Ngiiiiiing! Ngiiiiiing!
Suara sirene dan lampu pijar merah menerangi lorong, menciptakan suasana panik. Semua prajurit berlari keluar dengan persenjataan lengkap. Kami yang berada di ruang tamu langsung menyusul, penasaran dan cemas melihat apa yang terjadi.
“Pintu Utara segera tutup!” teriak seorang prajurit di antara lorong, suaranya disambut oleh teriakan-teriakan lain, membentuk kekompakan yang menggetarkan.
“Apa warga mulai melakukan pemberontakan?” tanyaku tergesa-gesa. Nafasku tersengal, dada terasa sesak oleh kecemasan.
“Mungkin, bahkan sepertinya lebih gawat,” jawab Cedric dengan wajah tegang.
“Tapi kenapa mereka tidak mencapai jalan diskusi?” Luna mencoba memahami situasi dengan logika yang masih tersisa.
“Itu karena manusia sekarang hati nurani dan akal sehatnya mulai hilang,” Freya menjawab dengan nada sinis, mengomentari sisi psikologis dari situasi ini.
Kami terus berlari menuju gerbang terdekat. Hampir seluruh pasukan berlari ke arah gerbang utama. Beberapa prajurit membawa senjata gas air mata, sementara yang lain membawa perisai khusus anti-demo. Suara komandan pasukan bergema di luar, memerintahkan agar tidak ada tembakan sebelum perintah.
Saat kami berhasil melewati gerbang utama dan naik ke permukaan tanah, pemandangan yang mengejutkan menunggu kami. Hampir seluruh kota penuh kepulan asap dan beberapa bangunan terbakar. Ratusan warga berkumpul, berusaha mendobrak barikade prajurit. Aksi sorak-sorai, teriakan anarkis, bakar-membakar, lempar-melempar, adu kekuatan—semuanya bercampur menjadi satu.
“Turunkan pemimpin!” teriak salah seorang pendemo. “Dia sudah gila memonopoli pasar lalu menaikkan harga sesuka hati,” ujar pendemo lain dengan pengeras suara. Pemandangan ini lebih terlihat seperti tindakan anarkis daripada demo yang damai.
“Jadi apa yang harus kita lakukan, Cedric?” tanya Freya, kali ini dia yang membuka topik. Aku juga ingin tahu hal yang sama setelah melihat kekacauan di luar sini.
“Kita akan membantu menahan pendemo,” ucapnya tegas. Kami segera melangkah menuju barisan sebelum seseorang memanggil, membuat langkahku terhenti.
“Cedric!”
Kami menoleh ke belakang.
“Eh, komandan.” Cedric berseru, segera memberikan hormat. Kami mengikuti langkahnya. Aku mengenali komandan ini, dia yang memimpin pasukan pada serangan terakhir.
“Kalian akan kemana?” tanyanya.
“Kami berencana membantu di barisan, komandan,” jawab Cedric.
“Kalian kembali lah dan jaga tuan pemimpin.”
“Apa dia sedang dalam bahaya?” tanyaku, ingin memastikan.
Komandan itu menggeleng. “Tuan hanya ingin bertemu rakyatnya, jadi kupikir lebih baik kalian yang melindungi tuan.”
Astaga, dia benar-benar serius melakukannya. Aku kira pemikirannya akan berubah, paling tidak dia pasti akan bersembunyi seperti tikus got.
“Baik, komandan. Kapan tuan Yeriko datang?” tanya Cedric.
Dia melihat jam sakunya. “Sebentar lagi.”
Cedric mengangguk. Kami segera menuju pintu gerbang utama, sebuah pintu besi yang dijaga ketat oleh banyak prajurit. Dari kejauhan, suara teriakan terdengar hingga ke depan pintu. Beberapa saat kemudian, pintu besi itu terbuka. Beberapa prajurit berbondong keluar dan setelahnya, di antara prajurit, Yeriko berjalan dengan kaosnya—kaos yang sering ia kenakan ketika di kantornya.
