“Apa yang terjadi?” Cedric bertanya, suaranya penuh kekhawatiran. Dia tampak ingin membantuku berdiri, tapi aku tahu itu tak mungkin. Tangan Cedric masih terentang, terus menjaga **absolute barrier** tetap tegak. Cahaya biru dari barriernya berkedip-kedip, seperti refleksi dari kekuatan yang dia curahkan.
Aku tersenyum lemah setelah menyeka darah yang mengalir dari mulutku. “Aku hanya kelelahan, semuanya baik-baik saja,” kataku, berusaha meyakinkannya meskipun tubuhku terasa seperti dipecah belah dari dalam.
Kesya segera berlutut di sampingku, membantuku berbaring di atas tanah yang dingin. “Kalau begitu kau istirahat dulu, Rika,” ucapnya dengan lembut, meskipun aku tahu dia juga diliputi kekhawatiran. Aku mengangguk pelan, menatap langit yang kelam dan penuh ancaman.
Ctar! Ctar!
Kilatan petir tiba-tiba menghantam barrier Cedric lagi, menyebarkan cahaya yang terang, hampir menyilaukan mata. Jantungku berdegup kencang, detak kerasnya menyatu dengan suara petir yang bergema di sekitar kami. Cahaya itu membuat dinding barrier tampak bergetar.
“Apa barusan?” tanya Kesya dengan nada ketakutan.
“Itu petir besar,” jawab Stark. Suaranya rendah, tapi tak bisa menyembunyikan ketegangan.
Kami belum sempat kembali bersiap ketika suara tawa yang kejam menggema di udara. Tawa itu mengalir seperti racun, mencengkeram hati kami dengan rasa takut yang dingin. Bulu kudukku meremang seketika, seperti respon tubuhku terhadap ancaman yang datang.
“Aku tidak menduga tameng itu bisa menghalangi petir barusan,” ucap suara berat yang penuh dengan keangkuhan dan kebencian.
Aku langsung mengenali suara itu. Cedric juga tampak terpaku, wajahnya mengeras. “Aku mengenali suara itu,” gumamnya, seolah tak percaya.
Jenderal 3 menoleh, matanya penuh kewaspadaan. “Aku juga mengenalinya. Tapi dari mana asal suara itu?”
Kesya tiba-tiba berseru, “Lihat di atas, arah jam lima!” Tangannya menunjuk ke arah langit yang kelam. Di sana, sosok berlapis kabut hitam mulai terlihat samar-samar.
“Siapa dia?” bisik Stark dengan ketegangan yang jelas terdengar.
Aku melihat sosok itu semakin jelas. Wajahnya tampak mengerikan, diselimuti oleh energi petir biru yang berkilauan di sekujur tubuhnya. Kabut hitam melingkupi kakinya, menyatu dengan angin yang berdesir kencang di sekitarnya. Matanya biru menyala, penuh kebencian, sementara rambutnya berdiri terkibas oleh angin yang membawa aura gelap dan menakutkan. Wajahnya kasar, penuh bekas luka, dengan belati kecil berlumuran darah tergenggam di tangan kanannya.
Seketika, tubuhku terasa lemas. Sosok itu… Aku tahu siapa dia. Bukan hanya aku, tapi semua jenderal di sini juga mengenalinya, kecuali tim Constellation. Dia adalah Artemis, pemimpin faksi teror malam, sosok yang menimbulkan ketakutan di setiap medan pertempuran.
Jenderal 1 menyebut namanya dengan nada tegang, “Artemis.” Suara itu menggema dalam kepalaku, membuatku semakin gentar. Ketika Artemis turun perlahan menyentuh tanah, aliran listrik mengalir melalui tanah, menciptakan gelombang energi yang menggetarkan tubuhku. Aura gelapnya begitu pekat, terasa seperti menindih aura kami semua.
“Rika, kau takut?” Cedric memecah kesunyian, suaranya masih stabil di tengah badai ketegangan ini.
