Mataku mengerjap-ngerjap, cahaya silau masuk dari jendela, membuatku tersadar di pangkuan Freya. Rambutnya yang indah menutupi sebagian pandanganku, memberikan sedikit bayangan yang menenangkan.
“Rika!” Freya berseru senang, wajahnya tampak lega melihatku membuka mata.
“Syukurlah kau sudah bangun,” Cedric menarik napas lega, matanya penuh perhatian.
“Apa yang terjadi malam itu?” Luna menambahkan daftar pertanyaan, wajahnya penuh kekhawatiran.
Aku beranjak bangun kemudian duduk di kasur, tubuhku masih lemas dan kepala terasa berdenyut. Aku ingin bercerita kepada mereka, tetapi hanya sebagian kecil saja. Seharusnya itu tidak berbahaya, kan?
“Apa yang terjadi, Rika? Di sekitar kamar terasa lembab dan ada kristal es di beberapa sudut,” Cedric menambahkan daftar pertanyaan, nada suaranya serius.
Aku menunduk, menatap jari kakiku yang sedikit gemetar. “Aku berbicara dengan pohon imajiner.
“Kau serius?” Cedric berseru, matanya membesar dan tangan besarnya memegang kedua bahuku erat-erat.
“Iya, tapi dia menjumpai ku dengan fisik manusia.” Aku berbohong, merasa bersalah tapi perlu melindungi mereka.
Freya mengulangi pernyataanku, “Dia bisa jadi manusia?”
Aku mengangguk, berharap meyakinkan mereka. “Ini buruk, Cedric,” ucap Freya, wajahnya cemas.
“Iya, aku tahu ini buruk. Kita harus segera mendesak Yeriko tentang hal ini,” balas Cedric, terlihat lebih tegang.
“Jangan, kumohon jangan, Cedric.” Suaraku bergetar, memohon dengan sungguh-sungguh.
“Kenapa?” tanyanya, bingung.
“Aku belum memastikan apa yang terjadi jika kita memberitahu yang lain tentang hal ini. Mungkin saja pohon itu akan menyerang kita semua jika menyebarkan tentangnya lebih jauh.” Aku menambahkan kemungkinan terburuk. Mereka mengangguk setuju.
“Baiklah, apa yang dia bicarakan tadi malam denganmu?” tanya Cedric, wajahnya penuh rasa ingin tahu.
“Dia hanya berkenalan denganku, kemudian pergi,” jawabku singkat. Aku tidak bisa mengambil risiko memberitahu semua percakapan itu dengan Cedric, Freya, dan Luna. Bisa saja mereka diganggu jika tahu lebih lanjut. Bahkan makhluk itu begitu marah ketika aku menanyakan masalah pohon imajiner.
“Hanya itu?” Cedric mendorongku menyampaikan informasi lebih banyak.
Aku mengangguk lagi, mencoba menjelaskan lebih lanjut. “Sebenarnya, dialah yang menggunakan teknik aneh.”
“Teknik apa, Rika?” Cedric terus mendesakku.
“Aku tidak tahu pastinya. Yang jelas, tubuh jelmaan manusia itu bisa mengeluarkan aura dingin yang bisa membekukan tubuh, lalu ia...” Aku terhenti, merasa ragu.
“Lalu apa, Rika?” Luna menambahkan, penasaran.
“Dia bisa menghentikan waktu,” ucapku akhirnya, menelan ludah. Wajah Freya, Cedric, dan Luna langsung kaget tidak karuan. Itu jelas mengagetkan. Kekuatan tidak terpikirkan sebelumnya ada, kekuatan yang dapat menghentikan ruang dan waktu. Walaupun aku hanya menebak-nebaknya, tetapi kemungkinan itulah yang terjadi sehingga Cedric dan yang lain tidak sadar ketika ia tiba mengganggu ruangan ini.
“Apa ini bisa kita laporkan ke Yeriko?” Cedric mengonfirmasi.
