Malam berlalu dengan cepat. Mataku mengerjap terkena silau cahaya dari jendela. Suara-suara berisik mulai terdengar di sekitar. “Hoaahh,” aku menguap sembari membersihkan mata. “Selamat pagi, Luna.”
“Hey Rika, kenapa matamu seperti panda gitu?” tanya Luna yang berdiri di samping kasurku, sedang bersiap-siap dengan pakaian tempurnya. “Kau kurang tidur?”
Aku segera berdiri dan merapikan kasur sebelum menjawab pertanyaannya. “Iya, hanya sedikit kurang tidur saja.”
“Kok bisa, jam berapa memang masuk kamar?”
“Masih jam normal kok, tidak kemalaman.”
“Yaudah, kamu mandi dan bersiap. Kami akan ke dapur menyiapkan bekal untuk kita semua selama perjalanan,” kata Luna memberi arahan dengan baik. Aku mengangguk dan segera bersiap dengan pakaian tempur. Hari ini adalah hari di mana kami akan bertemu pemimpin faksi teror malam. Membayangkannya saja sudah membuatku kesal dan ngeri secara bersamaan. Dia adalah pemimpin yang kejam.
Lima belas menit berlalu, kantukku mulai mereda. Sejujurnya aku bisa saja tidur nyenyak tadi malam, tapi banyak pertanyaan dalam benakku, hingga akhirnya memutuskan berjalan-jalan melihat kota pada malam hari. Walaupun seharusnya itu sangat berbahaya.
Sesampainya di lobi, beberapa prajurit datang menjemput. Aku tidak tahu mereka punya mobil terbang yang tersisa.
“Freya, bagi rotinya satu lagi dong,” pinta Luna mengambil roti lapis dari tangan Freya.
“Heh Luna, ini untuk Rika. Dia belum sarapan,” seru Freya sambil mengejar Luna di lobi apartemen. Sepertinya Luna belum menyadari kehadiranku di situ.
“Luna, sini roti lapisku,” seruku memecah tawa mereka saat kejar-kejaran. Seperti anak kecil yang bermain polisi dan pencuri.
“Astaga, sudah datang. Padahal aku mau melahap setengahnya saja,” ucap Luna dengan wajah penuh ekspresi. Dia sangat ahli dalam berakting.
“Tidak, sini kembalikan. Ini jatahku,” balasku tegas. Luna memberikan roti itu dan kembali tertawa sambil menepuk-nepuk bahuku.
“Just kidding, aku juga sudah kenyang. Hanya saja bosan menunggu kalau tidak ada yang bisa diajak bermain.”
“Kau ini, bisa serius sedikit atau tidak sih,” gerutu Freya kesal.
“Yah gimana lagi, aku kan idol ter-imut, baik, ceria, dan menyinari dunia.”
“Huh,” Freya menyerah, tangannya mengusap dahi. “Terserah lah, lebih baik kita segera berangkat, Cedric.”
“Iya, saatnya party Alaya kembali beraksi,” tambah Cedric.
“Ayo pergi!” Luna berteriak riang. Kami segera masuk ke mobil terbang dengan prajurit fraksi hukum yang mengendarainya. Sepertinya mobil terbang ini disimpan untuk hal genting seperti ini, karena pasti mahal untuk biaya pengisian baterai dan perawatannya.
***
Dua puluh menit berlalu, kami berkumpul di lapangan utama markas pusat.
“Semuanya, persiapan dalam 2 menit!” teriak kapten.
“Siap, Kapten!” jawab semua prajurit serentak.
Semuanya sibuk di sini. Isi kepalaku sekarang penuh dengan pertanyaan. Bukankah hari ini akan dilakukan diplomasi saja? Kenapa banyak pasukan bersiap seperti akan pergi ke medan perang?
“Prajurit, di mana tuan Yeriko?” tanyaku, melihat seorang prajurit berpakaian tempur lengkap.
“Tuan pemimpin ada di lapangan belakang. Dia bersama beberapa jenderal lainnya,” jawab prajurit itu.
“Baik, terima kasih, prajurit. Semoga misimu sukses,” kata Cedric dengan suara tegasnya.
“Siap, terima kasih, Kapten Cedric,” jawab prajurit itu sebelum bergegas pergi.