Aku menatapnya, mencoba tersenyum meski jantungku berdetak kencang. “Iya.” Hanya itu yang mampu keluar dari mulutku, meski kepalaku dipenuhi dengan ribuan pikiran.
Cedric tersenyum kecil. “Bukankah kamu dulu ingin menyusul kematian? Bukankah itu impianmu?”
Aku terdiam. Kata-katanya menusuk jauh ke dalam benakku. “Aku tidak takut dengan kematian,” jawabku pelan, “hanya saja, sosok di depan sana membuatku takut akan hal lain.”
“Takut untuk hal lain?”
Aku mengangguk, memandang ke tanah. “Aku takut mati paling terakhir.” Ada jeda panjang setelah kata-kataku keluar, seolah-olah perasaan itu baru saja muncul dari dasar hatiku.
Cedric tersenyum lagi, lebih lebar kali ini. “Bukankah itu tujuan yang sama?”
Aku menggeleng pelan. “Aku tidak tahu. Rasanya ada yang salah dengan diriku. Aku ingin mati pertama, tapi aku juga tidak ingin mati paling akhir.”
Cedric menatap ke depan lagi, fokusnya kembali pada barrier. “Kamu sudah berubah menjadi lebih dewasa, Rika. Aku senang.”
Senyumannya, meskipun tak kulihat langsung, terasa hangat, seolah-olah kata-kata itu adalah pelukan yang lembut. Hatiku sedikit mereda, tapi tidak untuk waktu yang lama.
Ctar!
Sambaran petir lain menghantam tanah dengan keras, tapi kali ini, petir itu tidak langsung menghantam barrier. Kilatan itu menerangi seluruh area dengan cahaya yang menyilaukan, dan aku bisa merasakan getaran kuat di bawah kakiku.
“Dia menghantam tanah. Apa yang terjadi? Apa barusan meleset?” tanya Kesya dengan kebingungan di matanya.
Stark menggeleng. “Tidak, itu disengaja.”
Detik berikutnya, tanah di bawah kami bergetar kencang, seolah-olah ada sesuatu yang mencoba keluar dari dalam bumi. Tanah mulai terangkat, bergerak seperti gelombang yang menggulung, memenuhi ruang dalam kubah barrier. Aku bisa merasakan desakan besar yang datang dari segala arah, seperti dunia mencoba menelan kami hidup-hidup.
“Cedric, lepaskan kubah ini, atau kita akan terkubur selamanya!” teriak Jenderal 1 dengan panik.
Cedric mengangguk cepat, langsung menurunkan tangannya. Barrier biru itu menghilang dalam sekejap, dan udara seolah mendesak masuk dengan keras, membawa angin yang menyapu tubuh kami.
“Berpencar!” Teriak Jenderal 3 dengan perintah yang tegas.
Tanpa pikir panjang, kami semua langsung bergerak. Tubuhku terasa ringan meski kelelahan, adrenalin menguasai otot-ototku.
Flash! Flash! Kami berpencar, masing-masing mengambil posisi yang lebih aman.
“Akhirnya kalian keluar dari kubah menyebalkan itu,” suara Artemis bergema, penuh keangkuhan. Sebelum kami sempat bereaksi, dia melesat cepat seperti kilat.
Flash!
Tiba-tiba, aku mendengar bunyi keras dan melihat Jenderal 3 terhempas jauh. Tubuhnya menghantam tanah dengan keras, terbakar oleh sengatan listrik yang sangat panas.
Bum!
“Jendraaaal!” Kapten Lilyfa berteriak, suaranya pecah dengan ketakutan dan kesedihan. Jenderal 3 tewas seketika, tubuhnya hangus oleh serangan Artemis yang mematikan.
Aku tidak bisa bernafas sejenak. Rasanya seperti waktu melambat saat melihat Artemis berdiri di tengah medan pertempuran. Matanya yang biru terang berkilauan seperti petir, dengan senyum sadis yang menghiasi wajahnya. Tangan kanannya menggenggam belati hitam yang masih meneteskan darah, darah para jenderal.
