter sebelum akhirnya jatuh dengan keras ke tanah. Dia terbaring kaku, darah keluar dari banyak luka di sekujur tubuhnya, membuat tanah di sekitarnya menjadi merah gelap.
Namun Artemis belum selesai. Dia mengangkat tangannya ke langit, dan aku bisa melihat awan di atasnya mulai berputar, seakan-akan membentuk sebuah badai. Petir mulai berkumpul di sekelilingnya, siap untuk menghantam dengan kekuatan yang mematikan.
“Walau hanya sebentar, aku menghargai lawanku. Ini adalah petir yang akan mengakhiri penderitaanmu,” Artemis berkata dingin, suaranya terdengar seperti malaikat maut yang sedang memberikan vonis.
Ctar!
Petir raksasa meluncur dari langit, menerangi seluruh medan pertempuran dengan kilatan cahaya putih yang menyilaukan. Aku menutup mata sejenak karena silau itu, namun ketika cahaya mulai meredup, ada sesuatu yang terasa berbeda.
“Tunggu... cahayanya berhenti,” bisikku, setengah terkejut. Dengan cepat, aku membuka mataku dan melihat ke sekeliling. Di tengah medan pertempuran, aku menyaksikan pemandangan yang mengejutkan, sesuatu yang tak pernah kuduga. Mataku melebar, napasku tertahan. Apa yang baru saja terjadi?
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22