“Apa pemimpin boleh melakukan pertemuan dengan pakaian kumuh begitu?” bisikku kepada Freya di sebelahku. Tapi Freya tidak menyahut, hanya menyuruhku diam.
“Tuan, kami diperintahkan komandan pasukan untuk membantu menjaga anda,” Cedric mendatangi Yeriko dan menyampaikan maksud kami.
“Baguslah, tapi jangan terlalu kasar kepada rakyat kita,” ucapnya dengan senyum getir di bibirnya. Wajahnya tampak samar, penuh beban.
Rasanya prihatin. Walaupun aku benci dia, aku tidak bisa mengelak harus mengakui kepemimpinannya. Mungkin tidak ada pemimpin sebaiknya di dunia yang hancur ini.
“Berikan jalan, tuan pemimpin akan lewat!” prajurit di depan membukakan jalan di antara barisan prajurit, sementara yang lain memberikan hormat dengan serius.
“Seseorang tolong ambilkan sesuatu yang tinggi, aku perlu terlihat oleh masyarakatku,” perintah Yeriko. Beberapa prajurit langsung bergerak, mengambil beberapa balok kayu dan besi, lalu menyusunnya menjadi podium setinggi 1,5 meter.
“Apa tuan yakin akan naik podium ini?” tanya seorang prajurit dengan nada khawatir.
Yeriko membalasnya dengan senyuman tenang, tanpa sedikit pun merasa diremehkan.
“Prajurit itu benar, tuan. Jika posisi Anda terlalu terbuka, mungkin saja sniper atau musuh Anda akan menembak,” Cedric menambahkan opininya, namun Yeriko menolak dengan senyuman yang ragu-ragu.
“Aku percaya kepada kalian, makanya aku berani untuk melakukan ini.”
Dengan langkah mantap, Yeriko naik ke podium. Seorang prajurit memberikan pengeras suara, dan dia mulai berbicara setelah menarik napas panjang.
“Rakyat fraksi hukum, sebelumnya saya ucapkan terima kasih karena memberikan aspirasi melalui demo ini.
“Saya tidak menyalahkan kalian tentang perbuatan demo, karena itu adalah ciri khas negara demokrasi. Namun, ada hal yang membuat saya kecewa, tidak perlu saya jelaskan karena kalian juga pasti kecewa dengan dekrit terbaru kami.”
“Iya, jika sudah tahu, turunlah dan tarik kembali dekrit itu segera,” teriak seseorang dari kerumunan.
Yeriko membalas dengan tenang. Wajahnya terlihat percaya diri, tetapi tangan kirinya gemetar.
“Tuan dan nyonya, kami tidak asal menaikkan harga pokok dan mengeluarkan dekrit. Ini terpaksa dilakukan karena 10 gudang kita dicuri pasukan fraksi teror malam. Kalian juga seharusnya tahu hal itu.”
“Itu bukan salah kami, itu salah anda, dan kenapa kami harus ikut menanggungnya juga?”
Sekali lagi, Yeriko menjawab dengan tenang.
“Kita adalah keluarga. Aku mengatakan ini bukan karena batas politik, tapi ini kenyataannya.
“Kita saling melindungi di dunia antaberantah, selalu mengingatkan petualang baru yang masuk ke kota tentang betapa bahayanya tempat ini, selalu berbagi makanan, selalu menjaga perdamaian demi diri sendiri maupun keluarga yang tersisa.
“Sekarang kita bukan sekadar perkumpulan di atas kepemimpinan biasa, tapi sebuah keluarga di atas tanah bangsa beradab.
“Maka dari itu, saya tidak perlu menjelaskannya, kenapa kita sama-sama harus menanggung beban ini.”
Pendemo terdiam sejenak, seolah termakan renungan sesaat. Ya, walaupun aku harus mengakui lagi kali ini, kata-kata barusan terdengar menyentuh lubuk hatiku. Aku tidak tahu apakah dia punya kemampuan khusus untuk mengontrol emosi banyak orang karena dia seorang pemimpin, tetapi yang pasti, dia mengatakannya dengan jujur, dari lubuk hatinya yang terdalam untuk fraksi ini.