“Berikutnya,” ucapnya, suaranya serak dan penuh kebencian. Dia menghilang dalam sekejap.
Flash! Bum!
“Untung sempat!” Cedric berteriak dengan napas terengah-engah, berhasil melindungi dirinya di balik barrier satu sisi. Tapi aku bisa melihat keringat mengalir deras di dahinya. Wajahnya memancarkan kepanikan.
Artemis tertawa keras, seperti menikmati setiap detik dari penderitaan kami. “Ha-ha-ha, hebat! Bagaimana kau bisa menahannya?”
Cedric tergagap, suaranya bergetar bersama dengan tangannya yang masih gemetar di bawah tekanan besar. “Aku... aku tidak tahu... mungkin hanya kebetulan.”
“Terlalu merendah,” Artemis mengejek, dan lagi, dia menghilang.
“Menghilang?” aku panik mencari ke mana dia pergi. Jantungku berdetak cepat, perasaan tak berdaya mulai merayap masuk.
“Cedric, di atas!” teriakku, melihat kilatan petir besar yang siap menghantam.
Ctar!
Petir besar menghantam barrier Cedric, membuat suhu di dalamnya naik drastis. Rasanya seperti berada di tengah-tengah oven. Aku bisa merasakan panas menyengat yang membuat napasku tersengal-sengal.
“Ayo maju!” seru Kapten Lilyfa. Kami semua mengangguk tanpa pikir panjang. Aku tahu ini mungkin usaha terakhir kami. Kami melesat maju, berusaha mendekati Artemis. Tapi, pukulan demi pukulan kami tidak mengenai sasaran.
Bum! Pukulan pertama gagal.
Bum! Pukulan kedua juga gagal. Namun, aku tahu bukan itu tujuan kami.
“Stark, sekarang!” Kapten Lilyfa berteriak, mengatur serangan balasan kami.
“Orion, tembak!” Stark menarik busurnya, melepaskan panah cahaya yang meluncur dengan kecepatan tinggi.
Piuuuuu! Bum!
Panah itu menghantam tempat Artemis berada.
“Apakah berhasil?” gumamku dengan napas terengah-engah, harapan muncul di dadaku.
“Tidak, ini belum selesai,” jawab Stark ketus, wajahnya tetap tegang.
Flash!
Dalam sekejap, Artemis muncul kembali di tengah
“Cepat!” teriak seseorang, tapi terlambat.
“Hughck!” Kapten Lilyfa terkena pukulan telak dan terlempar jauh. Tubuhnya terkapar, terluka parah.
Cedric hanya berhasil menyelamatkan dirinya sesaat sebelum pukulan itu mengenai, tapi sekarang dia kelelahan. Flash! Bum! Flash! Bum! Artemis terus menyerang dengan kecepatan luar biasa, menghancurkan Cedric dan Kesya dalam waktu singkat.
Kini hanya aku dan Stark yang masih sanggup berdiri, meskipun dengan lutut gemetar.
“Stark, kananmu!” Aku berteriak ketika melihat kilatan cahaya mendekat.
Stark berusaha mengangkat tameng, tetapi terlambat. “Imagination: transparent shield!” Teriakku, mencoba menciptakan tameng transparan untuk melindungi kami.
Bum!
Tameng itu hancur seketika saat terkena pukulan Artemis. Tubuh kami terhempas ke tanah. Rasanya seperti tulang-tulangku remuk. Aku tidak bisa bergerak. Darah mengalir deras dari mulutku. Dagu dan kepalaku terasa membengkak, dunia di sekelilingku mulai buram. Sakit yang menusuk membuat kesadaranku hampir hilang, tetapi kemudian aku merasakan sesuatu—seperti kesejukan yang aneh.
“Kalian baik-baik saja?” Suara berat terdengar di atas kami.
Aku ingin protes. Pertanyaan macam apa itu? Jelas kami tidak baik-baik saja. Tubuhku hampir tidak bisa bergerak. Tapi aku terlalu lemah untuk berkata apa-apa.