“Hey, kenapa kau ingin sekali memberi tahu itu orang, huh?” Freya menyergah pertanyaan Cedric. Aku juga ingin bilang begitu, tapi tidak berani.
“Dia pemimpin kita sekarang. Bagaimanapun, keputusannya akan mempengaruhi perjalanan kita ke pohon imajiner itu,” Cedric menjelaskan, tampak tenang.
“Maaf Freya, Cedric benar.” Aku menambahkan, merasa perlu untuk menyampaikan masalah ini walaupun sedikit.
Cedric menatapku lamat-lamat, kemudian tersenyum dan mengacak-acak rambutku dengan lembut. “Baiklah, hari ini kalian bebas kemana pun. Aku akan pergi ke pelatihan dan sekalian melaporkan situasi ini ke Yeriko. Mungkin ada petunjuk lain.” Saat dia akan beranjak pergi, aku menahan tangannya.
“Tunggu, aku ikut,” ucapku tegas dengan tatapan mantap.
“Tapi kalian kan perlu istirahat,” katanya, ragu. Aku menggeleng lalu menjawab. “Tidak, Cedric. Aku tidak mungkin bisa diam melihat orang lain yang ku repotkan.”
Cedric menatapku sesaat, kemudian menghela napas lega. “Baiklah, aku akan siapkan roti dan telur untuk isi roti lapis. Kamu siap-siap saja.”
Aku mengangguk, merasa sedikit lega dengan keputusannya. Freya dan Luna tiba-tiba menyahut serentak, “Aku ikut!”
“Heh?” mataku berpaling menatap mereka dengan kaget.
“Tumben,” goda Cedric sambil mengejek kemalasan mereka.
“Terpaksa, mungkin saja kalian perlu bantuanku untuk misteri fisika,” jelas Freya berlagak seolah yang terpenting, walaupun memang dia penting sih.
“Lalu kamu, Luna?” tanyaku penasaran.
“Eh, itu... Aku hanya malas sendirian, lagian kalau lebih banyak kepala makin cepat kan,” jawab Luna, wajahnya menyeringai malu.
Aku hendak tertawa, tapi hanya tersenyum sebagai balasan. Tidak ada yang baik menertawakan perubahan, jadi aku menghargai keberanian mereka untuk bergabung.
“Kalian mandi lebih dahulu, aku akan siapkan sarapan,” ujar Cedric.
Kami mengangguk dan segera bersiap. Cedric segera berdiri dan meninggalkan kamar.
***
Setelah mandi dan sarapan, kami segera menuju kantor Yeriko. Tidak banyak yang bisa kuceritakan saat perjalanan, jadi langsung saja ke pertemuan yang menegangkan ini.
Buk!
“KAU BERCANDA!?” Yeriko membentak meja, begitu terkejut mendengar ucapanku tentang menghentikan waktu. Apa aku terlalu berlebihan ya?
“Argh, sial. Padahal aku ingin mengurus masalah ini sekarang, tapi masalah mendesak lebih dulu muncul sebelum kalian tiba,” keluhnya.
“Apa maksudmu?” tanyaku, penasaran.
“Apa itu ada hubungannya dengan prajurit yang berlarian di koridor?” tanya Cedric, menambahkan.
Yeriko kembali duduk di kursinya sebelum menjawab, raut wajahnya berkerut, penuh pikiran dan stres.
“Yah, bisa dibilang begitu.”
“Jadi apa yang terjadi sebenarnya?” tanya Freya, mendesak.
“Kalian tidak perlu tahu, aku yakin kalian juga tidak ingin terlibat, kan,” jawab Yeriko dengan nada tajam.
Aku menegak ludah, sedikit cemas. Memang benar, tapi jika itu ada hubungannya dengan kami suatu saat nanti, tetap saja kami harus tahu, kan?
“Katakan saja,” bentak Freya, tegas.