“Jadi apa yang bisa kami lakukan?” Seorang dari pendemo mengangkat tangan dan bertanya. Yeriko tersenyum sesaat, sedikit lega mungkin begitu yang ia rasakan karena situasi lebih terkontrol.
“Sebelumnya saya minta maaf tentang kesalahan pada keamanan gudang dan pasokan. Lalu, permintaan maaf kedua tentang dekrit, kami tidak bisa mencabutnya.
“Lalu tentang upaya, kami sedang mengumpulkan bahan makanan untuk bertahan hidup lebih lama dan segera mengembalikan harga pasar.
“Jika warga berkenan, mari kita bersama-sama menemukan sumber daya yang baru untuk segera menutupi krisis pangan, dan sampai saat itu tiba, kami berharap semuanya bisa menghemat makanan dan tetap percaya kepada kami.”
Pidato itu berakhir dengan seksama. Warga mulai kembali ke tempatnya. Beberapa prajurit mengendurkan penjagaannya. Semua ketegangan berakhir kali ini, lagi-lagi dengan sebuah kata-kata.
Yeriko turun dari podium. Dia tampak lelah, hampir terjatuh karena lemas. Aku tahu dia sangat gugup tadi, mungkin ini adalah pengalaman buruk baginya, apalagi harus berhadapan dengan massa yang penuh amarah.
“Tuan, perlu saya bawa ke ruang perawatan?” tanya seorang prajurit dengan khawatir
“Tidak perlu,” ucapnya tegas.
“Cedric dan kalian semua, kemarilah.” Yeriko memanggil kami sambil menunduk, menyuruh kami mendekat. Sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan dengan cepat.
“Iya, kenapa tuan?” tanya Cedric dengan cepat. Aku diam mendengarkan dengan saksama, mencoba memahami situasi.
“Besok kita harus pergi melakukan diplomasi. Cepat atau lambat, perang akan terjadi. Jadi setidaknya kita perlu melakukan negosiasi,” jelas Yeriko dengan nada tegas yang tidak bisa ditawar.
“Baik tuan, segera kami akan siapkan perlengkapan,” jawab Cedric dengan tegas, seperti seorang prajurit setia yang siap melaksanakan perintah tanpa ragu-ragu. Kadang aku merasa Cedric terlalu patuh, seperti budak setia raja.
“Kalian, cepat selidiki orang-orang yang terlibat dan mencurigakan serta memprovokasi tadi. Jika terbukti bersalah, bawa dia atau jika dia berusaha melarikan diri, seret dia bagaimana pun caranya, hidup atau mati,” ucap Yeriko dengan nada yang dingin dan penuh ketegasan. Ucapannya membuat bulu kudukku merinding.
Sesaat aku berpikir Yeriko sudah kehilangan akal karena kejadian hari ini, tetapi mungkin dia punya alasan kuat untuk melakukannya. Bagaimanapun, perbuatan fraksi teror malam sudah keterlaluan, apalagi sampai menjebak masyarakat yang tidak bersalah. Keputusannya ini mungkin adalah usaha terakhirnya untuk menjaga stabilitas kota.
“Kalian beristirahatlah dan kembali besok pagi-pagi,” tambah Yeriko, kali ini dengan nada yang lebih lembut, namun tetap tegas.
Kami mengangguk, segera mundur dan meninggalkan markas. Tidak banyak yang bisa kami lakukan walau kami ingin menawarkan bantuan lebih. Meski terkadang terdengar seolah kami membenci fraksi ini, sebenarnya kami tidak pernah membenci kota ini. Ada banyak orang baik yang harus kami lindungi, karena suatu saat nanti mereka-lah yang akan mengubah dunia ini bersama kami.
“Besok akan menjadi hari yang berat,” bisikku pada diri sendiri, mencoba menguatkan hati. Cedric menoleh, menepuk bahuku dengan lembut.
“Kita akan melalui ini bersama-sama,” katanya dengan keyakinan. Aku mengangguk, merasakan sedikit kelegaan. Kami harus tetap kuat, untuk diri sendiri dan untuk semua orang di kota ini.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22