“Panglima?” Kapten Lilyfa berseru, nadanya penuh kelegaan dan kebahagiaan.
Dengan sisa tenaga, aku berusaha menengadah melihat sosok yang datang. Sosok bertubuh besar dan berwibawa. Panglima, pemimpin tertinggi kami. Dia berdiri tegap di depan kami, memancarkan aura kekuatan yang begitu besar. Tapi dia tidak sendirian. Di sampingnya, ada seseorang yang lebih pendek.
“Yeriko?” Aku memanggilnya, mataku sedikit kabur oleh darah dan keringat.
“Iya, Rika?” jawabnya, suaranya datar. Wajahnya tidak menunjukkan banyak ekspresi, membuatku bingung apakah dia merasa kasihan atau justru tidak peduli sama sekali.
“Tuan... apa yang tuan lakukan di sini?” Riko berusaha bangkit, meskipun tubuhnya jelas sudah sangat lemah. Meski begitu, dia berusaha memberikan hormat, meskipun rasanya tidak pantas baginya untuk berbaring tak berdaya di hadapan pemimpin yang dia hormati.
“Kalian diamlah di situ. Kemampuan pemulihan yang kuberikan akan memperbaiki sedikit demi sedikit sel yang rusak,” perintah Panglima, suaranya berat namun penuh wibawa. Meskipun tubuhku terasa sakit dan lelah, ada ketenangan dalam suaranya yang membuatku rela mengikuti perintah itu. Aku berbaring, menatap langit yang berubah dari biru cerah menjadi gelap, diwarnai semburat merah darah. Tekanan kekuatan Artemis semakin terasa, membuat alam seakan tunduk padanya.
Artemis tertawa, suara yang menggema dan penuh keangkuhan. “Ternyata ada lawan baru, dan kali ini pemimpin mereka ikut campur.” Kilat menyelimuti tubuhnya saat ia turun perlahan dari langit, memberikan kesan menakutkan yang tak bisa kulepaskan dari pandanganku. Di antara rasa takut dan kagum, jantungku berdetak semakin cepat.
“Jadi, apa yang ingin kau lakukan, Panglima? Membalaskan dendam bawahan dan rekanmu yang telah kubunuh? Atau mungkin kau ingin bermain-main dulu denganku?” Artemis kembali tertawa, kali ini lebih keras, membuat bulu kudukku meremang. “Aku mengenalmu sejak kau masih letnan jenderal di angkatan darat.”
Aku melihat Panglima menegangkan ototnya. Mata yang biasanya tenang kini mulai memancarkan amarah.
“Namun, di sebelahmu itu...,” lanjut Artemis dengan nada menghina, “sosok kurus kerempeng tanpa otot itu? Apakah dia akan ikut bertarung, Panglima? Atau hanya ingin mengucapkan kalimat perpisahan sebelum faksi hukummu hancur selamanya?”
“Kau ini!” Panglima menggeram, suaranya menggema seperti gemuruh guntur. Aura yang mengelilingi tubuhnya tiba-tiba melonjak drastis. Tekanan udara di sekitarnya berputar liar, membuat tanah di bawahnya bergetar. Aku bisa merasakan intensitas kekuatannya, membuat napasku terasa berat hanya dengan berada di dekatnya.
“Kenapa marah? Tersinggung?” ejek Artemis lebih jauh, sambil tersenyum sinis.
“Kaaau!” Panglima melangkah maju, tubuhnya yang besar kini membesar dua kali lipat seolah siap meledak. Kuda-kudanya sudah siap, dan aku tahu serangan pembuka itu akan datang dengan kekuatan yang dahsyat. Jantungku seakan berhenti, menunggu ledakan energi itu terjadi.
Namun sebelum sempat terjadi, Yeriko berteriak, “Panglima, tenanglah!” Suaranya nyaring, menembus gemuruh angin dan getaran yang dihasilkan oleh aura Panglima. Perlahan, tangan Panglima yang tadinya terangkat mulai turun. Kuda-kudanya melemah, dan aura dahsyat yang sebelumnya meluap-luap mulai mereda.