“Kau ini memaksa!” Yeriko membentak balik, untuk pertama kalinya membuat kami terdiam secara naluri. Mungkin pertama kalinya aku melihat dia se-stres ini.
“Maaf tuan, kami hanya ingin tahu, mungkin kami bisa membantu Anda,” jelas Cedric, berusaha memperbaiki suasana, walau tidak tampak banyak berguna.
“Entahlah, aku yakin tidak ada yang bisa dilakukan. Saat ini kami benar-benar terjebak. Diplomasi harus segera dilangsungkan,” kata Yeriko, nadanya putus asa.
“Apa terjadi suatu masalah di perbatasan?” tanya Freya lagi.
Yeriko menggeleng, mengambil peta kota, kemudian membukanya di hadapan kami berempat.
“Jam 4 pagi, aku mendengar laporan dari penjaga gudang. Stok makanan di beberapa gudang yang tersebar sudah dijarah,” jelas Yeriko.
Itu kabar yang sangat buruk. Aku tidak menduga mereka menargetkan bahan makanan sebagai senjata.
“Berapa gudang yang dijarah?” tanyaku, ingin tahu lebih lanjut.
“Dari total 15 gudang, yang dijarah 10 gudang,” jawabnya.
“Berapa lama kita bisa bertahan dengan sisa makanan?” tanya Cedric, tampak cemas.
“5 hari jika masa perang berlangsung, itupun seluruh prajurit dan pengungsi serta penduduk kota harus menghemat jatah makanan masing-masing,” jawab Yeriko, nada suaranya serius.
“Bagaimana bisa sedikit itu?” tanya Cedric lagi. Dia paham betul tentang logistik.
“Karena pencuri itu hanya mengincar gudang yang penuh, dan 5 gudang yang tidak dijarah adalah gudang yang setengah kapasitas,” jelas Yeriko lebih lanjut.
“Ini sangat buruk,” kata Luna sambil menggigit kukunya, jelas-jelas cemas.
Aku menatap mereka satu per satu, merasakan beban situasi ini semakin berat di pundakku. Sesuatu harus dilakukan, dan harus segera. Kami tidak bisa membiarkan ini berlarut-larut, atau semua orang di kota ini akan menderita.
“Tidak, ini belum yang terburuk,” kata Yeriko dengan suara tegang.
“Apa maksudmu? Apa yang lebih buruk, huh!” bentak Freya, emosinya terpancing.
“Biar kutebak,” Cedric memalingkan pandangannya padaku. “Tujuan mereka menciptakan kerusuhan publik.”
“Kau benar, Cedric. Itulah yang terburuk. Karena bagaimana pun seluruh logistik fraksi hukum dipasok dari gudang itu,” jelas Yeriko dengan nada serius.
“Apa maksudmu?” tanyaku, mencoba memahami situasinya.
“Intinya, gudang itu bisa terisi makanan karena kami memperkerjakan rakyat untuk memasok bahan pangan. Lalu bahan pangan yang dikumpulkan akan kami jual kembali dengan harga yang terjangkau dengan batasan pembelian tiap bulannya,” Yeriko menjelaskan, wajahnya tampak semakin kusut.
“Bukankah itu kejam?” tanyaku, merasakan rasa ketidakadilan.
“Tidak, mungkin kalian berpikir kami hanya mengambil untung dengan memonopoli bahan pangan, namun bukan itu kenyataannya,” jawab Yeriko dengan tegas. “Kami terpaksa melakukannya untuk mencegah pihak yang tidak bertanggung jawab memonopoli pasar dengan membeli seluruh bahan pangan atau mengambil yang tersisa, lalu orang yang tidak bertanggung jawab itu akan menjual dengan mahal. Pada akhirnya kerusuhan akan terjadi.”
“Kalau begitu kenapa kerusuhan kali ini akan terjadi? Bukankah kalian hanya perlu memasoknya kembali?” tanya Luna, penuh kebingungan.