Aku menatap takjub pada Cedric yang berdiri gagah di antara prajurit lainnya. Dia tampak sangat dihormati. Rasa penasaran memuncak di dalam diriku, membuatku memutuskan untuk bertanya.
“Kapten, sejak kapan mereka memanggilmu kapten juga?” tanyaku.
“Oh, sebenarnya beberapa hari lalu sebelum kita libur, aku mendapatkan kenaikan pangkat resmi. Lalu party ini mendapatkan hak sebagai pasukan khusus secara resmi,” jawab Cedric dengan tenang.
“SERIUS?” Luna yang mendengar sontak berseru senang. Entah kenapa dia pula yang lebih senang daripada aku.
“Hey, Luna, Yeriko hanya memberikan itu semua supaya mengikat kita dengan peraturan hukum dalam militernya. Aslinya kita di perbudak,” kataku dengan nada skeptis.
“Yah, kurasa kau benar, Rika. Mau bagaimana pun, kita tidak bisa menolak. Kita butuh pertolongan mereka untuk ekspedisi dirimu dan party ini berikutnya, kan,” jawab Luna, setuju denganku.
Aku mengangguk. Walaupun ini mengesalkan, tapi mau bagaimana lagi? Bantuan mereka sangat kami butuhkan sekarang.
Sepuluh menit berjalan di lorong bawah tanah, akhirnya kami melihat kembali cahaya matahari. Kami tepat berada di gerbang timur markas utama. Pintu dibiarkan terbuka untuk lalu lalang pasukan yang akan segera berbaris menunggu arahan para jenderal dan panglima.
“Itu Yeriko,” seru Freya menunjuk ke arah kanan kami.
“Kita akan masuk ke barisan,” kata Cedric tegas.
“Eh, tapi kan kita—“ aku mencoba memprotes, tapi Cedric langsung memotong.
“Kita tetap bagian prajurit mereka, walau diberikan hak khusus,” jawab Cedric tegas.
Aku mengangguk mengiyakan, meskipun dalam hati aku masih kesal dengan Cedric yang entah kenapa patuh banget dengan aturan dari Yeriko. Mungkin karena dulunya Yeriko punya hubungan secara tidak sengaja dengan Cedric.
Sepuluh menit berlalu. Barisan mulai rapi terbentuk. Kapten regu berdiri di paling kanan barisan regu masing-masing, dengan jarak yang teratur antara setiap regu.
“Siaaaaap, gerak!” salah satu jenderal memberi aba-aba. Kami lantas mengambil posisi siap gerak. Aku merenung sejenak, mengingat bagaimana kami semua bisa baris berbaris serta disiplin dalam barisan. Itu bukan karena mengikuti ekstrakurikuler Pramuka atau paskibra, tapi sejak awal masuk SMA, kami mendapatkan pelatihan kedisiplinan militer selama seminggu langsung dari tentara. Mungkin mirip dengan wajib militer di Korea. Hanya saja tidak begitu lama dan hanya menerapkan kedisiplinan, bukan bertujuan mengangkat senjata.
Kembali ke arahan jenderal. Sosok pria berumur 50 tahun berdiri di hadapan kami, di belakangnya beberapa jenderal lainnya dan panglima serta Yeriko memakai jas biru tua dengan celana formal dan dasi merah. Dia tampak seperti presiden.
“Hari ini Tuan Yeriko akan pergi melakukan diplomasi langsung dengan pemimpin faksi teror malam. Tujuan kalian berbaris lengkap dengan pakaian tempur hari ini adalah untuk menjaga perbatasan dan markas utama. Yang akan menjadi penjaga Tuan Yeriko adalah satuan elite regu Alaya. Semuanya paham!?” seru jenderal itu.
“SIAP PAHAM, JENDERAL!” jawab pasukan serentak. Jenderal itu mundur, digantikan oleh Yeriko. Dia paling muda di antara para pemimpin di faksi ini, tetapi aura kepemimpinannya terasa pekat. Bahkan dengan caranya berjalan, semua orang tahu dialah yang terpenting.