“Tenang, aku akan berbicara dengannya sebentar,” lanjut Yeriko, suaranya terdengar tegas namun tenang. Angin yang tadi berputar liar kini melambat, meninggalkan kesunyian yang penuh ketegangan. Panglima hanya mengangguk pelan, menuruti Yeriko dengan penuh rasa hormat.
Yeriko kemudian berbalik, menatap Artemis yang berdiri sekitar 20 meter di depannya. Meskipun jarak mereka cukup jauh, aku bisa merasakan aura Artemis yang masih mendominasi, bahkan dari tempatku yang terbaring tak berdaya.
“Artemis, kau tidak ingat apa yang dikatakan Profesor Valencia?” suara Yeriko tegas, namun ada kegetiran di baliknya. Dia berbicara keras agar Artemis bisa mendengarnya.
“Aku tidak peduli dengan omong kosongnya. Dia sudah mati, tidak perlu diungkit,” Artemis menjawab dingin, seolah kata-kata itu tidak berarti baginya.
“Bagaimana jika dia tidak mati? Bagaimana jika dia melihatmu sekarang, menyaksikan kekecewaannya terhadap murid terbaiknya yang berubah menjadi kriminal?” Yeriko menambahkan, suaranya lebih lembut, namun tegas.
Artemis hanya tertawa, auranya sedikit berkurang tapi masih tetap terasa masif. “Kau banyak bicara, Yeriko.”
“Tidak, justru aku lebih baik banyak bicara. Aku tidak ingin melihat teman seperjuanganku di Akademi 45 Sayap Emas Garuda menempuh jalan yang salah,” jawab Yeriko, suaranya bergetar oleh emosi yang tertahan. Ada kesedihan di sana, yang seolah menembus hatiku juga.
“Kau tidak akan menciptakan apapun selain kehancuran, Artemis,” Yeriko memperingatkan.
“Hah! Kehancuran?” Artemis tertawa lagi, namun kali ini lebih lembut. “Kau tidak tahu apa-apa, Yeriko. Sejak masuk akademi, tujuanku hanya satu: membalas dendam kepada orang-orang rendah. Kelompok kotor, kelompok miskin yang tidak beradab. Dunia mendukungku, Yeriko! Sekarang, aku memiliki kekuatan untuk mengendalikan kaum elite dan kaya. Mereka berdiri di belakangku, mendukungku untuk menghancurkan kaum rendah!”
Aku merasakan darahku mendidih mendengar kata-kata Artemis. Dia tidak hanya menghancurkan orang-orang dengan kekuatannya, tetapi juga dengan ambisi gilanya. Aku ingin berdiri, ingin melawan, tetapi tubuhku terlalu lemah untuk bergerak.
Yeriko terdiam sejenak, mungkin merenungi kata-kata Artemis. Namun, aku bisa melihat kesedihan di wajahnya, seolah-olah dia sudah tahu bahwa Artemis tak lagi bisa diselamatkan.
“Sudahlah, Yeriko, tidak ada gunanya lagi membedakan siapa yang menjadi pahlawan dan siapa yang menjadi penjahat. Sejak awal, kita selalu berbeda perspektif,” Artemis menyelesaikan ucapannya, auranya kembali membesar, memekat, dan penuh kekuatan.
Flash!
Artemis bergerak cepat, petir menyambar dari langit, menghantam tempat di mana Yeriko dan Panglima berdiri.
“Cepat!” aku mendengar Yeriko berteriak.
Ctar!
Petir besar menghempas tanah, namun Panglima dan Yeriko berhasil menghindar tepat waktu. Aku bisa merasakan adrenalin mengalir di tubuhku, meskipun tubuhku masih lemah. Aksi pertarungan baru saja dimulai, dan aku hanya bisa berharap kekuatan Panglima dan Yeriko cukup untuk menghadapi ancaman ini.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22