“Itu tidak semudah yang kalian bayangkan. Hasil panen sudah dikumpulkan setiap tiga bulan sekali dan sekarang hilang begitu saja. Karena itu kami terpaksa membuat kebijakan lebih membatasi pembelian bulanan tiap warga dan terpaksa menaikkan harga bahan pangan untuk mempekerjakan lebih banyak orang agar segera menutupi krisis pangan,” jelas Yeriko panjang lebar.
Sejenak semua terdiam, menyadari betapa seriusnya situasi ini. Ini bukan perkara yang bisa kami bantu selesaikan. Benar katanya, kami tidak akan bisa membantu.
“Permisi, tuan,” seorang prajurit mengetuk pintu dari luar.
“Iya, silakan masuk,” jawab Yeriko. Kedatangan prajurit itu memecah suasana, tapi tidak lebih baik dari sebelumnya.
“Maaf mengganggu diskusi, tuan. Saya baru saja mendapatkan laporan dari pengintai tentang daftar nama yang dicurigai. Namun kami tidak mendapatkan bukti kuat tentang kecurigaan sabotase dan mata-mata,” prajurit itu menjelaskan sambil menyerahkan catatan yang berisi detail laporan. Mereka begitu sigap mencari informasi. Apa semua prajurit mereka seperti ini, terlihat seperti budak yang takut atasannya.
“Baiklah, silakan kembali ke pos,” ucap Yeriko setelah membaca secarik laporan itu.
“Maaf, tuan,” prajurit berbicara lagi, sepertinya ada sesuatu yang ingin dia sampaikan.
“Ada apa?” tanya Yeriko, penasaran.
“Dari informasi prajurit patroli, beberapa warga sudah mulai berkumpul membentuk aksi unjuk rasa untuk melawan tuan.”
“APA!” tiba-tiba Yeriko menyentak suaranya, membuat ruangan mendadak hening. Terlihat raut wajahnya begitu kusut, lebih kusut dari sebelumnya.
“Aku tidak menyangka akan secepat ini. Apa ada provokasi dari luar?” gumamnya hingga terdengar ke telinga kami.
“Prajurit, siapkan penjagaan di sekitar markas, lalu pastikan jangan menyakiti mereka, kecuali tindakan yang berpotensi mengancam,” perintah Yeriko. Prajurit itu hormat sembari mengatakan dengan sigap, “Siap, tuan. Laksanakan.”
Prajurit itu segera membuka pintu dan pergi. Kami kembali menatap Yeriko, dia terlihat begitu frustrasi, sesekali menopang jidatnya yang berkerut. Sejujurnya, aku merasa kasihan, tapi dia juga telah berbuat semena-mena kepada diriku. Jadi rasanya sangat aneh untuk memberikan simpati padanya.
“Kalian bisa pergi. Aku perlu sendiri di ruangan ini,” suara Yeriko terdengar sayup, menyuruh kami keluar dari ruangannya. Dia benar-benar terlihat seperti orang yang berbeda kali ini.
Mau tidak mau kami harus pergi. Tidak baik mengganggunya juga. Begitulah yang kami pikirkan, dan sekarang kami hanya menunggu waktu hingga aksi demo itu mengelilingi markas.
“Sekarang bagaimana?” tanyaku, cemas.
“Kita tetap di sini sementara waktu,” jawab Cedric tegas. “Jika yang dikatakan prajurit itu benar, maka ini bisa menjadi tindakan kudeta. Lalu kita juga dalam bahaya karenanya.”Kata-kata Cedric terasa masuk akal.
Kami semua tahu bahwa menentang saat ini bukanlah pilihan. Mau bagaimana pun, kami harus bertahan sesuai rencana. Karena kami yakin bisa keluar dari tempat ini hanya dengan cara ini.
Halo readersvol. ada perubahan jadwal upload mulai bab berikutnya. Evolvera Life akan upload bab baru setiap 3 hari sekali. Terimakasih sudah menikmati cerita.
Comment on chapter Episode 22