“Selamat pagi. Tidak ada rencana yang bisa saya sampaikan lebih dari ini. Yang ingin saya katakan adalah penentuan, penentuan untuk kembali kepada kebenaran. Apakah kita akan berdamai lalu bersatu menjadi kota Nusantara yang produktif dan membantu kota lainnya untuk bangkit membentuk pemerintahan baru bagi Indonesia, atau sebaliknya kita harus bertempur habis-habisan, membuang banyak nyawa serta sumberdaya, menghapus sebagian besar teknologi, dan berakhir di zaman batu. Tidak ada yang tahu garis takdir mana yang akan kita tuju. Semua tergantung pada setiap usaha dan keputusan individu yang kemudian membawa kita kepada takdir terbaik yang harus dilalui tanpa ada penyesalan. Apa pun yang terjadi hari ini biarlah terjadi.”
Akhir pidato singkat Yeriko disambut dengan sentakan pembakar semangat dari pasukan.
“HIDUP FAKSI HUKUM!”
“HIDUP TUAN YERIKO!”
“HIDUP FAKSI HUKUM!”
“Ambil posisi dan bubar!” perintah jenderal.
“SIAP, TERIMAKASIH TUAN,” sentak pasukan yang berbaris. Kami, regu elite Alaya, juga ikut bubar.
“Omong-omong nama satuan elite regu Alaya terdengar sigma banget.” Luna berseru senang, mengepalkan tangannya ke atas.
“Huh? Apa itu sigma? Itu bahasa apa?” tanya Freya dengan alis terangkat.
“Kalau tidak salah, itu bahasa di generasi Z dan alpha,” sahut Cedric dengan tenang.
“Apa coba, sok pakai bahasa lama, lagian tidak ada artinya juga,” aku tertawa nyengir, dan yang lain ikut tertawa menimpali.
Tawa kami berhenti ketika Yeriko dengan para jenderalnya mengikuti di belakang. Suara langkah kaki mereka yang mantap membuat suasana tiba-tiba menjadi serius.
“Cedric, kita pergi sekarang menggunakan kendaraan terbang,” perintah Yeriko tanpa basa-basi.
“Siap, Tuan,” Cedric berdiri sigap dan memberikan hormat.
“Memang kalian masih punya kendaraan selain yang tadi?” tanyaku penasaran.
“Tentu, kami berhasil memperbaiki mesin yang rusak dari sisa-sisa kendaraan terbang yang ditemukan di jalanan. Nah, itu kendaraannya sudah datang,” jelas Cedric sambil menunjuk ke arah kendaraan yang tiba-tiba muncul mengambang 3 meter di atas kami. Anginnya menderu, membawa pasir beterbangan.
“Wooow-wow-wow!” Luna berseru kagum.
“Heh, sampaikan kamu ber-wow-wow.” Aku menyikut Luna yang tampak terlalu berlebihan menyambut kendaraan terbang lapis baja itu. Kendaraan ini seharusnya ada di kota Nusantara utama.
“Ayo, regu Alaya, kita akan segera berangkat,” kata Cedric. Tanpa disuruh dua kali, kami langsung mengangkat tas ke punggung dan bergerak masuk ke dalam kendaraan terbang lapis baja. Ini kendaraan tempur sebenarnya, yang entah bagaimana mereka bisa mendapatkannya.
“Apa mereka juga perlu ikut?” tanyaku kepada Yeriko, sedikit ragu.
“Mereka prajurit? Mereka harus ikut, setidaknya untuk mengisi tempat persenjataan dan berjaga-jaga,” jawab Yeriko tegas.
“Lalu sisanya akan berjaga di perbatasan untuk apa?” tanyaku lagi, merasa ada yang tidak sesuai.
“Kau sepertinya suka bertanya, ya,” Yeriko menatapku dengan tajam. Aku hanya bisa mengerutkan kening, merasa sedikit tersinggung.
“Aku menaruh sejumlah pasukan di perbatasan untuk berjaga-jaga jika diplomasi ini berakhir dengan jebakan. Lalu jika pilihan terakhir kita adalah opsi kabur, maka pasukan perbatasan bisa membantu menerobos dan menyelamatkan kita,” Yeriko menjelaskan dengan ringkas dan mudah dipahami. Cedric, yang sedari tadi diam, kembali menambah daftar pertanyaan.
“Sekuat apa pasukan mereka sampai kita tidak bisa menghadapinya? Bukankah pertemuan ada di zona netral dan prajurit yang masuk juga dibatasi?” tanyanya, masih dengan nada tenang.
“Bukan jumlah atau prajurit apa yang mereka bawa, tapi ini tentang pemimpin mereka,” jawab Yeriko, matanya tampak serius.
“Apa maksudmu?” Freya menyela pembicaraan. Wajahnya kini tampak serius dengan garis-garis kusut di dahinya.
“Pemimpin mereka yang patut ditakuti. Kekuatan pemimpin mereka hampir tidak bisa kuhitung. Dia sebenarnya bisa menghabisi seluruh faksi hukum dalam semalam jika dia mau, tapi bukan itu tujuannya,” jelas Yeriko.
“Apa benar sekuat itu?” Aku menambahkan kecurigaan.
“Tujuan? Apa tuan tahu tujuan faksi teror malam?” Freya menatap Yeriko penuh harap.
“Aku tidak tahu. Aku sudah mengirimkan mata-mata dan selalu tidak mendapatkan informasi apa pun. Bahkan tubuh mata-mata yang kami kirimkan tidak kunjung kembali,” jawab Yeriko dengan nada sedih. Sebenarnya aku tahu tujuannya, tapi aku memutuskan untuk diam sampai semuanya diungkapkan oleh mereka sendiri.
Percakapan itu berakhir dengan cepat, dan kami melanjutkan perjalanan dalam suasana lengang. Tidak ada satu pun yang ingin membuka topik di situasi seserius ini.
“Tuan Yeriko, satu menit lagi kita sampai,” seorang prajurit dari ruang pengemudi menyampaikan melalui mikrofon.
“Persiapkan penjagaan setelah kita sampai di perbatasan. Sisanya serahkan kepada regu elite Alaya,” Yeriko memberikan instruksi terakhirnya.
“Baik, Tuan,” jawab prajurit itu.
“Kalian bersiaplah.” Yeriko menatap kami dengan tenang, tanpa sedikit pun menampakkan rasa takut di wajahnya. “Oh iya, satu hal lagi, aku tidak bisa bertarung, jadi aku mengandalkan kalian.” Dia tersenyum seolah informasi itu sangat normal disampaikan dalam situasi genting seperti ini. Padahal, sebaliknya, itu menjadi beban berat bagi kami. Mengawasi seseorang yang bahkan tidak mempunyai fisik sebagai petarung membuatnya mudah terluka. Memang hari yang sial.
“Kita sudah sampai, Tuan. Pintu belakang akan segera dibuka dalam hitungan lima,” terdengar suara dari ruang pengemudi.
“Semuanya bersiap,” seru Yeriko.
“Satu…”
Aku merasakan adrenalin mulai memuncak, jantungku berdegup kencang.
“Dua…”
Cedric menatapku dengan tatapan penuh keyakinan, memberi isyarat agar aku siap.
“Tiga…”
“Rika, bersiap dengan kemampuanmu,” perintah kapten. Aku mengangguk mengerti, mencoba menenangkan diri.
“Empat…”
Kupegang erat senjataku, merasakan dinginnya logam yang memberiku rasa aman.
“Lima…”
“Pintu belakang terbuka,” dan dalam sekejap, kami segera berlari keluar dari kendaraan terbang lapis baja. Cedric dengan mantap memasang kuda-kudanya, siap menghadapi apapun yang ada di depan. Aku segera menggunakan kemampuan pelacakanku.
“Imagination: Pathography.” Aku memejamkan mata, fokus mendengarkan alam sekitar. Merasakan setiap titik hawa panas lalu memvisualisasikannya dalam bayanganku. Getaran di udara, suara langkah kaki yang hampir tak terdengar, semuanya tergambar jelas dalam pikiranku.
“Apa yang kau lihat?” tanya Yeriko dengan suara tegas namun tenang.
“Beberapa pasukan berjaga di luar garis netral dan hanya ada lima orang di dalam gedung pertemuan,” laporku, berusaha tetap fokus.
“Hugh!” Napasku terhenti sejenak, dadaku terasa sesak. Ada sesuatu yang aneh.
“Kenapa, Rika?” Cedric menahan bahuku saat aku hampir terjatuh.
“Ada seseorang… Aku tidak tahu siapa dia, tapi auranya terasa sangat kuat dan mematikan. Dia… dia menatapku,” tubuhku merinding, bulu kudukku berdiri. Bagaimana mungkin dia bisa menatapku saat aku menggunakan Pathography?
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22